Diusianya yang tak lagi muda, Sabrina terpaksa mengakhiri biduk rumah tangganya yang sudah terajut 20 tahun lebih lamanya.
Rangga tega bermain api, semenjak 1 tahun pernikahnya dengan Sabrina. Dari perselingkuhan itu, Rangga telah memiliki seorang putri cantik. Bahkan, kelahirannya hanya selisih 1 hari saja, dari kelahiran sang putra-Haikal.
"Tega sekali kamu Mas!" Sabrina meremat kuat kertas USG yang dia temukan dalam laci meja kerja suaminya.
Merasa lelah, Sabrina akhirnya memilih mundur.
Hingga takdir membawa Sabrina bertemu sosok Rayhan Pambudi, pria matang berusia 48 tahun.
"Aku hanya ingin melihat Papah bahagia, Haikal! Maafkan aku." Irene Pambudi.
..........................
"Tidak ada gairah lagi bagi Mamah, untuk menjalin sebuah hubungan!" Sabrina mengusap tangan putranya.
Apa yang akan terjadi dalam kehidupan Sabrina selanjutnya? Akankah dia mengalah, atau takdir memilihkan jalannya sendiri?
follow ig @Septi.Sari21
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Septi.sari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
"Mah ... Kemanapun Mamah pergi, Haikal akan tetap menemani Mamah! Tidak perduli seberapa besar penderitaan yang akan kita terima didepan nanti. Namun ya jelas ... Haikal akan tetap bersama Mamah!" Haikal merengkuh punggung ibunya, sambil meletakan kepalanya dibahu. Ia tak dapat membayangkan, bagaimana hidup sendiri tanpa Sabrina. Bagi Haikal, Sabrina adalah nafasnya, yang selalu ia butuhkan kapan pun.
"Mah ... Bukanya semua aset Papah atas nama Mamah? Kenapa tidak Papah saja yang keluar dari rumah kita? Ini semua nggak adil, Mah!" protes Haikal.
"Papahmu saja tidak mau keluar ... Bagaimana Mamah akan menempatinya juga?! Yang terpenting, semua surat-surat penting sudah Mamah pegang! Nanti, jika kelak kamu dewasa ... Mamah serahkan semuanya sama kamu! Yang terpenting sekarang, kamu fokus saja sama sekolahmu ... Dan jangan mikirin apa-apa tentang Mamah!" Sabrina mengusap lembut kepala putranya. Ia kembali mendongak menatap atas.
*
*
*
"Mika ... Kamu dimana? Sudah makan apa belum?" panggil Rangga seraya berjalan masuk kedalam.
Putrinya itu, saat ini tengah duduk termenung diteras samping. Menatap rasi bintang, yang kian semerbak indah. Mika menolah dengan tatapan sendu. Perutnya juga sejak tadi sudah lapar. Dirumah tidak ada bahan yang dapat ia masak. Sementara uang peganganya, hanya cukup untuk uang saku beberapa hari kedepan.
"Pah, Mika ada di teras samping!" teriaknya.
Rangga terhenyak, kala melihat wajah Mika tampak pucat. Gadis itu tersenyum hangat, meski sudut matanya tampak basah.
"Kamu sudah makan, Mika?" tanya Rangga kembali.
Mika menggelengkan kepala lemah. "Belum, Pah! Sejak siang Mika belum makan apa-apa!" adunya lirih.
"Ya sudah, ayo sekarang kamu makan! Papah sudah bawakan makanan dari rumah. Sekarang makan yang banyak!" Rangga merengkuh pundak putrinya untuk diajak menuju ruang makan.
Rangga duduk disebrang putrinya. Ia tidak sampai hati, saat melihat Mika makan, sudah persis dengan orang yang tidak makan beberapa tahun.
'Aruna benar-benar keterlaluan! Dimana dia sekarang?!' Rangga merogoh gawainya, mencoba untuk menelfon istri sirinya.
"Papah nggak makan?" tanya Mika.
Rangga mengangkat tangan sebelah, tanda ia menolak untuk makan.
Lagi-lagi panggilan itu tidak terangkat. Rangga menggeram, hingga terdengar suara desahan nafas berat. Melihat Papahnya tampak stres, Mika merasa iba. Rangga juga merasa muak, melihat tingkah istri sirinya itu. Padahal, ia sudah memberikan uang nafkah untuk Mika, namun tetap saja, putrinya itu terlantar. Entah pergi kemana saja wanita itu.
"Sejak kapan Mamahmu pergi, Mika?" tanya Rangga begitu ia sudah kembali duduk.
"3 hari yang lalu, Pah! Mika juga nggak tahu Mamah pergi kemana. Tapi, Mika hanya lihat, ada mobil didepan yang menjemput Mamah!" jawab Mika.
'Kemana Aruna pergi?'
Lamunan Rangga buyar, ketika putrinya melontarkan sebuah kata, "Pah ... Bagaimana? Aku nggak bisa ikut ujian, kalau tunggakan SPP belum terbayarkan."
"Papah selalu memberikan uang bulanan untuk sekolahmu, Mika! Apa Mamahmu nggak pernah mengurus masalah sekolahmu?" Rangga agak geram. Ia tidak pernah lupa mengirimkan jatah bulanan untuk Aruna. Tapi, mengapa bisa ada tunggakan selama itu? Kemana uang untuk sekolah putrinya?!
Mika menghela nafas dalam. Biasanya Mamahnya juga selalu membayar uang SPP itu. Tapi akhir-akhir ini, Aruna selalu sibuk dengan dunianya sendiri.
"Mika nggak tahu, Pah! Mamah akhir-akhir ini selalu sibuk! Bahkan, menanyaiku makan saja tidak pernah!" Kedua mata Mika berdenyut, ingin rasanya menangis.
"Mika ... Perlu Papah beritahu mulai sekrang! Papah sudah tidak dapat memberikan kamu uang bulanan seperti dulu. Jabatan Papah turun, dan mulai sekarang, Papah hanya dapat menjatah kamu 2juta perbulan." Jabar Rangga.
Mika sama sekali tidak peduli jika itu urusan uang. Ia hanya ingin melihat rumah tangga kedua orang tuanya utuh. Rumah itu terlalu besar, jika dia sendiri yang menghuni. Sama sekali tidak ada pelukan hangat, atau sekedar sapaan setiap paginya.
"Pah ... Apa Papah benar sudah memiliki istri sebelumnya? Apa karena itu pula, Papah selalu jarang tidur di rumah ini?!" pertahanan Mika akhirnya patah juga. Air mata itu mengalir deras, bersamaan lirihan nafas yang tercekat.
Rangga menghela nafas dalam. Berdalih pun ia sudah tak mampu. Putrinya juga sudah besar. Ia hanya dapat mengangguk pasti, menatap lamat putrinya.
"Pah ... Mika ingin bertemu istri, Papah! Mika ingin meminta maaf kepadanya! Mika juga ingin meminta maaf kepada anak Papah. Mika sudah tahu semuanya dari Tante Gina! Gara-gara Mamah ... Papah berantem ya, sama istri Papah?" Hati Mika sangat berbeda dengan hati Ibunya. Mika yang sudah mulai dewasa, seakan dapat merasakan posisi istri sah Papahnya, kala semua perselingkuhan dengan Ibunya terkuak.
"Mika ... Kamu tidak perlu mengurus rumah tangga Papah, ataupun masalah pelik lainnya! Fokus saja dengan sekolahmu! Buktikan pada Papah, jika kamu kelak dapat sukses!" Rangga mengusap tangan putrinya. Menghalau rasa sesak, agar sang putri tidak berpikiran lebih.
*
*
*
Drttt ....
Gawai Haikal bergetar dalam saku celananya. Ia tersadar, dan langsung merogoh sakunya, untuk melihat nomor siapa.
"Hallo, Ris ... Ada apa?"
📞"Kal, lebih baik lu ajakin Tante Sabrina kesini. Gue udah dapat kontrakan rumah disekitar rumah gue. Dan kebetulan, penghuninya baru saja pindah!" Haris mengulas senyum tipis, merasa lega dapat membantu sahabatnya itu.
Haikal spontan bangkit. Suara Haris barusan bagaikan angin surga yang menerpa kabut hitam dalam pandanganya. "Baik, Ris! Ini gue langsung kesana sama Mamah!"
Setelah panggilan terputus, Haikal langsung memberitahu Sabrina, atas hal yang baru saja ia bicarakan dengan sahabatnya~Haris.
Sejujurnya, Haris sudah menawari Haikal untuk tinggal lebih lama lagi di rumahnya. Namun, Haikal tidak enak jika ia membawa juga ibunya. Dan sebab itu, ia meminta Haris untuk juga membantu mencarikan kontrakan disekitar kompleknya.
Kini Sabrina baru saja menerima kunci rumah dari saudara si pemilik rumah. "Semoga betah, ya Bu!" ucap wanita yang kini memakai piyama navy.
"Pasti betah, Bu! Apalagi rumah ini dekat degan rumah Haris. Pasti putra saya juga akan betah!" jawab Sabrina.
Rumah itu hanya berjarak satu rumah saja dari rumah Haris. Namun posisinya berada disebrang jalan.
"Bagamana Kal, Tante? Nyaman nggak?" celetuk Haris begitu sudah masuk kedalam.
Rumah dua lantai itu cukup nyaman, dengan model minimalisnya. Interior didalamnya pun, tertata dengan rapi. Sabrina mengedarkan mata kesekeliling ... Dan memang, cukup indah dipandang mata.
"Senyamanya, Ris! Makasih ya, sudah mau menolong kami," ucap Sabrina tulus.
"Tan, Haris sudah menganggap Tante sebagai Ibu Haris sendiri! Haris juga turut ikut prihatin dengan masalah rumah tangga Tante." Haris sudah tahu semuanya dari Haikal.
"Kalian berdua tidak usah memikirkan apapun! Fokus pada masa depan kalian saja!" Sabrina mencoba mengulas senyum hangat.
...lanjut thor 💪🏼
di tunggu boncapnya thor lanjut.
lanjut thor💪🏼