Murni, seorang biarawati yang sedang cuti karena ingin menyembuhkan jiwa setelah terganggu mimpi-mimpi buruk yang terus berdatangan, menerima pesan aneh di ponselnya -suara paniknya sendiri yang membuatnya penasaran. Ia mengikuti petunjuk yang membawanya ke sebuah warung makan tua yang hanya buka saat malam.
Di warung itu ia bertemu dengan Mahanta, seorang juru masak pendiam yang misterius. Namun warung itu bukan warung biasa. Pelanggannya adalah jiwa-jiwa yang belum bisa pergi, dan menu makanannya bisa menenangkan roh atau mengirimnya ke dalam kegelapan. Murni perlahan terseret dalam dunia antara hidup dan mati. Ia mulai melihat masa lalu yang bukan miliknya. Meskipun Mahanta tampaknya menyimpan rahasia gelap tentang siapa dirinya dan siapa Murni sesungguhnya, pria itu bungkam. Sampai cinta yang semestinya dilarang oleh langit dan neraka merayap hadir dan mengungkapkan segalanya.
L'oubli (B. Perancis): keadaan tidak menyadari atau tidak sadar akan apa yang sedang terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dela Tan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Season 1 ; Bab 2 - Warung Yang Tak Ada di Peta
Murni berdiri di trotoar basah, memandang jalan kosong yang baru saja dilewatinya, dan menoleh ke belakang.
Warung itu… sudah tak ada.
Tidak ada cahaya kuning yang hangat.
Tidak ada aroma masakan yang menusuk rasa.
Ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah hampir jam empat subuh. Dahinya mengernyit. Sebegitu lama ia menghabiskan waktu di dalam? Padahal rasanya hanya beberapa menit.
Ia mengedarkan pandangan, menyusuri gang sempit yang tadi ia lewati. Tetapi yang kini ia temukan hanya dinding semen penuh grafiti yang ditumbuhi lumut, dan pagar besi berkarat yang terkunci rapat. Seolah tempat yang ia datangi semalam hanyalah sebuah luka lama yang dilupakan dunia… Atau hanya sebuah mimpi — mimpi buruk yang kebetulan menumpang di dunia nyata.
Murni berdiri diam, membiarkan rintik-rintik hujan menerpa bahunya, meresapi kesadaran bahwa apa pun yang ia alami... mungkin bukan untuk dimengerti dengan akal manusia biasa.
Atau mungkin, akalnya sendiri sudah mulai retak.
Ia memeriksa ulang GPS-nya. Titik biru masih di sana, tepat di tempat ia berdiri. Tapi tulisan “Warung Murni” sudah menghilang dari layar. Bahkan riwayat penelusurannya kosong. Seperti tidak pernah ada.
Rasa dingin menjalar dari ujung jemarinya ke dada.
Kalau tempat itu hanya halusinasi, kenapa para pelanggan itu bisa datang?
Ia melangkah lunglai, kepalanya menunduk, mencoba merasionalisasi apa yang barusan ia lihat. Tapi bau warung itu masih melekat di mantelnya. Bau arang terbakar. Rempah. Dan sesuatu yang lebih tua —bau duka yang hangus.
Ia menarik napas dalam-dalam, menggenggam salib kecil di lehernya. Sekuat apa pun ia mencoba, perasaan asing yang sejak awal mengikutinya kini tumbuh menjadi satu hal pasti.
Ini bukan hanya gangguan psikologis.
Tidak. Ia tidak gila.
—
Keesokan harinya, Murni duduk sendirian di taman belakang rumah kamar sewaannya. Ia membawa secangkir teh dan buku doa yang seharusnya menenangkannya. Namun ayat-ayat yang biasa mengisi hati dengan damai, kini terasa seperti huruf kosong. Jiwanya... sunyi.
Ia mencoba menulis ulang kejadian semalam di buku catatan kecilnya: Pesan suara dari dirinya sendiri, warung bernama “Warung Murni”, Mahanta, koki tampan tapi misterius, pelanggan yang menghilang, bau terbakar, peringatan Mahanta: “Jangan kembali”.
Semua terasa seperti teka-teki yang potongan-potongannya berasal dari mimpi, namun terlalu tajam untuk dilupakan.
Seekor gagak menggaok dari pohon beringin tua di belakangnya, membuatnya menoleh. Gagak itu menatapnya dari dahan paling tinggi, lehernya miring sedikit seolah sedang mengamatinya.
Murni mengertakkan gigi. Gagak adalah pertanda. Ia tahu itu dari kisah-kisah purba yang dulu sering dibaca di perpustakaan biara. Dalam banyak kepercayaan, gagak adalah pembawa pesan antara dunia ini... dan dunia lain.
Dan burung itu, entah kenapa, membuat ingatannya kembali pada Mahanta.
Tatapannya. Suaranya. Caranya memegang pisau seperti sedang menyentuh sesuatu yang sakral.
Siapa dia sebenarnya?
Sore harinya, rasa penasaran mendorong Murni pergi ke kelurahan kota tua. Ia berpura-pura sebagai mahasiswi yang sedang menulis tentang sejarah lokal. Ia menanyakan apakah pernah ada warung bernama “Warung Murni” di area gang yang ia datangi malam tadi.
Petugas yang berjaga, seorang pria tua dengan kaca mata setebal pantat botol, menggeleng dan menatapnya seakan ia tidak waras.
"Warung Murni?" gumamnya. "Enggak ada tuh. Di gang itu memang pernah ada rumah makan... tapi itu dulu sekali, puluhan tahun lalu, dan sudah terbakar habis. Sejak itu nggak ada yang membangunnya lagi."
Murni menahan napas. "Terbakar habis?"
"Iya. Kecelakaan. Ada korban, tapi tidak banyak diberitakan. Yang aneh, katanya warung itu sering dikunjungi orang-orang yang sedang dalam masalah besar... banyak yang bilang tempat itu keramat."
"Apa ada yang selamat dari kebakaran itu?"
"Konon sih ada satu. Tapi... nggak ada nama. Cuma cerita. Katanya yang selamat itu masih ngejaga tempat itu. Tapi tempatnya sendiri nggak pernah kelihatan, kecuali kalau... yah kecuali kalau kamu memang ‘dipanggil’.”
Pria itu terkekeh sambil menggeleng. "Tapi yaa... itu mitos lah, boleh percaya boleh tidak."
Murni mengangguk, meski pikirannya jauh dari tenang.
Api. Dirinya terbakar. Apakah mimpinya berhubungan dengan warung itu?
Ia pulang dengan perasaan hampa, tetapi ada dorongan aneh untuk kembali ke sana. Untuk mencari tahu. Untuk menemukan Mahanta lagi.
—
Tengah malam.
Murni tak bisa lagi membendung rasa penasaran. Kali ini, ia tak membawa apa pun kecuali senter kecil dan salib tua miliknya.
Ia kembali ke gang itu.
Dan benar. Di sana — seolah kebenaran menekuk kenyataan —warung itu muncul kembali.
Papan kayu yang lapuk. Lampu kuning hangat. Asap tipis dari cerobong. Aroma masakan yang menggoda.
Tapi malam ini, tidak ada pelanggan.
Hanya Mahanta, perawakannya yang tegap berdiri di balik meja kayu, sedang memotong sayuran dengan tenang. Seolah sudah menunggunya.
Murni melangkah masuk perlahan.
“Kau kembali,” ujar Mahanta tanpa menoleh.
“Kau tahu aku akan kembali?” Murni agak terperangah.
Mahanta tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. “Ya.”
Mereka diam sejenak. Suasana di dalam warung terasa berbeda malam ini. Lebih sunyi. Lebih dalam. Bagai berada di dasar sumur waktu.
"Aku ingin tahu tempat apa ini sebenarnya," ujar Murni tanpa basa-basi. "Dan siapa kau."
Mahanta berhenti memotong. Ia meletakkan pisau. Lalu menatap Murni —tajam, namun tidak memaksa.
“Aku hanya juru masak,” katanya. “Aku hanya menyajikan hidangan terakhir.”
Murni menahan napas. “Untuk siapa?”
Mahanta menunjuk ke kursi kosong.
“Duduklah malam ini. Dan mungkin kau akan melihat mereka.”
“Mereka?”
“Yang tersesat. Yang tak ingin mati... tapi tak tahu cara hidup.”
Murni ragu sejenak. Tapi seperti malam pertama, kakinya melangkah sendiri.
Ia duduk di tempat yang sama seperti malam sebelumnya.
Mahanta menyajikan semangkuk sup bening. Di permukaannya, bayangan samar muncul — bayangan seseorang.
Seorang perempuan. Menangis di pinggir ranjang rumah sakit.
Bayangan perempuan di dalam sup itu... perlahan menoleh. Menatap lurus ke arah Murni. Dan berbisik, “Tolong... aku tidak ingin mati sendirian.”
Murni merinding. “Aku tidak mengenalnya,” ujar Murni pelan. "Mengapa dia minta tolong padaku? Apa yang terjadi padanya?”
“Dia di ambang,” Mahanta hanya menjawab pertanyaan terakhir. “Kau bisa memilih. Membantu dia... atau biarkan dia pergi.”
“Bagaimana cara membantunya? Sementara aku bahkan tak tahu dia di mana.” Murni merasa tak berdaya, mengangkat sendok perlahan.
Dengan tangan gemetar, ia menyendok sup dari dunia yang tak terikat waktu. Bayangan perempuan itu menghilang.
"Kenapa tempat ini tidak selalu ada?" tanya Murni pelan.
Mahanta menoleh perlahan. "Karena tidak semua orang siap melihatnya."
“Pelanggan yang datang…” ucap Murni, tidak tahu bagaimana menyelesaikan kalimatnya.
“Datang untuk semangkuk makanan terakhir.” Seolah mengetahui apa yang ada dalam pikirannya, Mahanta telah menjawab. “Antara memilih kembali, atau pergi selamanya.”
“Dan kau yang menentukan?”
Mahanta tersenyum tipis. “Bukan. Aku hanya menyajikan.”
Murni mengangkat kepala, menatap mata Mahanta. Mata itu sangat hitam, tetapi cahaya temaram yang jatuh di sana menguarkan semburat keunguan. “Siapa kau sebenarnya?”
Mahanta balas memandangnya, lama. Sorot matanya… penuh kabut dan kelelahan yang… tidak manusiawi.
“Aku yang mengantar mereka saat tak ada siapa pun yang mau menemani.”
Suara lonceng kecil berdentang dari arah belakang dapur.
Mahanta menoleh. "Ada yang akan datang malam ini."
Lalu ia menghilang ke dapur, dan kembali dengan membawa nampan. Ada satu mangkuk berisi sup bening di atasnya. Tapi sebelum disajikan ke pelanggan tak terlihat, ia menaruhnya di depan Murni.
“Mau kau lihat?”
Murni menelan ludah.
Dalam sup itu, bayangan mulai terbentuk. Sosok anak kecil berdiri di atap gedung tinggi. Menangis. Angin malam mengibarkan rambutnya. Langkah kecilnya tertatih maju, ragu-ragu... tinggal satu jengkal ke tepi.
Murni menahan napas.
“Aku tahu tempat itu,” bisiknya. “Rumah sakit mental di utara kota.”
Mahanta mengangguk.
“Dia belum melompat. Tapi sudah sangat dekat.”
“Aku harus ke sana,” gumam Murni.
“Jika kau pergi sekarang, mungkin dia bisa diselamatkan. Tapi... sekali kau campur tangan, kau tidak bisa kembali sebagai orang biasa. Mata yang sudah melihat, tidak bisa buta lagi.”
Tanpa memedulikan ucapan Mahanta, Murni sontak berdiri. Dadanya sesak. Suara dalam dirinya —suara yang sama dengan pesan di ponsel itu —berbisik:
“Pergilah. Kau belum terlambat.”
Tapi Mahanta berkata lirih, “Kalau kau pergi, kau akan mulai ingat.”
“Ing—ingat apa?”
Mahanta tak menjawab, hanya menatapnya. Dan di mata hitamnya, Murni melihat pantulan dirinya sendiri—bukan sebagai perempuan biasa, tapi sebagai sosok yang terbakar dalam kobaran api.
kesedihan ,bebannya pindah ke murni ?
🤔
apakah jiwa nya blm kembali ke asal
masih gentayangan
tapi kebanyakan semakin di larang semakin penasaran