NovelToon NovelToon
IBU SUSU PUTRIKU WANITA GILA

IBU SUSU PUTRIKU WANITA GILA

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Balas Dendam / Ibu Pengganti / Cinta Seiring Waktu / Ibu susu
Popularitas:10.5k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Davian Meyers ditinggal oleh istrinya kabur yang mana baru saja melahirkan putrinya bernama Cassandra Meyers.

Sayangnya Cassandra kecil justru menolak semua orang, selalu menangis hingga tidak mau meminum susu sama sekali.

Sampai dimana Davian harus bersedih hati karena putri kecilnya masuk rumah sakit dengan diagnosa malnutrisi. Hatinya semakin hancur saat Cassandra kecil tetap menolak untuk menyusu. Lalu di rumah sakit Davian menemukan putrinya dalam gendongan seorang wanita asing. Dan mengejutkannya Cassandra menyusu dengan tenang dari wanita tersebut.

Akan tetapi, wanita tersebut tiba-tiba pergi.

Demi kelangsungan hidup putrinya, Davian mencari keberadaan wanita tersebut lalu menemukannya.

Tapi bagaimana jika wanita yang dicarinya adalah wanita gila yang dikurung oleh keluarganya? Akankah Davian tetap menerima wanita itu sebagai ibu susu putrinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 24. KEBENARAN YANG PAHIT

Rumah itu terasa terlalu tenang sore itu. Sunyi, hampir seperti diam yang disengaja. Tirai di ruang tengah setengah tertutup, membiarkan cahaya matahari masuk samar, hanya berupa garis-garis tipis yang jatuh ke lantai kayu. Davian meletakkan jasnya di sandaran kursi, wajahnya tanpa ekspresi, tetapi matanya keras seperti batu yang tak bisa ditembus. Di tangannya, ia masih menggenggam map krem berisi lembaran hasil dari psikiater.

Peter ada di belakangnya, menutup pintu rumah dengan sedikit hentakan. Rautnya juga tak kalah serius, meskipun biasanya dialah yang paling bisa menenangkan ketegangan di antara mereka. Namun kali ini, kekecewaan terlanjur menempel di wajahnya.

Olivia, yang sejak tadi duduk di sofa ruang tengah, sontak menoleh begitu mendengar pintu ditutup. Tatapannya mencari-cari jawaban di wajah dua pria itu. Ia tahu ada sesuatu yang berbeda. Aura yang dibawa Davian dan Peter bukanlah aura biasa ketika mereka pulang dari luar. Bukan lelah, bukan pula sekadar murung ... ini seperti badai yang dipendam, menunggu waktu untuk meledak.

"Bagaimana ... hasilnya?" suara Olivia pelan, penuh keraguan. Tahu kalau mereka baru pulang dari klinik psikiatri.

Pertanyaan itu justru membuat suasana semakin berat. Davian menatap Olivia tanpa berkedip. Peter hanya menghela napas panjang, lalu berjalan mendekat.

"Kau ingin tahu hasilnya?" Davian akhirnya bersuara. Nada suaranya dingin, bahkan lebih tajam daripada biasanya. Ia meletakkan map itu di meja, tepat di hadapan Olivia. "Baca sendiri."

Olivia menunduk. Jemarinya gemetar saat menyentuh tepi map itu, membuka lipatan kertas di dalamnya. Matanya bergerak cepat membaca kalimat-kalimat dari psikiater yang seharusnya memberi jawaban tentang dirinya. Namun, semakin ia membaca, semakin wajahnya memucat.

'Olivia Morgan tidak menunjukkan gejala gangguan mental atau skizofrenia. Hasil pemeriksaan kognitif dan afektif normal. Kondisi pasien sehat secara mental, hanya mengalami kecemasan dan ketakutan berlebih akibat pengalaman traumatis.'

Kalimat itu menonjol seperti pisau yang menusuk dada. Olivia menelan ludah.

"Ini ... tidak benar," gumamnya lirih, hampir seperti suara anak kecil yang menyangkal hukuman.

Davian mendengus sinis. "Tidak benar? Itu hasil dari psikiater terbaik yang kau sendiri setujui untuk kau temui. Kami duduk di sana, mendengar semua penjelasan. Kau sehat, Olivia. Sehat."

Peter menambahkan, suaranya lebih lembut tapi tegas, "Tidak ada gangguan jiwa, tidak ada kegilaan seperti yang selama ini kau katakan. Yang ada hanya rasa takut, rasa cemas, rasa panik yang bisa dimengerti, apalagi setelah apa yang kau alami. Tapi itu bukan berarti kau gila, Olivia."

Hening. Olivia menutup lembaran itu, meletakkannya di pangkuannya. Napasnya tersengal-sengal, matanya berair. Ia merasa dinding di sekelilingnya runtuh satu per satu.

Davian menyilangkan tangan di dada, menunduk sedikit sambil menatapnya tajam. "Jadi, apa maksudmu selama ini berpura-pura gila? Apa maksudmu di keluarga Morgan bersikap seolah-olah kau wanita rapuh yang kehilangan kewarasan?"

Olivia menggeleng cepat, air matanya jatuh. "Aku ... aku hanya ...." suaranya terputus, sesak.

Peter mendekat, duduk di kursi seberang, mencondongkan tubuhnya. "Olivia, tolong berhenti berbohong. Kami mempercayaimu selama ini. Kami bahkan melindungimu karena kami pikir kau benar-benar rapuh, benar-benar sakit. Tapi ternyata semua hanya dusta?"

Olivia menutup wajah dengan kedua tangannya. "Aku tidak bermaksud menipu kalian ... aku hanya ... aku takut."

Davian mengetuk meja dengan jarinya, keras, membuat Olivia tersentak. "Takut? Kau bisa bilang takut. Tapi bukan berarti kau bisa menggunakan kata 'gila' untuk menutupi semuanya. Kau membuat kami percaya kebohonganmu! Kau membuat kami merasa harus menjaga setiap langkahmu seolah kau akan hancur kapan saja. Apa kau tahu rasanya?"

Air mata Olivia makin deras. Ia tak sanggup menjawab pertanyaan itu. Olivia tahu bahwa ia bersalah telah berbohong, tapi ia punya alasan untuk itu. Bukan untuk mengambil keuntungan semata.

Davian dan Peter saling bertukar pandang. Ada kilatan marah, kecewa, juga bingung.

Peter berbisik, hampir seperti gumaman pada dirinya sendiri, "Jadi semua yang kulihat di rumah Morgan itu ... semua tangisanmu, semua teriakanmu ... hanya sandiwara?"

Olivia buru-buru menggeleng. "Tidak! Itu nyata! Aku ... hanya ... aku biarkan semua orang percaya aku gila, karena dengan begitu mereka berhenti menuntutku untuk ... hal yang ... tidak harus kulakukan."

Suasana ruangan mendidih. Kata-kata Olivia tidak cukup untuk meruntuhkan tembok kekecewaan di hati kedua pria itu.

Davian mencondongkan tubuh, suaranya rendah tapi menusuk, "Kau tidak mengerti, Olivia. Kami hidup dengan pikiran bahwa kau seorang wanita rapuh, seorang wanita yang harus kami lindungi dari dunianya sendiri. Aku bahkan ..." ia terhenti sejenak, lalu menekan kata-katanya dengan getir, "... aku bahkan merasa bersalah meninggalkanmu sendirian di ruangan karena takut kau akan melukai dirimu sendiri."

Olivia membeku. Setiap kata Davian terasa seperti tamparan.

Peter menambahkan, "Dan aku selalu menahan diri untuk tidak menanyaimu lebih dalam, karena aku takut membuatmu hancur. Tapi sekarang? Kau sehat. Kau normal. Semua itu hanya karena kau membiarkan kami percaya kebohongan."

Olivia menunduk, bahunya terguncang oleh tangis.

Davian berdiri, berputar mengelilingi ruangan, tangannya masuk ke saku celana. "Aku benci dibohongi, Olivia. Kau tahu itu? Aku bisa menerima banyak hal, bahkan luka, bahkan kebenaran yang pahit. Tapi kebohongan? Tidak. Itu sama saja kau merampas kepercayaan kami."

Peter menghela napas berat, menatap Olivia dengan sorot mata yang kini lebih penuh luka daripada marah. "Kami menaruh rasa percaya padamu. Dan kau menghancurkannya."

Olivia ingin bicara, ingin menjelaskan, tapi suara tercekat di tenggorokan. Kata-kata tidak lagi mampu menjembatani jarak yang mendadak begitu lebar.

"Aku tahu aku salah, aku hanya ingin bersama Cassandra. Biarkan aku bersamanya. Biarkan aku memeluknya. Biarkan aku mengasuhnya. Hanya itu yang aku inginkan. Aku tidak minta apa-apa lagi." Suaranya pecah ketika Olivia berbicara.

Peter terdiam. Ada rasa iba yang melintas sesaat di wajahnya, namun cepat tersapu oleh kenyataan bahwa kebohongan Olivia telah membuat mereka merasa dipermainkan.

Davian, sebaliknya, menegang. Rahangnya mengeras, matanya berkilat dingin. "Cassandra?" katanya perlahan, tapi penuh tekanan. "Kau bicara seolah dia benar-benar milikmu."

Olivia menoleh, menatap Davian dengan mata sembab. "Dia anakku. Dialah satu-satunya alasan aku masih bertahan hidup. Aku melahirkannya."

Suasana ruangan semakin berat. Peter menelan ludah, lalu mencoba menengahi. "Olivia, kau harus realistis. Cassandra ... bukan putri kandungmu, dia putriku. Kau tahu itu."

Kalimat itu menghantam Olivia bagaikan palu besar. Ia menggeleng kuat-kuat, hampir berteriak, "Dia anakku! Aku yang melahirkannya, aku yang memberinya kehidupan-"

"Cukup!" Davian memotong dengan suara lantang, membentak hingga membuat Olivia terdiam seketika. "Jangan ulangi kebohongan itu di depanku. Kau tahu betul siapa Cassandra. Aku membiarkanmu tinggal di sisinya dan membiarkanmu merasa seperti ibunya karena aku berharap dengan itu, kau bisa membaik. Aku berharap kau bisa merasa punya sesuatu untuk dijaga, sesuatu yang mengikatmu dengan kenyataan."

Olivia terpaku, tubuhnya bergetar hebat. Kata-kata Davian menghancurkan pertahanannya.

"Selama ini," Davian melanjutkan dengan nada getir, "aku menutup mata pada kenyataan. Aku biarkan kau menyusuinya. Aku biarkan kau memeluknya, membisikkan doa-doa di telinganya, bahkan memperlakukannya seolah-olah dia benar-benar darah dagingmu. Semua itu kubiarkan demi melihatmu sedikit lebih waras."

Air mata Olivia mengalir deras tanpa henti.

Davian menunduk sejenak, lalu menatapnya tajam lagi. "Aku melindungimu karena aku pikir kau lemah. Aku percaya kau memiliki gangguan mental walau pun kau tidak gila. Tapi ternyata tidak, Olivia. Kau sehat. Dan justru itu yang membuat kebohonganmu lebih sulit kuterima. Kau tahu persis bahwa Cassandra bukan milikmu. Tapi kau memilih untuk berpura-pura. Kau memilih untuk menipu dirimu sendiri, dan juga kami."

Olivia jatuh terduduk di sofa, memeluk dirinya sendiri. Tangisnya pecah tanpa bisa ditahan lagi.

Peter mencoba menenangkan, meski suaranya tetap tegas. "Olivia, dengarkan aku. Kau memang tidak sakit jiwa, tapi jelas kau punya luka yang dalam. Ketakutanmu, kecemasanmu kami bisa mengerti. Tapi memaksakan Cassandra sebagai milikmu, itu bukan jalan keluar. Itu justru akan menghancurkanmu."

Olivia menggeleng keras-keras, sambil terisak. "Tidak! Dia satu-satunya yang membuatku bisa bernapas. Tanpa Cassandra, aku tidak ada apa-apa. Dia bukan sekedar bayi bagiku. Dia adalah hidupku."

Davian memalingkan wajahnya, berjalan mondar-mandir di ruangan. Raut wajahnya diliputi amarah yang nyaris tak terbendung. Lalu tiba-tiba ia berhenti, menatap Olivia dengan dingin.

"Kalau begitu, dengarkan keputusanku," katanya mantap.

Peter sontak menoleh saat tahu apa yang akan sepupunya itu katakan. "Davian-"

"Tutup mulutmu, Peter. Ini bukan saatnya kau menentangku," potong Davian tajam.

Peter terdiam, meski wajahnya tampak keberatan.

Davian kembali menatap Olivia, suaranya berat, tegas, dan tak memberi ruang untuk penolakan. "Mulai hari ini, kau tidak boleh lagi berada di dekat Cassandra, kecuali untuk menyusuinya. Tidak ada lagi tidur bersamanya, tidak ada lagi membawanya ke kamarmu, tidak ada lagi kau duduk berjam-jam menganggapnya milikmu. Kau hanya boleh menyusuinya. Setelah itu, dia kembali padaku. Bahkan jika Cassandra tidak lagi memerlukan ASI darimu, artinya kau tidak punya hak lagi untuk sekedar melihatnya."

Olivia menegang, matanya membelalak. "Tidak ... jangan ...."

"Keputusan ini final," lanjut Davian tanpa ragu. "Kau sudah cukup lama menipu kami. Kau harus belajar menghadapi kenyataan, Olivia. Cassandra bukan milikmu. Dan aku tidak akan membiarkanmu terus hidup dalam delusi itu."

Jeritan pecah dari bibir Olivia. "Jangan ambil dia dariku! Jangan! Aku mohon, Davian! Biarkan aku bersamanya! Kau bisa membenciku, kau bisa hukum aku, tapi jangan ambil dia! Cassandra ... dia satu-satunya kedamaian yang kupunya!"

Davian memalingkan wajah, rahangnya mengeras. Ia tak ingin terlihat goyah.

Peter akhirnya ikut bicara, mencoba sedikit melunakkan. "Olivia, ini bukan berarti kau tidak boleh menyayanginya. Tapi kau harus menerima kenyataan. Cassandra bukan milikmu. Jika kau ingin tetap ada di sisinya, maka mulailah dengan kejujuran. Jangan lagi menutupi kebohongan dengan berpura-pura."

Olivia hanya menangis keras, tubuhnya terguncang hebat. Ia merasa seperti dicabut dari akar kehidupannya. Semua yang ia genggam untuk bertahan, dirampas dalam sekejap.

Davian menutup mata sejenak, menahan amarah dan luka yang bercampur. Lalu ia berkata lirih tapi tajam, "Inilah harga dari kebohonganmu, Olivia. Kau kehilangan satu-satunya yang kau anggap milikmu, karena ternyata ia bukan milikmu sejak awal."

Suasana ruangan jatuh dalam keheningan yang mencekam. Hanya suara tangis Olivia yang pecah-pecah memenuhi udara.

Di dalam hatinya, ia merasa dunia runtuh. Cassandra adalah satu-satunya tempat ia menemukan damai, satu-satunya alasan untuk bertahan. Dan kini, bahkan itu pun direnggut.

Sejak hari itu, Olivia benar-benar kehilangan pegangan.

1
Nor aisyah Fitriani
wahhhh ada bom yang akan siap meledak
Jelita S
mungkinkah ada konspirasi disini???
Casie mungkin anaknya Davian dengan Olivia?,,dan mungkin ini semua permainan Raymond?
Jelita S
Akhirnya,,,,Casie cepat satukan mom and Dady mu y😀😀
Archiemorarty: Benar Cassie
total 1 replies
Ir
kau yang mulai kau yang mengakhiri
kau yang berjanji kau yang mengingkari
Archiemorarty: Aku bacanya sambil nyanyi wehhh
total 1 replies
Hasbi Yasin
sadar juga davian takut kehilangan olivia
Archiemorarty: Siapa yang nggak takut kalau pas liat doi sekarat
total 1 replies
Jelita S
sabar y babang Davian
Jelita S
peter kamu Daebak🫰
Archiemorarty: Terbaik emang Abang Peter /CoolGuy/
total 1 replies
Annida Annida
lanjut tor
Archiemorarty: Siap kakak, terima kasih /Determined/
total 1 replies
Hasbi Yasin
hukuman nya kejam banget si davian udah di peringatin sma peter gk mau jdi olivia bunuh diri deh
Archiemorarty: Manusia nggak ada yang sempurna, kadang kalau emosi kan suka gitu, salah ngambil keputusan
total 1 replies
Jelita S
Biarkanlah ini mnjadi tragedi yg menyadarkan Davian untuk lebih peka lgi terhadap Olivia
Archiemorarty: Benar, karena gimana pun Davian juga manusia biasa /Cry/
total 1 replies
Ir
hayoo lhooo pian tanggung jawab luuu
kalo sampe Raymond tau wahh abis citra mu piann, di sebar ke sosial media dengan judul
" PEMBISNIS MUDA DAVIAN MAYER, MENJADI MENYEBABKAN SEORANG WANITA BERNAMA OLIVIA MORGAN BUNUH DIRI " tambah bumbu pelecehan dll wahh habis karir 🤣🤣🤣
Ir: hahahhaa 🤣🤣🤣
total 2 replies
Ir
kan jadi gila beneran ck
bisa diskusi baik² bisa di omongin baik² , suka banget ngambil keputusan saat emosi
Ir
ada dua sudut pandang berbeda secara aku pribadi, kan dari awal emang Olivia ga bilang dia gila, orang² aja yg bilang dia gila termasuk emak tirinya, nah seharusnya pian sama Peter jangan langsung menghakimi setidaknya tanya dulu alasan kepura²an nya itu tujuan nya apa, dan untuk Olivia kenapa ga jujur setelah pian tau kebohongan nya dia, apa aja yg selama ini dia alami di rumah Morgan dan selama menikah dengan Raymond
Archiemorarty: Hahahaha....sabar kawan, Olivia juga udah ngalamin banyak hal buruk. Dia cuman takut nggak bisa bareng Cassie lagi
total 3 replies
Ir
Olivia itu lebih ke trauma, takut, patah hati, kecewa, kehilangan dan semua itu Olivia pendem sendiri ga ada tempat buat di berkeluh kesah ga ada yg menguatkan, mental orang beda² jangan kan Olivia, aku aja sampe sekarang kalo ada tlp di jam 2/3 tiga pagi rasanya masih takut, karna jam itu aku pernah dapet kabar adek ku koma, sedangkan posisi aku lagi kerja di luar kota sampe akhirnya jam 2 siang dapet kabar dia udah ga ada, mungkin keliatan nya cuma hal sepele tapi bagiku itu membuat ku trauma
Archiemorarty: Benar, karena mereka nggak ngerasain rasanya.
total 3 replies
Hasbi Yasin
jadi gila beneran kan biarlah casandra kehilangan olivia biar davian ngrasa bersalah
Archiemorarty: hehehe....apa itu damai buat othor
total 1 replies
Jelita S
aku jga jdi dilema Thor mau mengasihani siapa
Archiemorarty: Drama dikit buat mereka
total 1 replies
Nor aisyah Fitriani
lanjutt terussa
Archiemorarty: Siap kakak
total 1 replies
Jelita S
kasihan Olivia tpi kenyataan harus tetap diterima🔥🔥🔥🔥
Archiemorarty: Benar itu
total 1 replies
Jelita S
aduh misteri apalagi kah ini???????????
Archiemorarty: Muehehehe
total 1 replies
Ir
wait suami, kapan mereka menikah kak 😳😳😳
Archiemorarty: Hooh..saya masih belum move on dari bapak Rion dan Lili /Sob/
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!