Halwa adalah siswi beasiswa yang gigih belajar, namun sering dibully oleh Dinda. Ia diam-diam mengagumi Afrain, kakak kelas populer, pintar, dan sopan yang selalu melindunginya dari ejekan Dinda. Kedekatan mereka memuncak ketika Afrain secara terbuka membela Halwa dan mengajaknya pulang bersama setelah Halwa memenangkan lomba esai nasional.
Namun, di tengah benih-benih hubungan dengan Afrain, hidup Halwa berubah drastis. Saat menghadiri pesta Dinda, Halwa diculik dan dipaksa menikah mendadak dengan seorang pria asing bernama Athar di rumah sakit.
Athar, yang merupakan pria kaya, melakukan pernikahan ini hanya untuk memenuhi permintaan terakhir ibunya yang sakit keras. Setelah akad, Athar langsung meninggalkannya untuk urusan bisnis, berjanji membiayai kehidupan Halwa dan memberitahunya bahwa ia kini resmi menjadi Nyonya Athar, membuat Halwa terombang-ambing antara perasaan dengan Afrain dan status pernikahannya yang tak terduga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1
Suara riuh suara para siswa saat jam istirahat sekolah.
Halwa menikmati nasi pecel dan es kacang ijo di mejanya.
Di saat sedang makan, ia melihat Dinda, Rina dan Bobby.
"Dia lagi, dia lagi. Kapan hidupku bisa tenang." gumam Halwa sambil menikmati nasi pecelnya.
Dinda terkenal kaya raya dan orang tuanya memiliki andil di sekolah Tunas Bangsa.
Tapi Halwa tidak peduli karena ia sekolah disini berkat beasiswa miliknya.
"Eh, lihat siapa di sini. Si kutu buku lagi makan sendirian,” ejek Dinda dengan nada meremehkan.
Mereka langsung tertawa kecil sambil mengejek Halwa.
Halwa menghela nafas panjang dan pindah ke meja lain.
Dinda dan kedua temannya juga menyusul ke meja Halwa.
"Kalian ini mau apa sih? Mau makan juga?" tanya Halwa.
Dinda mengibaskan rambutnya, lalu melempar sebuah kartu undangan berwarna emas ke atas meja.
“Nih, undangan ulang tahunku. Tapi nggak usah terlalu berharap di undang beneran, ya. Aku cuma kasihan aja, biar kamu punya alasan keluar rumah selain baca buku,” sindir Dinda.
Halwa menatap undangan itu, lalu tersenyum tipis. Ia berdiri, masih memegang piring nasi pecelnya.
“Terima kasih, Dinda. Aku pikir-pikir dulu,ya. Bisa datang atau nggak. Soalnya aku sibuk dengan buku-buku aku," jawab Halwa
Sikap santai Halwa justru membuat wajah Dinda memerah.
Ia kesal karena ejekannya tidak berhasil memancing reaksi.
“Terserah kamu!” bentak Dinda sebelum berbalik pergi dengan langkah cepat, diikuti kedua temannya yang masih tertawa kecil.
Halwa melanjutkan makanannya tanpa ada gangguan Dinda.
Setelah menghabiskan makanannya, Halwa memutuskan untuk kembali ke kelas.
Halwa berjalan santai sambil memeluk buku-bukunya.
Ia baru saja melewati papan pengumuman ketika langkahnya terhenti.
Di ujung koridor, seseorang berdiri menunduk sambil merapikan kertas ujian di tangannya.
Seragamnya rapi, dasinya terikat sempurna, dan senyum tipisnya seolah bisa membuat udara di sekitar menjadi hangat.
Afrain Agustaf, kakak kelas yang dikenal pintar, sopan, dan aktif di organisasi sekolah.
"Kenapa tiba-tiba jantungku berdetak kencang," gumam Halwa sampai bukunya jatuh semua.
Afrain menoleh dan langsung berlari ke arah Halwa.
"Lagi ngelamun apa, Halwa?" tanya Afrain dengan senyum tipisnya.
Halwa buru-buru menundukkan kepalanya sambil mengambil buku-bukunya yang jatuh.
Afrain ikut berjongkok membantu mengumpulkan buku-buku Halwa yang berserakan di lantai.
Jemarinya sempat bersentuhan dengan tangan Halwa saat mereka sama-sama meraih buku yang sama.
Seketika, Halwa menarik tangannya cepat-cepat, wajahnya memerah.
“Maaf, aku nggak sengaja,” ucapnya pelan.
Nggak apa-apa. Tapi lain kali hati-hati, ya. Bisa-bisa bukumu jatuh semua lagi.” ujar Afrain.
Halwa hanya mengangguk, menatap lantai tanpa berani membalas tatapan Afrain.
“Eh, kamu abis dari kantin ya?” tanya Afrain lagi, mencoba mencairkan suasana.
“Iya, Kak. Aku makan pecel,” jawab Halwa singkat.
Afrain tertawa kecil saat mendengar perkataan dari Halwa.
"Ternyata makanan favorit kita sama ya, Hal." ucap Afrain.
Disaat sedang mengobrol tiba-tiba Dinda datang bersama Rina dan Bobby.
"Wah, wah. Tenyata kutu buku suka ya sama Kak Afrain," ucap Rina teman Dinda.
Afrain yang mendengarnya langsung menatap mereka bertiga.
"Kalau Halwa suka sama aku, kenapa? Apa kalian keberatan?"
Dinda, Rina dan Bobby langsung terdiam saat mendengar perkataan dari Afrain.
“E-eh, bukan gitu, Kak Afrain. Kami cuma bercanda aja,” ucap Dinda cepat, mencoba menutupi rasa malunya.
Afrain menatap mereka satu per satu dengan sorot mata tenang, namun tajam.
“Kalau bercanda, jangan sampai menyakiti orang lain. Apalagi teman sekelasmu sendiri,” ujar Afrain yang kemudian mengajak Halwa masuk kedalam kelas.
Halwa menundukkan kepalanya sambil menatap wajah Afrain yang sudah membantunya tadi.
"Kak, terima kasih ya. Tadi kakak sudah membantuk" ucap Halwa.
Afrain tersenyum kecil, menatap Halwa yang masih menunduk.
“Sudah, nggak usah dipikirin. Mereka cuma belum ngerti gimana rasanya jadi orang yang berusaha dari bawah,” ucap Afrain.
Kemudian Afrain kembali ke kelasnya yang ada di dekat ruang guru.
Bel sekolah berbunyi dan semua murid kembali masuk kedalam kelas.
Mereka langsung terdiam saat mendengar suara langkah kaki Bu Dayang guru PPKN.
"Halwa, tolong maju kesini sebentar." ucap Bu Dayang.
Halwa bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Bu Dayang.
"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Halwa dengan sopan.
Bu Dayang membuka tasnya dan memberikan amplop kepada Halwa.
"Ini hadiah dari lomba kemarin. Kamu juara satu lomba esai nasional, Halwa," ucap Bu Dayang dengan senyum bangga.
Seluruh kelas sontak menatap ke arah Halwa dan
beberapa murid bertepuk tangan, meski sebagian hanya melirik acuh.
Halwa menatap amplop itu dengan wajah kebingungan.
“Serius, Bu? Saya juara satu?” tanya Halwa yang masih tidak percaya.
“Iya, tulisanmu tentang ‘Pendidikan untuk Semua’ menarik perhatian juri. Kamu berhasil mengalahkan peserta dari sekolah-sekolah besar di Jakarta.”
Halwa yang mendengarnya langsung meneteskan air matanya.
"Terima kasih banyak, Bu. Saya senang sekali,” ucap Halwa yang kemudian kembali duduk di kursinya.
Bu Dayang mengambil buku paket dan mulai mengajar.
Halwa mencatat apa yang diterangkan oleh Bu Dayang.
Detik demi detik berganti dan bel pulang sekolah sudah berbunyi.
Halwa memasukkan semua bukunya dan ia keluar dari kelas.
"Ayo, aku antar kamu pulang." ucap Afrian yang menghampiri Halwa.
Halwa sedikit terkejut dengan ajakan Afrain yang akan mengantarnya pulang.
"Kak Afrain, tidak usah repot-repot. Aku bisa naik angkutan umum." ujar Afrain yang langsung menggenggam tangan Halwa.
Afrain memberikan helmnya dan meminta Halwa naik ke motor sportnya.
Halwa sempat ragu saat Afrain mengulurkan helm padanya.
Semua mata di halaman sekolah seakan menatap mereka berdua.
"Kak, beneran nggak apa-apa?" tanya Halwa pelan, suaranya nyaris tenggelam oleh suara siswa-siswa lain yang bersorak.
Afrain tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya.
"Nggak apa-apa. Aku nggak mau kamu capek naik angkutan. Ayo, cepat naik, nanti macet."
Halwa akhirnya menerima helm itu. Ia mengenakannya perlahan, lalu naik ke jok belakang motor Afrain.
Begitu mesin motor menyala, suara knalpot langsung menarik perhatian seluruh siswa yang masih berkumpul di halaman.
Beberapa siswa berbisik-bisik dan sebagian lagi menatap iri.
“Seriusan? Kak Afrain nganterin Halwa?” ucap Mira.
“Wah, pantesan dia cuek sama Dinda, ternyata sukanya yang pintar-pintar!” ucap Sisil.
Dinda yang baru saja keluar dari gerbang langsung mengerucutkan bibirnya.
"Halwa, dasar gadis miskin sok suci!” gumamnya dengan nada kesal.
Rina dan Bobby yang ada di sebelahnya saling pandang saat mendengar amarah Dinda.
"Sudah lupakan saja, Kak Afrain. Kan masih ada Kak Zaenal." ucap Rina.
Dinda melirik ke arah Rina dan langsung mencubitnya.