Sari, seorang gadis desa yang hidupnya tak pernah lepas dari penderitaan. Semenjak ibunya meninggal dia diasuh oleh kakeknya dengan kondisi yang serba pas-pasan dan tak luput dari penghinaan. Tanpa kesengajaan dia bertemu dengan seorang pria dalam kondisinya terluka parah. Tak berpikir panjang, dia pun membawa pulang dan merawatnya hingga sembuh.
Akankah Sari bahagia setelah melewati hari-harinya bersama pria itu? Atau sebaliknya, dia dibuat kecewa setelah tumbuh rasa cinta?
Yuk simak kisahnya hanya tersedia di Noveltoon. Dengan penulis:Ika Dw
Karya original eksklusif.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ika Dw, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Jangan Tinggalkan Aku
Dengan sangat terpaksa Rahmat memberinya tumpangan pada pria asing itu. Melihatnya dalam kondisi terluka dia tak bisa membayangkan betapa menderitanya kala di luar sendirian. Dia bahkan mengabaikan cucu perempuannya yang berniat untuk mengusirnya dari rumah. Ia paham dengan pemikiran cucunya menampung pria asing sudah pasti menambah beban masalah baginya.
"Sari, dengarkan kakek. Kakek melakukan semua ini karena kakek pernah ada di posisinya. Dulu kakek juga tersesat di daerah ini, untungnya kakek bertemu dengan orang-orang yang baik dan ditampung di sini. Sebagai manusia kita harus saling membantu, itung-itung buat amal. Coba kamu bayangkan, jika itu terjadi padamu bagaimana perasaanmu?"
Perlahan-lahan Rahmat memberinya pengertian. Dia mengingatkan padanya agar memiliki empati pada orang yang membutuhkan. Pria itu terluka cukup parah, bahkan ingatannya terganggu, akan lah sangat jahat jika tidak ada yang mempedulikannya.
"Kakek, bukannya aku nggak mau bantuin dia, aku hanya khawatir kalau dia itu kumpulan orang nggak bener, selain itu dia punya keluarga, dan tentunya keluarganya kebingungan untuk mencarinya. Niat kita memang baik ingin membantu, tapi kalau ujung-ujungnya mengecewakan gimana? Sudah berapa banyak orang yang kita bantu, tapi apa yang kita dapatkan? Kita tidak mendapatkan apa-apa, yang ada kita dinilai buruk oleh warga sini. Permasalahan kita sudah cukup besar kek, selalu menjadi gunjingan warga itu tidak lah menyenangkan. Warga di sini nggak ada yang suka sama aku, begitu hinanya mereka selalu memandangku sebelah mata. Sekarang kakek malah menambah masalah baru dengan menampungnya di sini. Tolong lah kek, dipikir pikir dulu
!"
Terungkap sudah apa yang menjadi kegelisahan Sari. Dia tidak ingin kejadian di masa lalu terulang kembali. Tidak semua orang bisa menerima niat baiknya, tidak semua niat baik dinilai baik pula, kebanyakan orang yang ditolong malah tak tau diri dan sering membuatnya sakit hati.
"Ndok cah ayu, kakek tau apa yang tengah kamu pikirkan. Ini memang cukup berat, tapi mencobalah untuk bisa berlapang dada. Mereka yang menghujat kita belum tentu lebih baik dari kita. Biarkan saja mereka mau bilang apa, yang penting niat kita tulus ingin membantu. Kasihan pemuda itu. Dari tadi dia hanya diam melamun. Kakek yakin sekali hatinya sangat kacau. Dia juga tidak ingin berada di tempat ini, tapi apa yang bisa dilakukan? Arah jalan pulang pun dia tak tahu. Coba kamu mengerti perasaannya, jangan begitu membencinya, takutnya nanti kamu malah suka padanya!"
Sari mencebik. "Ck, kakek! Mana mungkin aku suka sama orang yang nggak jelas asal usulnya! Lagian aku nggak ingin buru-buru mencari pacar. Aku nggak mau patah hati gara-gara laki-laki. Itu si Salamah sekarang murung terus. Laki-laki yang dicintainya ternyata mau nikah sama perempuan lain. Kasihan sekali dia, sekarang patah hati dan hanya bisa menangis."
Rahmat terkekeh. "Semua orang pasti akan mengalami yang namanya patah hati. Kita hidup di dunia memiliki banyak ujian, salah satunya ya patah hati. Mungkin kamu belum pernah merasakannya, tapi kakek harap kamu jangan sampai mengalaminya. Saran kakek, carilah pasangan yang tepat dan mau menerima kondisimu. Kita hidup di kampung, lebih baik cari pasangan yang setara dengan kondisi kita."
Sampai detik ini Sari bahkan belum memiliki keinginan untuk menjalin hubungan serius dengan seorang pria, apalagi kepikiran untuk menikah. Ia masih trauma dengan kejadian yang dialami oleh orang tuanya. Dulu ibunya menikah dengan pria kota yang tak lain adalah ayah kandungnya, tapi ibunya dikhianati, bertahun-tahun ditinggal kembali ke kota tanpa kabar berita, alhasil ibunya dihujat warga sekitar dan dianggap wanita pembawa sial. Ibunya yang memiliki paras cantik tentunya menjadi idaman para pria di kampungnya, tentunya para wanita takut suaminya bakalan terpikat hingga membuat mereka beramai-ramai membully ibunya sampai membuatnya depresi dan berakhir tragis dengan mengakhiri hidupnya.
"Kakek, jangan pernah memaksaku untuk menikah, mungkin seumur hidup aku nggak akan pernah menikah."
"Hus! Ngomong apa kamu itu! Nggak boleh ngomong kayak gitu ndok! Famali! Kalau ada wali lewat gimana? Semua orang di dunia ini ditakdirkan untuk berpasangan, jangan mengambil keputusan yang nggak masuk akal. Kamu masih muda nak, perjalanan hidupmu masih panjang. Kakek memang tidak memaksamu untuk segera menikah, tapi bukan berarti kamu nggak bakalan nikah. Jangan takut akan bayang-bayang kelam masa lalu ibumu, tidak semua orang memiliki nasib yang sama. Ibumu mungkin tidak beruntung, tapi kamu belum tentu mengalami hal yang serupa. Percaya sama kakek, semua akan baik-baik saja. Kalau kamu nggak nikah, siapa nanti yang akan menjagamu? Saudaramu sudah nggak ada di sini. Kalau kakek sudah nggak ada, siapa yang akan menemanimu nak,"
Sari menangis dan memeluk kakeknya. Dadanya terasa sesak, tidak bisa membayangkan jika sampai kakeknya tiba-tiba meninggal. Haruskah ia hidup sebatang kara di tengah kerasnya berdampingan dengan orang-orang yang syirik terhadapnya? Mampukah ia menghadapi pedasnya mulut-mulut julid yang selalu menyerangnya?
"Kakek, tolong jangan pernah tinggalkan aku. Aku tidak bisa hidup tanpamu. Kalau kakek ninggalin aku, bagaimana dengan nasibku? Aku takut tinggal di sini sendirian kek, aku mohon jangan katakan tentang kematian, sungguh aku takut kakek!"
Rahmat menepuk pundaknya dengan meneteskan air matanya. Dia juga sedih, diam-diam berpikir, bagaimana jika sewaktu-waktu ia meninggal? Siapa yang akan menemani cucu perempuannya itu? Ia memang memiliki dua anak yang tinggal di luar kota, tapi tak satupun dari mereka mau merawat Sari, ayahnya sendiri juga tidak pernah berkunjung untuk menemuinya, bahkan sampai nafas terakhir istrinya pria itu tidak pernah muncul.
"Nak, dengerin kakek. Di dunia ini kita hanya sementara. Kita tidak pernah tahu seberapa panjang umur kita. Kita juga tidak tahu kapan Allah akan memanggil kita untuk kembali, jadi mau tidak mau kita harus siap. Cepat atau lambat kakek pasti bakalan ninggalin kamu, kamu harus siap, kamu nggak boleh sedih. Kamu harus tegar menghadapinya. Jika suatu saat nanti kakek tiada, alangkah baiknya kalau kamu cari ayahmu di kota. Hiduplah bersamanya, kakek yakin ayahmu bakalan menerimamu dengan baik."
Sari menggeleng. "Tidak kakek! Aku tidak akan mencarinya apalagi tinggal bersamanya! Dia saja sudah nggak peduli padaku dan juga ibu, untuk apa aku harus mencarinya. Aku bahkan sudah menganggapnya mati! Untuk apa memiliki ayah jika di hatinya tak ada kepedulian padaku. Dari kecil aku sudah hidup sama kakek, aku tidak akan pernah ninggalin kakek!"
Diam-diam pria asing itu mendengarkan ocehan mereka berdua. Hatinya tersentuh hanya mendengar kisah hidupnya.
"Menyedihkan sekali nasibnya. Aku pikir dia terlalu sombong dan juga angkuh, ternyata dia frustasi sudah menjadi korban keegoisan orang tua."