NovelToon NovelToon
Nyonya Muda Danurengga

Nyonya Muda Danurengga

Status: sedang berlangsung
Genre:Beda Usia / Nikahmuda / Cinta pada Pandangan Pertama / Duda
Popularitas:382
Nilai: 5
Nama Author: Stacy Agalia

Mentari Arata Wiradiredja, gadis 19 tahun pewaris tunggal keluarga Wiradiredja—konglomerat yang tersohor bisnis hotel dan resortnya, justru ingin mengejar mimpinya sebagai desainer. Penolakannya membuat hubungannya dengan keluarga kerap tegang.

Hidupnya berubah saat tak sengaja bertemu Dewangga Orlando Danurengga, duda tampan kaya raya berusia 35 tahun yang dingin namun memikat. Pertemuan sederhana di sebuah café menjerat hati mereka, meski perbedaan usia, status, dan restu keluarga menjadi jurang besar.

Di tengah cinta, mimpi, dan konflik dengan kakak-beradik Danurengga, Mentari harus memilih: mengejar cintanya pada Dewangga, atau tunduk pada takdir keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Stacy Agalia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Mentari di dua dunia

Mentari Arata Wiradiredja selalu punya cara untuk mencuri perhatian, meski ia tidak pernah berniat melakukannya. Gadis berusia sembilan belas tahun itu terlahir di tengah keluarga konglomerat yang namanya tak asing lagi di dunia perhotelan dan resort mewah di tanah pasundan. Keluarga Wiradiredja sudah puluhan tahun menancapkan pengaruh sebagai salah satu pemilik jaringan resort ternama di Indonesia.

Namun, meski lahir dengan segala kemewahan itu, Mentari sering merasa berada di persimpangan jalan. Ia terbiasa dengan pesta keluarga, rapat bisnis yang sesekali harus ia hadiri, serta tatapan orang-orang yang menuntutnya tampil sempurna. Tapi jauh di dalam hatinya, ia ingin sesuatu yang berbeda—sesuatu yang lebih personal, lebih jujur: menjadi seorang desainer.

*****

Pagi itu, rumah besar keluarga Wiradiredja dipenuhi aroma teh melati dan suara riuh obrolan sarapan. Meja panjang dari kayu jati penuh dengan hidangan khas Sunda bercampur menu kontinental. Ibunya, Ratna Neswari Arata, duduk dengan anggun, selalu menjaga citra sebagai istri seorang pengusaha besar. Ayahnya, Adikara Wiradiredja, tampak serius dengan iPad di tangannya, membaca laporan keuangan.

“Mentari, minggu depan ada pertemuan dengan investor Jerman di resort Lembang. Kamu ikut, ya,” ujar Adikara tanpa mengangkat kepala. Suaranya berat, tegas, dan selalu terdengar seperti instruksi yang tidak bisa dibantah.

Mentari, yang sedang mengoles selai matcha pada rotinya, berhenti sejenak. Ia menarik napas panjang.

“Ayah, minggu depan kan aku ada tugas besar di kampus, aku harus ngerjain proyek desain,” jawabnya hati-hati.

Ratna meletakkan sendoknya, menatap putrinya dengan ekspresi setengah cemas setengah kesal.

“Mentari, kamu itu pewaris tunggal keluarga ini. Semua yang ayah dan ibu bangun nanti akan jatuh ke tanganmu. Tugasmu di kampus itu penting, tapi kamu harus mulai belajar membagi waktu. Bisnis keluarga nggak bisa kamu abaikan begitu saja, sayang.”

Mentari menunduk. Sejak kecil, ia sudah terbiasa dengan kalimat-kalimat seperti itu. Dunia keluarga Wiradiredja memang penuh disiplin dan tuntutan. Ia mencintai orang tuanya, tapi ia juga punya mimpi yang berbeda.

“Aku ngerti, Bu. Tapi aku juga ingin menjalani hidup sesuai jalanku. Aku mau jadi desainer, bukan pengusaha hotel,” ucap Mentari lirih, lebih pada dirinya sendiri ketimbang pada kedua orang tuanya.

Tak ada jawaban. Hanya keheningan sesaat sebelum suara alat makan kembali beradu dengan piring porselen.

 .....

Siang harinya, Mentari sudah berada di kampusnya, Universitas Pratama Nusantara, salah satu universitas ternama di Bandung. Gedung kampus itu modern dengan sentuhan arsitektur minimalis. Di antara mahasiswa lain, Mentari tampak biasa saja—ia tidak begitu menonjolkan status keluarganya. Rambut hitam panjangnya ia ikat sederhana, pakaian yang ia kenakan kasual namun tetap rapi, jauh dari kesan putri konglomerat.

Di kelas desain, matanya berbinar saat dosen menjelaskan tentang tren fashion kontemporer. Ia sibuk mencatat ide-ide di buku sketsanya, membayangkan kain, pola, dan warna. Di sini, di dunia kampus, Mentari merasa hidup. Tak ada beban pewaris, tak ada rapat bisnis, hanya mimpi yang perlahan ingin ia raih.

Setelah kelas selesai, Mentari berjalan menuju taman kampus, tempat favoritnya untuk menggambar. Saat ia sibuk membuka buku sketsa, suara riang seseorang terdengar dari belakang.

“Eh, Neng Mentari! Lagi ngapain sendirian di sini?”

Mentari menoleh. Seorang pemuda dengan senyum lebar menghampirinya sambil mengacungkan tangan. Itulah Cakrawala Moreno Danurengga, mahasiswa semester akhir yang dikenal ramah dan mudah bergaul.

Cakra, begitu biasanya dipanggil, mempuny aura berbeda dari mahasiswa kebanyakan. Kulitnya sawo matang, tubuhnya tegap, dan matanya berkilat penuh semangat. Ia tipe orang yang bisa membuat orang lain merasa nyaman hanya dengan kehadirannya.

“Cakra, jangan panggil aku ‘Neng’, deh. Malu aku didengerin orang-orang,” jawab Mentari sambil terkekeh.

Cakra tertawa, duduk di bangku taman di sebelahnya.

“Tapi kamu keturunan Sunda, kan? Lagian ‘Neng’ itu manis. Cocok buat kamu.”

Mentari pura-pura cemberut. “Aku ngerti Sunda cuma dikit. Paling cuma kata-kata dasar. Jangan bikin aku pusing, ah”

Mereka berdua tertawa bersama. Obrolan mereka selalu ringan, penuh canda. Cakra sering jadi sosok yang bisa membuat Mentari melupakan sejenak masalah di rumah. Ia bercerita tentang tugas akhir, tentang dosen killer, bahkan tentang hobinya main basket.

Mentari menikmati kebersamaan itu. Ia menganggap Cakra sebagai sahabat yang tulus, yang selalu ada di sisinya. Tidak pernah terlintas sedikit pun di kepalanya bahwa pemuda itu diam-diam menyimpan perasaan lebih.

“Eh, nanti sore ada acara kampus. Pameran seni di aula. Kamu mau ikut?” tanya Cakra.

Mentari menggeleng pelan. “Kayaknya aku harus pulang cepat. Ibu lagi cerewet banget akhir-akhir ini. Aku nggak enak kalau keluyuran terus.”

Cakra mengangguk, meski ada sedikit kekecewaan di wajahnya.

“Ya udah, lain kali aja. Jangan lupa istirahat, jangan kebanyakan mikirin tugas. Kalau capek, inget, ada aku yang siap dengerin curhatan kamu,” katanya sambil tersenyum.

Mentari tersenyum balik. “Makasih, Cakra. Kamu emang sahabat terbaik.”

Kata-kata itu sederhana, tapi cukup untuk membuat hati Cakra tercekat. Ia mencoba menutupi rasa getir dengan senyum lebar, pura-pura santai seperti biasanya.

 .....

Matahari mulai turun, kembali ke peraduannya. Saat Mentari pulang ke rumah, pikirannya melayang. Di satu sisi, ia bersyukur punya sahabat seperti Cakra yang selalu mendukungnya. Di sisi lain, ia masih terbebani dengan harapan keluarganya.

Mentari duduk di depan meja belajarnya, membuka buku sketsa. Pensilnya menari di atas kertas, menciptakan gaun sederhana dengan detail bunga-bunga kecil. Bagi Mentari, menggambar adalah cara untuk bernapas, untuk melarikan diri sejenak dari kenyataan.

Namun, ia tidak pernah tahu, di luar sana takdir sedang menyiapkan pertemuan lain yang akan mengubah hidupnya. Pertemuan dengan seorang pria dewasa, penuh wibawa, yang kelak membuat hatinya bimbang—antara cinta yang tiba-tiba datang dan persahabatan yang sudah ia jaga.

Dan nama pria itu adalah Dewangga Orlando Danurengga.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!