Camelia tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah dalam satu malam.
Hanya karena hutang besar sang ayah, ia dipaksa menjadi “tebusan hidup” bagi Nerios—seorang CEO muda dingin, cerdas, namun menyimpan obsesi lama padanya sejak SMA.
Bagi Nerios, Camelia bukan sekadar gadis biasa. Ia adalah mimpi yang tak pernah bisa ia genggam, sosok yang terus menghantuinya hingga dewasa. Dan ketika kesempatan itu datang, Nerios tidak ragu menjadikannya milik pribadi, meski dengan cara yang paling kejam.
Namun, di balik dinding dingin kantor megah dan malam-malam penuh belenggu, hubungan mereka berubah. Camelia mulai mengenal sisi lain Nerios—sisi seorang pria yang rapuh, terikat masa lalu, dan perlahan membuat hatinya bimbang.
Apakah ini cinta… atau hanya obsesi yang akan menghancurkan mereka berdua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biebell, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 2 — Di dalam Rumah Mewah
Suara deru mobil mewah itu masih terngiang di telinga Camelia, bahkan setelah langkahnya kini menapaki lantai marmer dingin rumah megah milik Nerios. Aroma lavender samar bercampur wangi kayu cendana memenuhi ruang utama. Segala sesuatu terasa asing.
Dinding tinggi berhias lukisan abstrak, lampu gantung kristal berkilau menusuk matanya, dan bayangan dirinya yang bergetar terlihat jelas di permukaan lantai yang terlalu licin.
Camelia menarik napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya yang tak terkendali. Kedua tangannya bertaut, ia tak bisa memungkiri bahwa saat ini ia sangat merasa takut, hanya ia mencoba tidak memperlihatkan rasa takutnya itu.
“Mulai malam ini, tempat ini adalah rumahmu,” suara dingin Nerios terdengar di belakangnya.
Camelia menoleh. Pria itu melepas jas hitamnya, melemparnya begitu saja ke sofa panjang di ruang tengah, lalu menatapnya dengan sorot mata penuh arti.
Tatapan yang membuat Camelia bergidik. Ada sesuatu di balik mata itu—bukan sekadar amarah atau dendam, mungkin saja obsesi yang pekat, menjerat, dan sulit dijelaskan.
“Apa yang harus aku lakukan di sini, apakah kau akan menjadikanku seorang pembantu?” Pertanyaan konyol itu meluncur begitu saja dari mulut Camelia.
Nerios tersenyum tipis, namun senyumnya lebih menyerupai garis tajam yang penuh ancaman. “Bukankah sudah aku bilang bahwa kau adalah milikku? Itu artinya mulai detik ini kamu akan menjadi kekasihku, Sweetheart!”
Camelia bergidik mendengar kata terakhir yang terucap, kalimat yang diucapkan dengan suara berat itu seakan mutlak dan tidak akan pernah bisa terbantahkan.
Nerios melangkah mendekat. Setiap langkahnya terasa berat di telinga Camelia, seperti gema yang menghantui. Ia berhenti hanya satu jengkal darinya. Aroma parfum maskulin Nerios menyergap, membuat Camelia semakin gugup.
“Kau akan menemaniku, berada di sampingku setiap saat layaknya seorang kekasih. Kau bebas melakukan apapun di rumah ini, aku akan menuruti semua keinginanmu, kecuali ... kebebasan!”
Camelia menggigit bibir, matanya menatap mata tajam Nerios. “Itu terdengar seperti sebuah obsesi gila! Aku tidak mau selamanya berada di sisimu, aku ingin pulang!”
“Sayangnya, kau tidak punya pilihan,” jawab Nerios cepat. “Kau harus belajar, Camelia. Di dunia ini, bukan kau yang memegang kendali. Aku yang memilih. Aku yang memutuskan. Dan sejak lama aku sudah memilihmu.”
Kata-kata terakhir itu menyalakan bara ketakutan sekaligus penasaran di hati Camelia. Sejak lama…? Apa maksudnya?
Sebelum ia sempat bertanya, Nerios meraih tas dari tangannya dengan kasar, lalu meletakkannya di lantai. “Ikut aku,” ucapnya singkat.
Camelia mengikuti, langkahnya berat. Tangga spiral yang megah membawa mereka ke lantai dua. Lorong panjang terbentang, dengan pintu-pintu kamar berjejer rapi. Nerios membuka salah satunya.
Kamar luas dengan jendela besar menghadap kota, ranjang king-size berseprei putih bersih, dan meja rias indah menanti. Semua tampak sempurna—kecuali hawa dingin yang menusuk hati.
“Inilah kamar barumu,” kata Nerios. “Mulai malam ini, setiap pagi kau bangun di sini. Dan setiap malam… kau tidur di bawah aturanku.”
Camelia menoleh cepat, wajahnya pucat. “Apa maksudmu?”
Nerios hanya tersenyum samar. Ia berjalan mendekat ke arah jendela, menyingkap tirai, memperlihatkan panorama lampu kota yang berkelap-kelip. “Lihatlah, Camelia. Dunia di luar sana bisa jadi indah, tapi sekaligus berbahaya. Di sini, aku bisa menjagamu. Namun ingat, jika kau mencoba kabur, kota ini lebih kejam daripada aku.”
Camelia merasakan dadanya sesak. Nerios bukan hanya menahannya secara fisik, tapi juga mulai menjerat mentalnya dengan ketakutan.
“Aku… aku bukan bonekamu,” bisik Camelia, suaranya pecah.
Nerios berbalik. Dalam sekejap ia berdiri di hadapannya, menatap tepat ke matanya. Tatapannya tajam, mendominasi, tapi juga penuh perasaan terpendam.
“Kau salah, Camelia,” ucapnya pelan, nyaris intim. “Kau jauh lebih berharga dari boneka. Kau adalah obsesi yang tidak pernah bisa kulepaskan, sejak kita masih remaja. Kau mungkin tidak ingat, tapi setiap senyum, setiap langkahmu … sudah menjeratku. Kau takkan bisa lari dari itu.”
Air mata Camelia jatuh tanpa ia sadari. Ia membenci bagaimana kata-kata Nerios menekan jiwanya, tapi di sisi lain ia bisa merasakan ketulusan aneh yang membungkus obsesi itu.
Nerios mendekat lebih jauh, jemarinya mengangkat dagu Camelia dengan lembut, meski tatapan matanya tetap menuntut. “Mulai malam ini, ingatlah satu hal, kau adalah Cameliaku. Tak peduli dunia menolak atau kau sendiri menolak aku tidak akan pernah melepaskanmu.”
Camelia menepis tangannya dengan cepat, melangkah mundur hingga punggungnya menempel di dinding. “Kau gila, Nerios!”
Namun Nerios hanya tertawa kecil, suara rendahnya bergema di kamar. “Kalau cinta yang terlalu dalam disebut gila, maka ya… aku gila karenamu.”
Suasana hening sejenak. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak perlahan seolah menghitung waktu dimulainya belenggu panjang yang akan dijalani Camelia.
Di dalam hatinya, Camelia tahu bahwa malam pertama di rumah ini hanyalah awal dari penderitaan yang mungkin akan mengikatnya selamanya.
"Apa kau ingin lebih lama bersamaku?" Jemari Nerios dengan lancang menyentuh rambut panjang nan indah milik Camelia, matanya menelusuri penampilan wanitanya, ia baru sadar jika Camelia menggunakan piyama tidur.
"Jangan sentuh aku!" sentak Camelia, lagi-lagi ia menepis tangan Nerios. Membuat pria itu memasukan salah satu tangannya ke dalam saku celana.
"Kau tampak lucu menggunakan piyama itu," ledeknya, matanya terus menyusuri tubuh Camelia. Wanita itu mengenakan piyama putih dengan motif bunga sakura, sangat imut.
Camelia tersentak, ia baru sadar bahwa dirinya mengenakan piyama. Karena pria s*alan itu datang saat akan waktu itu, maka tadi mereka berempat sudah bersiap tidur sembari menunggu sang bunda yang katanya akan segera sampai, tapi bukan bunda yang datang tapi Nerios.
"Lebih baik kau pergi, aku akan bersiap untuk tidur!" usirnya, tak memperdulikan ledekan itu. Yang ia inginkan hanya menjauh sesaat dari pria itu sebelum akhirnya mencoba menerima fakta bahwa sekarang ia merupakan 'jaminan'.
"Jangan congkak, Camelia!" Nerios berdesis tak suka, ia dengan kasar mencengkram dagu wanitanya, menimbulkan ringisan dari bibir ranum itu. "Jangan mentang-mentang aku berkata bahwa kau adalah milikku, kau bisa seenaknya mengaturku!" bentaknya.
"Akhh ..." Camelia meringis, cengkraman itu tidak main-main, rahangnya terasa sangat sakit, seperti bisa akan remuk kapan saja.
"S–sakit!" Ia mencoba memukul tangan Nerios dengan keras agar pria itu melepaskan cengkramannya. Air matanya kembali menetes, membasahi pipi dan tangan Nerios.
Mata Nerios yang semula menggelap kini berubah, mata itu nampak bergetar. Dengan cepat ia melepaskan cengkramannya, hingga membuat Camelia hampir luruh ke lantai jika saja ia tidak memeluknya dengan cepat.
"Maaf! Maaf!" ungkapnya penuh penyesalan, wajah memerah dan air mata Camelia membuat Nerios tersadar begitu saja.
Dirinya baru saja menyakiti wanitanya ...
Berikan dukungan kalian teman-teman!
Jangan lupa vote dan komen
Salam cinta, biebell