Banxue tidak pernah meminta kekuatan—apalagi anugerah terkutuk berupa Tubuh Surgawi—kekuatan kuno yang diburu oleh sekte-sekte suci dan klan iblis sekaligus. Ketika masa lalunya dihancurkan oleh pengkhianatan dan masa depannya terancam oleh rahasia, ia memilih jalan sunyi dan pedang.
Dalam pelarian, dikelilingi oleh teman-teman yang tak sepenuhnya bisa ia percaya, Banxue memasuki Sekte Pedang Azura… hanya untuk menyadari bahwa kepercayaan, sekali retak, bisa berubah menjadi senjata yang lebih tajam dari pedang manapun.
Di tengah ujian mematikan, perasaan yang tak diucap, dan badai takdir yang semakin mendekat, Banxue harus memilih: berjuang sendirian—atau membiarkan seseorang cukup dekat untuk mengkhianatinya lagi?
Di dunia di mana kekuatan menentukan nilai diri, sejauh apa ia akan melangkah untuk merebut takdirnya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kimlauyun45, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tempat peristirahatan Sementara.
Di sebuah gua yang sunyi, hanya terdengar desah napas dan gemuruh samar dari luar.
"Bagaimana keadaanmu, Kak Wayne?" tanya Linrue pelan.
Wayne membuka mata dan tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja. Hanya luka kecil. Tapi lukamu tampaknya lebih parah... kau yakin baik-baik saja?"
Linrue mengangguk sambil menarik napas dalam. "Masih bisa kupulihkan dengan tenaga dalamku."
"Baiklah. Kita fokus saja pada pemulihan sekarang," ujar Wayne dengan senyum cemas yang samar.
Keduanya duduk bersila, memasuki meditasi, mengalirkan tenaga dalam ke seluruh tubuh. Cahaya lembut dari kristal di dinding gua berpendar samar di sekeliling mereka.
---
Sementara itu, di luar gua...
Ledakan menggema. Benturan pedang beradu dengan keras. Tanah bergetar.
Namun Wayne dan Linrue tetap bertahan dalam konsentrasi, tak goyah sedikit pun.
Di antara rerimbunan, dua sosok muncul. Fengyu dan Banxue sedang bertarung sengit melawan dua lawan kuat.
"Fengyu... aku hampir kehabisan tenaga. Kalau terus seperti ini, kita akan terpojok," ujar Banxue lewat telepati, napasnya terengah.
"Tak jauh dari sini ada sebuah gua. Kau pergi lebih dulu. Aku akan menahan mereka dan membukakan jalan." suara Fengyu terdengar tenang namun tegas.
Banxue mengangguk cepat. "Baik... aku mengerti."
"SEKARANG!!" teriak Fengyu keras, memberi sinyal.
Ia berbalik menghadang dua lawan mereka, sementara Banxue segera melompat ke arah hutan, menggunakan keahlian Qigong untuk melesat ringan di antara pepohonan.
"Mereka terlalu kuat... tak ada cara lain selain mundur," pikirnya. Dalam satu gerakan cepat, Fengyu melempar benda kecil ke tanah. Seketika, asap hitam pekat membumbung dan menelan area pertempuran.
Fengyu berlari keluar dari kepungan asap, menuju arah Banxue yang sudah menunggunya dengan cemas.
"Fengyu! Kau tak apa-apa?" tanya Banxue, suaranya berat oleh kekhawatiran.
"Aku baik. Ayo, kita masuk ke dalam gua itu. Mereka mungkin masih mengejar."
Tanpa menunggu, Fengyu mendorong Banxue ringan ke dalam gua.
"Bagaimana kau tahu ada gua di sini? Bukankah ini pertama kalinya kita ke hutan ini?"
"Pertama bagimu. Aku pernah ke sini bersama Master dulu," jawab Fengyu sambil menoleh ke belakang, berjaga-jaga.
"Begitu, ya..."
Meski tubuh mereka tak mengalami luka parah, keduanya hampir kehabisan tenaga setelah pertarungan berat tadi.
"Tunggu... aku merasakan energi dari dalam gua ini. Seperti ada orang lain."
"Aku juga merasakannya," sahut Banxue, kini lebih waspada. "Ayo masuk perlahan."
Semakin dalam mereka melangkah, dua aura samar mulai tampak di kedua sisi gua. Sesosok pria dan wanita terlihat sedang bermeditasi, terdiam dalam keheningan.
"Ssst... jangan ganggu mereka. Mereka sedang memulihkan diri," bisik Banxue, menaruh jari telunjuk di bibir.
Fengyu mengangguk.
Mereka pun memilih duduk di sisi lain gua, menjauh dari kedua sosok itu. Meski telah bersama dalam waktu lama, Fengyu dan Banxue tak pernah menjalin hubungan lebih dari sekadar saudara seperjalanan.
Beberapa jam berlalu.
Wayne membuka matanya perlahan, napasnya stabil. Matanya langsung menangkap dua sosok asing yang kini duduk di dalam gua.
"Siapa kalian?" tanyanya waspada.
Fengyu berdiri pelan. "Namaku Fengyu dari kota Limoe. Ini temanku, Banxue, dari kota Ruye."
Banxue mengangguk kecil, memberikan senyum dan lambaian singkat.
"Aku Wayne dari kota Timo. Yang sedang bermeditasi di depan sana adalah Linrue, dari kota Weju."
Mereka saling menatap sejenak, menimbang kehadiran satu sama lain.
"Apakah kami boleh beristirahat di sini sampai cukup pulih untuk melanjutkan perjalanan?" tanya Fengyu dengan sopan.
"Tentu. Kita semua sama-sama pengembara. Berbagi tempat peristirahatan bukanlah masalah," jawab Wayne ramah.
Banxue menyilangkan tangan. "Kau terlihat terlalu percaya. Apa kau tidak khawatir kami bisa saja mencelakai kalian?"
Wayne tersenyum tipis. "Kalau kalian berniat buruk, sudah sejak tadi kami diserang. Tapi itu tidak terjadi. Itu sudah cukup menjadi jawabannya."
"...Kau punya logika yang bagus," balas Fengyu. "Kami akan beristirahat dan memulihkan tenaga. Mohon bantuannya untuk berjaga."
Wayne mengangguk dan tersenyum.
Tak lama kemudian, Linrue membuka matanya. Ia tersenyum melihat Wayne.
"Kau sudah selesai? Bagaimana kondisi tubuhmu sekarang?"
"Sudah jauh lebih baik. Kau sendiri?"
"Sudah membaik juga. Tapi... siapa mereka?" tanyanya sambil melirik ke arah dua orang asing yang duduk tak jauh dari mereka.
"Mereka pengembara seperti kita. Fengyu dari Limoe dan Banxue dari Ruye," jelas Wayne sambil menunjuk keduanya bergantian.
"Wow... wanita itu cantik, dan pria itu... bahkan lebih tampan dari kakak sendiri. Haha! Apa mereka sepasang kekasih?"
Wayne mendecak kecil. "Wajah itu bukan segalanya. Dan mereka hanya berteman. Tapi... kau tertarik pada Fengyu?"
"Siapa yang tidak akan tertarik? Dan... kau sendiri, tak tertarik pada gadis di sebelahmu itu?"
Wayne menoleh sebentar ke arah Linrue dan berkata pelan, "Bagiku, kau juga cantik. Tapi aku tak memilih seseorang hanya dari penampilan, Rue."
"Ih... kau membuatku mual," ejek Linrue sambil berpura-pura muntah, menutup mulut dengan tangan.
"Apa mereka akan ikut perjalanan kita?"
"Tidak. Mereka hanya singgah sebentar untuk beristirahat," jawab Wayne.
"Sayang sekali... Bagaimana kalau kakak mengusulkan mereka ikut bersama kita? Lebih ramai akan lebih seru."
Wayne menghela napas ringan. "Tunggu sampai mereka selesai bermeditasi. Nanti akan kubicarakan. Sekarang tidurlah, malam sudah larut."
Ia mengusap rambut Linrue dengan lembut.
"Baiklah... kau akan berjaga, kan?"
"Iya. Akan berbahaya kalau tak ada yang berjaga."
Linrue pun memejamkan matanya dan tertidur.
Wayne menatap Banxue yang masih bermeditasi, lalu tersenyum kecil.
"Dasar Linrue..." gumamnya, menggeleng pelan.