Dilahirkan dari pasangan suami istri yang tak pernah menghendakinya, Rafael tumbuh bukan dalam pangkuan kasih orang tuanya, melainkan dalam asuhan Sang Nini yang menjadi satu-satunya pelita hidupnya.
Sementara itu, saudara kembarnya, Rafa, dibesarkan dalam limpahan cinta Bram dan Dina, ayah dan ibu yang menganggapnya sebagai satu-satunya putra sejati.
"Anak kita hanya satu. Walau mereka kembar, darah daging kita hanyalah Rafa," ucap Bram, nada suaranya dingin bagai angin gunung yang membekukan jiwa.
Tujuh belas tahun berlalu, Rafael tetap bernaung di bawah kasih sang nenek. Namun vidhi tak selalu menyulam benang luka di jalannya.
Sejak kanak, Rafael telah terbiasa mangalah dalam setiap perkara, Hingga suatu hari, kabar bak petir datang sang kakak, Rafa, akan menikahi wanita yang ia puja sepenuh hati namun kecelakaan besar terjadi yang mengharuskan Rafael mengantikan posisi sang kakak
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
jatuh cinta pada kakak ipar
London, kediaman Rafael
Rafa sedang diperiksa oleh seorang dokter. Hasil pemeriksaan menunjukkan perkembangan kesehatannya yang sangat pesat, luka-luka di tubuhnya mulai mengering, dan kondisinya perlahan membaik.
“Perawatan Tuan Rafa berjalan dengan sangat baik. Luka-lukanya mulai pulih, tubuhnya pun semakin kuat. Kalian benar-benar menjaganya dengan penuh perhatian,” ucap sang dokter sambil tersenyum kecil, mencatat hasil pemeriksaan pada berkasnya.
Marsel ikut tersenyum puas. “Tentu saja, Dokter. Semua usaha ini tidak akan sia-sia. Rafael begitu berharap kakaknya bisa segera sembuh sepenuhnya.”
“Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu. Mari saya antar sampai pintu depan,” ucap Farel sopan, mengiringi dokter menuju ruang tamu.
Setelah dokter pergi, Marsel duduk di sofa, sementara Rafa berjalan perlahan, menikmati suasana rumah. Pandangannya kemudian tertuju pada sebuah pintu yang tertutup rapat. Itu adalah kamar Rafael. Rasa penasaran menyeruak dalam hatinya, mendorong langkahnya untuk membuka pintu itu.
Namun suara Farel terdengar tegas dari belakang.
“Kak Rafa, jangan masuk ke dalam sana. Rafael sangat tidak suka jika ada yang menyentuh atau mencampuri barang-barang pribadinya.”
Rafa menatap pintu kamar itu dengan mata berbinar penuh rasa ingin tahu. Jemarinya hampir menyentuh gagang pintu.
“Kami ini saudara kandung. Apa salahnya jika aku sekadar melihat kamar adikku?” suaranya terdengar mantap, nada bicaranya pun mulai kembali seperti dulu, hanya saja tubuhnya masih lemah.
Farel terdiam sesaat sebelum menjawab hati-hati. “Baiklah, Kak. Kau boleh masuk… tapi sebaiknya setelah aku meminta izin kepada Rafael terlebih dahulu.”
Rafa mendesah panjang, matanya masih menatap tajam ke arah pintu itu. “Aku sudah dua minggu berada di rumah ini, Farel. Aku merasa sangat penasaran dengan kamar adikku. Kau tidak perlu menahan ku dengan alasan izin.”
Farel menatapnya ragu. Ia hanyalah orang asing di mata Rafa, mana mungkin ia bisa menahan dorongan keingintahuan seorang kakak terhadap adiknya? Namun batinnya bergolak, ada perasaan tak nyaman yang sulit dijelaskan.
“Baiklah…,” akhirnya ia mengalah.
Rafa membuka pintu itu perlahan. Aroma khas kamar Rafael menyeruak, wangi buku bercampur dengan kesan rapi yang menenangkan. Pandangannya menyapu ruangan; di sana berjejer rapi buku-buku tentang pesawat, model pesawat terpanjang terletak di atas meja kayu, seakan memperlihatkan obsesi Rafael pada dunia penerbangan.
Namun langkah Rafa terhenti saat matanya menangkap sebuah bingkai foto di atas meja belajar. Ia mendekat, tangannya bergetar ketika meraih bingkai itu. Sebuah foto lama—Rafael dan Viola, berseragam sekolah, tersenyum dalam kebersamaan yang begitu tulus.
Deg.
Kepala Rafa mendadak terasa nyeri luar biasa. Ingatan- ingatan lama berputar cepat di benaknya—hari-hari SMA bersama Viola, kabar menghilangnya Rafael, kisah cintanya sendiri dengan Viola, hari ketika ia melamarnya, hingga tragedi pesawat yang jatuh. Semua kembali menghantam kesadarannya.
“Tidak mungkin…” Rafa berbisik lirih, matanya berair. “Jadi… apakah Rafael juga mencintai Viola? Mengapa dia tidak pernah mengatakan ini padaku?”
Ia menggenggam bingkai foto itu erat, lalu menoleh pada Farel yang berdiri gelisah. Rafa tahu, Farel adalah sahabat lama Rafael. Jika ada orang yang paling tahu rahasia Rafael, pasti dia.
“Farel… siapa sebenarnya perempuan ini?” tanya Rafa, memperlihatkan foto tersebut dengan sorot mata penuh tekanan.
Farel menelan ludah, wajahnya diliputi kebimbangan. Ia tahu jika berbohong, cepat atau lambat Rafa akan mengingat segalanya. Namun jika berkata jujur, badai besar akan datang menghantam.
Sebelum Farel sempat membuka mulut, Marsel yang sejak tadi ikut memperhatikan tiba-tiba menyela.
“Itu… itu adalah istri Kak Rafa,” ucapnya cepat, berusaha menyelamatkan keadaan. “Aku pernah melihat foto yang sama di ponsel Kak Rafael. Kontaknya pun tertulis ‘Kakak Ipar’.”
Farel menimpali dengan suara serak. “Ya… kau dan Rafael dulu satu sekolah. Mungkin kakak iparmu sempat berfoto bersama Rafael saat SMA.”
Rafa menatap mereka bergantian. Ada tatapan ragu dan luka dalam sorot matanya. Ia tahu ada sesuatu yang ditutupi, tetapi untuk saat ini ia memilih diam. “Baiklah,” ucapnya singkat, meski hatinya penuh pertanyaan yang tak kunjung menemukan jawaban.
...🌻🌻🌻...
Dua minggu kemudian
kediaman Rafael dan viola
Rafael masih bersitegang dengan Bram. Masalah di kantor membuatnya enggan berkomunikasi, bahkan setelah menerima berkali-kali pesan dari Dina yang memintanya meminta maaf. Namun Rafael menolak; ego dan amarah menutup hatinya.
Hari itu, ia sibuk dengan proyek besar. Tak seperti biasa, Rafael memilih bekerja di rumah, merasa bahwa kantor hanya membuang waktunya.
Tiba-tiba suara Viola memecah konsentrasinya. Ia keluar dari kamar dengan wajah pucat, sorot matanya dipenuhi kegelisahan.
“Rafael… aku sudah telat menstruasi dua minggu. Apakah mungkin… aku hamil?”
Rafael sontak menoleh. Wajahnya menegang, matanya membesar. Ingatannya melayang pada malam penuh gairah itu. Ia yakin telah memakai pengaman. Setidaknya… pada ronde pertama.
“Kau yakin? Bisa saja itu hanya keterlambatan biasa,” jawabnya kaku, mencoba menenangkan dirinya sendiri.
Viola bersandar di bahunya, suaranya lirih namun penuh keyakinan. “Aku juga sering mual, kram, dan pusing. Orang tuamu pun sudah sering menyarankan kita punya anak. Tidak ada salahnya kita periksa ke rumah sakit, bukan?”
Rafael terdiam. Batin ya bergemuruh ' Jika benar Viola hamil, itu berarti… tragedi yang tak terampuni. Namun jika Viola hanya sakit, ia juga tak bisa membiarkannya begitu saja. '
“Baiklah,” akhirnya ia menghela napas panjang. “Mari kita cek ke rumah sakit sekarang juga.”
Di rumah sakit.
Viola menjalani serangkaian tes. Rafael duduk di ruang tunggu, wajahnya pucat pasi, tangannya mengepal gelisah. Ia merasa seolah ada seribu jarum menusuk dadanya.
“Pasangan Rafa dan Viola,” panggil dokter, mempersilakan mereka masuk ke ruangannya.
Dokter memeriksa hasil tes, lalu menunjukkan layar USG. Senyum tipis menghiasi wajahnya.
“Selamat, Bu Viola sedang mengandung. Usia kandungan sekitar dua minggu. Namun saya sarankan, untuk sementara hubungan suami-istri ditunda dulu agar kandungan tetap kuat.”
Wajah Viola seketika berbinar bahagia. Air matanya hampir jatuh karena tak menyangka anugerah ini hadir begitu cepat. “Terima kasih, Dokter. Saya dan suami akan menjaga sebaik mungkin,” jawabnya penuh syukur.
Dokter bercanda ringan. “Saya bisa melihat dari catatan medis, Bapak ini tampaknya cukup kuat, ya? Hati-hati, Bu.”
Viola tersenyum malu, menunduk.
Namun Rafael? Ia hanya terdiam kaku. Seakan-akan ada ribuan kaca menusuk dadanya, menghancurkan setiap helai nafasnya. Tatapannya kosong, bibirnya gemetar menahan rasa bersalah.
Inilah dosa terbesar yang pernah ia lakukan. Ia telah menjadi perusak rumah tangga kakaknya sendiri. Jika Rafa mengetahui kebenarannya bahwa anak yang dikandung Viola bukanlah miliknya, melainkan darah daging Rafael segala kebahagiaan akan runtuh, hancur tanpa sisa.Dan kini, Rafael tak tahu apa yang harus ia lakukan, jalan satu-satunya hanya jujur,,
Jangan lupa beri bintang lima, like dan komen ya teman-teman
Bersambung...........
Hai teman-teman, yuk bantu like, komen dan masukkan cerita aku kedalam favorit kalian, ini karya pertama aku dalam menulis, mohon bantuan nya ya teman-teman terimakasih........