NovelToon NovelToon
Susuk Berdarah: Kutukan Pocong PSK

Susuk Berdarah: Kutukan Pocong PSK

Status: tamat
Genre:Spiritual / Iblis / Mata Batin / Hantu / PSK / Tamat
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Sabina

Teror mencekam menyelimuti sebuah desa kecil di kaki gunung Jawa Barat. Sosok pocong berbalut susuk hitam terus menghantui malam-malam, meninggalkan jejak luka mengerikan pada siapa saja yang terkena ludahnya — kulit melepuh dan nyeri tak tertahankan. Semua bermula dari kematian seorang PSK yang mengenakan susuk, menghadapi sakaratul maut dengan penderitaan luar biasa.

Tak lama kemudian, warga desa menjadi korban. Rasa takut dan kepanikan mulai merasuk, membuat kehidupan sehari-hari terasa mencekam. Di tengah kekacauan itu, Kapten Satria Arjuna Rejaya, seorang TNI tangguh dari batalyon Siliwangi, tiba bersama adiknya, Dania Anindita Rejaya, yang baru berusia 16 tahun dan belum lama menetap di desa tersebut. Bersama-sama, mereka bertekad mencari solusi untuk menghentikan teror pocong susuk dan menyelamatkan warganya dari kutukan mematikan yang menghantui desa.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Sabina, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Konsekuensi Susuk dan Penyakit yang Menggerogoti

Lampu strobo berkelebat, memantulkan cahaya merah, biru, dan ungu di kulit Atna yang basah oleh keringat. Musik DJ berdentum seperti detak jantung raksasa, mengguncang dada.

Tangannya memegang gelas cocktail, tubuhnya bergerak lentur mengikuti beat, sementara beberapa pria hidung belang memanfaatkan momen—membelai pinggangnya, menyentuh lengannya, menyelipkan uang di belahan gaun.

Tawa dan aroma alkohol bercampur jadi satu. Atna sudah terbiasa dengan semua itu. Malam baginya hanyalah panggung, dan dia adalah bintang yang tahu cara mengendalikan penontonnya.

Namun tiba-tiba, dentuman musik terasa menjauh, berganti dengan dengung rendah yang menusuk telinga. Pandangannya berkunang-kunang. Ia memegang pelipis, tubuhnya goyah.

“Atna, lu kenapa?” tanya rekannya, seorang wanita bergaun perak yang ikut menari di sebelahnya.

“Gak tahu… kepala gua… sakit banget,” desis Atna, napasnya terputus-putus.

Di antara kilatan lampu, wajah-wajah di sekitarnya kabur, seolah berubah menjadi topeng pucat dengan mata kosong.

Di pojok bar, ia sempat melihat sesuatu—bayangan kafan putih berdiri di antara kerumunan, tapi tak seorang pun bereaksi.

“Atna, duduk dulu!” seru rekannya, menariknya ke kursi.

Atna menatap gelas minumannya… permukaan cairan itu bergetar, meski lantai tidak bergerak. Lalu, dari dalamnya, gelembung-gelembung hitam muncul, membentuk kata samar: “Jumat Kliwon…”

Jantungnya memacu kencang. Kepalanya terasa seperti diikat dari dalam. Dia tahu ini bukan sekadar pusing—ini peringatan.

Atna menyingkir dari kerumunan, langkahnya limbung. Musik dan sorakan para tamu seperti tertinggal di belakang ketika ia membuka pintu kaca menuju balkon club. Udara malam yang dingin menyapu wajahnya, tapi kepala tetap berdenyut hebat, seolah ada palu yang menghantam dari dalam.

Dari balik pintu, seorang wanita paruh baya dengan dandanan mencolok keluar—Mami, pemilik club sekaligus orang yang mengatur para gadis.

“Kamu kenapa, Atna? Sakit?” tanya Mami, nada suaranya campuran khawatir dan curiga.

“Iya, Mi… pala aku sakit banget,” jawab Atna sambil menekan pelipisnya.

Mami menghela napas, melirik sekilas ke dalam club lalu kembali menatap Atna. “Aduh, yaudah… kamu pulang aja. Jangan maksain. Nanti malah tumbang di sini.”

Atna mengangguk lemah. Ia segera masuk lagi, mengambil tas kecilnya dari loker. Lampu strobo masih berkelebat, tapi kali ini setiap kilatan terasa menusuk matanya.

Salah satu temannya menawarkan mengantar, tapi Mami yang akhirnya memanggil sopir pribadi untuk mengantarkannya. Dalam mobil, Atna memejamkan mata, mencoba mengabaikan denyutan yang semakin keras di kepalanya. Namun di sela-sela gelap, ia seperti mendengar suara napas berat—dekat, sangat dekat.

Mobil melaju melewati jalanan kota menuju desa, lampu-lampu jalan memantul di kaca jendela. Sesekali, bayangan putih tampak melintas cepat di tepi jalan, membuat Atna semakin gelisah.

Setibanya di depan rumah, ia hanya sempat berterima kasih singkat pada sopir. Begitu masuk ke dalam, rasa nyeri itu bertambah—seolah sesuatu di dalam kepalanya sedang menuntut untuk keluar.

Pintu rumah menutup pelan di belakangnya. Atna melempar tas ke sofa, menyalakan satu lampu meja di ruang tengah. Cahaya kuning redup tak cukup mengusir bayangan di sudut-sudut ruangan.

Kepalanya masih berdenyut, tapi kini rasa itu bercampur dengan sensasi aneh—dingin, seperti es yang merayap dari tengkuk ke punggung. Ia berjalan ke kamar, membuka jepit rambutnya, lalu duduk di tepi ranjang sambil memijat pelipis.

Tiba-tiba, suara ketukan terdengar dari arah lemari.

Satu kali.

Diam.

Dua kali.

“Siapa di situ?” Atna berusaha tegas, tapi suaranya goyah. Tidak ada jawaban, hanya bunyi kain terseret pelan.

Lampu kamar berkedip sebentar. Dalam pantulan cermin di meja rias, ia melihat bayangan pocong berdiri miring, kepalanya menunduk, kain kafan kotor meneteskan tanah.

“Atna…” suaranya seperti bisikan yang keluar dari tanah basah. “Jangan menunggu. Lakukan ritualnya. Malam ini.”

Atna menelan ludah, mundur satu langkah, tapi pocong itu tetap di cermin meski ruang kosong di belakangnya tidak menunjukkan apa-apa.

“Aku… aku belum siap…” ucapnya, mencoba mengatur napas.

Mata pocong itu menyala merah, dan dari balik kain kafan, ia bisa melihat sekelebat gigi yang hitam membusuk. “Jika kau terlambat… darahmu akan menjadi gantinya.”

Lampu padam seketika. Ruangan tenggelam dalam gelap, hanya tersisa suara napas berat tepat di samping telinganya.

Pagi itu, sinar matahari yang masuk lewat jendela terasa menyakitkan di mata Atna. Tubuhnya panas, tapi kulitnya menggigil seperti baru keluar dari air es. Napasnya pendek, dada terasa berat.

Ia mencoba bangun dari tempat tidur, tapi seluruh sendinya seperti ditusuk-tusuk. Keringat dingin membasahi rambutnya yang lengket di dahi. Di meja samping, segelas air yang ia letakkan semalam sudah setengah basi, namun tetap ia teguk untuk membasahi tenggorokannya yang kering.

Di cermin, wajahnya pucat dengan lingkar mata hitam pekat. Bibirnya pecah-pecah, dan di lehernya muncul bercak merah samar.

Ia teringat kembali hasil pemeriksaan medis beberapa minggu lalu yang ia abaikan—dokter waktu itu sudah memperingatkan ada tanda-tanda infeksi serius.

Kini, gejalanya makin jelas: tubuh melemah, berat badan turun, dan demam tinggi yang tak kunjung reda.

“Astaga… jangan bilang…” bisiknya lirih, menatap jarinya yang gemetar.

Tiba-tiba, dari sudut kamar, terdengar suara pocong itu lagi—lebih parau, lebih dekat.

“Kau pikir sakit itu datang tanpa sebab? Kau sudah memilih jalan ini, Atna… dan tubuhmu hanyalah harga kecil yang harus dibayar.”

Atna menutup telinga, menangis pelan. Namun di sela-sela detak jantungnya yang cepat, ia sadar… bukan hanya penyakit yang menggerogotinya. Ada sesuatu yang ikut meminum kekuatannya, dari dunia yang tak terlihat.

Siang itu, meski tubuhnya lemas, Atna memaksa keluar rumah. Ia mengenakan hoodie hitam dan kacamata gelap, mencoba menyembunyikan wajahnya yang pucat. Langkahnya gontai saat ia tiba di klinik kota, tempat yang jarang ia datangi kecuali saat benar-benar terdesak.

Di ruang tunggu, aroma obat dan desinfektan menusuk hidungnya. Setiap detik terasa lama, sampai namanya dipanggil oleh suster.

“Silakan, Teh Atna, masuk.”

Dokter yang menangani adalah pria paruh baya dengan tatapan serius. Setelah mendengar keluhannya—demam tinggi, berat badan turun drastis, dan bercak merah di kulit—dokter memutuskan untuk melakukan serangkaian tes darah.

Jarum suntik menusuk kulitnya, dan darah merah pekat mengisi tabung kecil. Atna menelan ludah, mencoba mengalihkan pikiran dari rasa takut yang merayap.

“Tesnya akan memakan waktu beberapa jam. Saya sarankan, Teh, banyak istirahat dan jangan stres dulu,” ujar dokter. Namun nada suaranya terdengar ragu, seolah sudah punya dugaan tapi enggan mengatakannya.

Atna keluar dari ruangan, duduk di kursi tunggu sambil menggenggam kertas tanda pengambilan hasil. Tangannya dingin, napasnya pendek.

Di kaca jendela klinik, pantulan dirinya terlihat kabur—dan di belakangnya, sekejap saja, ia seperti melihat sosok pocong itu berdiri di ujung lorong, hanya untuk menghilang ketika ia berkedip.

“Atna…” suara itu bergema di telinganya. “Hasilnya… bukan satu-satunya hukuman untukmu.”

1
Siti Yatmi
bacanya rada keder thor....agak bingung mo nafsirin nya....ehm...kayanya alur nya diperjelas dulu deh thor biar dimengerti
Mega Arum
crtanya bagus.. hanya krg dlm percakapanya,, pengulangan aura gelapnya berlebihan juga thor..
Mega Arum
masih agak bingung dg alur.. juga kalimat2 yg di ulang2 thor
Mega Arum
mampir thor....
Warungmama Putri
bagus ceritanya alurnya pun bagus semoga sukses
pelukis_senja
mampir ah rekom dari kak Siti, semangat ya kaa...🥰
Siti H
novel sebagus ini, tapi popularitasnya tidak juga naik.

semoga novelmu sukses, Thor. aku suka tulisanmu. penuh bahasa Sastra. usah aku share di GC ku...
kopi hitam manis mendarat di novelmu
Siti H: Alaaamaaak,.. jadi tersanjung🤣🤣
Putri Sabina: aduh makasih kak Siti aku juga terinspirasi darimu❤️🤙
total 4 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!