NovelToon NovelToon
Takdirku Di Usia 19

Takdirku Di Usia 19

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikahmuda
Popularitas:6.1k
Nilai: 5
Nama Author: Putri Pena

Mentari, seorang gadis pemalu dan pendiam dari Kampung Karet, tumbuh dalam keluarga sederhana yang bekerja di perkebunan. Meskipun terkenal jutek dan tak banyak bicara, Mentari adalah siswa berprestasi di sekolah. Namun, mimpinya untuk melanjutkan pendidikan pupus setelah lulus SMA karena keterbatasan biaya. Dengan tekad yang besar untuk membantu keluarga dan mengubah nasib, Mentari merantau ke Ubud untuk bekerja. Di usia yang masih belia, kehidupan mempertemukannya dengan cinta, kenyataan pahit, dan keputusan besar—menikah di usia 19 karena sebuah kehamilan yang tidak direncanakan. Namun perjalanan Mentari tidak berakhir di sana. Dari titik terendah dalam hidupnya, ia bangkit perlahan. Berbekal hobi menulis diary yang setia menemaninya sejak kecil, Mentari menuliskan setiap luka, pelajaran, dan harapan yang ia alami—hingga akhirnya semua catatan itu menjadi saksi perjalanannya menuju kesuksesan. Takdirku di Usia 19 adalah kisah nyata tentang keberanian, cinta, perjuangan, dan harapan. Sebuah memoar penuh emosi dari seorang gadis muda yang menolak menyerah pada keadaan dan berjuang menjemput takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Putri Pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 1. Aku dan Pesan dari Nenek

Diary Mentari – Bab 1

Tahun 1998 di Kampung Karet… Rumahku masih beralaskan tanah. Dindingnya dari anyaman bambu. Kami mandi di sungai, dan dapur masih memakai tungku kayu. Aku suka duduk di depan tungku itu sambil memeluk lutut, menghangatkan tubuh saat udara dingin pagi masih menggigit kulit. Di sampingku, nenek sering duduk sambil mengipasi bara api dan bercerita—kadang tentang masa mudanya, kadang tentang hidup yang tak pernah benar-benar mudah. ‘Hidup itu keras, Nak,’ katanya pelan, ‘tapi kamu harus lebih keras dari hidup. Jangan manja. Jangan mudah menyerah. Hidup boleh miskin, tapi hati jangan.’ Aku hanya mengangguk waktu itu, belum benar-benar mengerti. Tapi kata-kata nenek menetap di dadaku, bahkan ketika beliau tak lagi ada. Di Kampung Karet, dengan dapur kecil dan cerita hangat, aku pertama kali belajar bahwa kuat bukan soal fisik—tapi soal bertahan, dan terus berjalan.”

...****************...

Namaku Mentari. Aku lahir di sebuah kampung kecil bernama Kampung Karet—sebuah tempat sederhana yang dikelilingi kebun dan hutan. Jalan tanah masih menjadi nadi utama di sini. Jika musim hujan datang, tanah berubah jadi lumpur yang menempel di kaki dan sepatu. Jika musim kemarau, debu-debu halus beterbangan ke mana-mana. Tapi itulah kampungku. Tempat aku memulai segalanya.

Aku anak pertama dari dua bersaudara. Adikku perempuan, namanya Senja. Kami berbeda tiga tahun. Walau begitu, aku merasa jauh lebih tua darinya, mungkin karena sejak kecil aku dibiasakan untuk bersikap dewasa. Seperti anak sulung lainnya, aku dibebani tanggung jawab sejak dini—tanpa pernah ditanya siap atau tidak.

Ayahku bekerja di perkebunan karet, tempat yang menjadi alasan kenapa kampung ini dinamai Kampung Karet. Tapi sebenarnya, kebun itu bukan cuma dipenuhi pohon karet. Ada kelapa, coklat, jagung, pisang, bahkan beberapa jenis tanaman yang aku tak tahu namanya. Ayah bekerja dari pagi sampai sore, menoreh batang karet dan menampung tetesan getahnya di mangkuk kecil. Pekerjaan itu melelahkan, lengket, dan tak banyak hasilnya. Tapi dari sanalah dapur kami tetap mengepul.

Ibu, wanita paling disiplin yang pernah aku kenal. Ia tak pernah bangun lewat dari jam empat pagi. Meski tubuhnya kecil, gerakannya cekatan dan suaranya tegas. Aku dibesarkan oleh dua tangan yang keras, tapi penuh cinta dengan caranya sendiri.

Jam lima pagi, aku harus sudah bangun. Tak ada ampun. Kalau kesiangan, aku akan dimarahi. “Jangan tidur seperti orang kalah,” begitu kata ibu. Kadang aku iri dengan anak-anak lain yang bisa bangun santai, tapi aku tahu, hidup kami tak bisa disamakan. Aku harus bantu menyapu halaman, mencuci piring semalam, membereskan tempat tidur, dan tidak lupa mebanten serta sembahyang. Semua harus beres sebelum aku ganti baju sekolah.

Sekolahku hanya berjarak satu kilometer dari rumah. Tapi di musim hujan, satu kilometer bisa terasa seperti sepuluh. Sepatu basah, jalan licin, tidak mematahkan semangatku untuk ke sekolah. Di sana, aku merasa seperti punya dunia sendiri. Aku termasuk anak pintar, duduk di barisan depan, dan selalu masuk tiga besar. Tapi aku juga pendiam, bahkan sering dianggap jutek. Aku memang tak banyak bicara. Mungkin karena di rumah pun aku tak terbiasa banyak mengeluh. Kalau lelah, aku diam. Kalau sedih, aku menulis.

Ya, sejak kecil aku suka menulis. Awalnya cuma coretan di belakang buku pelajaran, lama-lama jadi catatan di buku khusus. Aku menyebutnya “buku diam-diam”. Di sana aku bisa bilang semua hal yang tak bisa aku ucapkan ke orang lain. Tentang marahku pada hidup, tentang iri pada teman yang punya sepeda baru, atau tentang impianku yang terasa jauh: ingin kuliah di kota.

Tapi itu semua masih jauh. Saat itu, tugasku hanyalah jadi anak baik. Anak yang bangun pagi, membantu pekerjaan rumah, rajin ke sekolah, dan tidak banyak menuntut.

Malam hari, aku sering duduk di depan rumah, menatap langit. Kadang Ayah ikut duduk, diam. Kami jarang bicara panjang. Tapi malam-malam di kampungku itu selalu mengajarkan sesuatu—tentang tenang, tentang menerima, dan tentang harapan yang pelan-pelan tumbuh. Dengan cahaya remang lampu minyak yang menenangkan.

Aku tidak tahu hidup akan membawaku ke mana. Tapi sejak kecil aku percaya, aku tidak akan selamanya di sini. Ada tempat lain yang menunggu. Ada kehidupan lain yang bisa aku capai, meskipun aku belum tahu caranya.

Yang aku tahu, pagi-pagi berikutnya aku harus kembali bangun jam lima. Mencuci piring. Menyapu halaman. Dan memakai seragam sekolah dengan sepatu yang belum tentu kering.

1
Komang Arianti
kapan tarii bahagiaa nya?
Komang Arianti
ngeenesss bangettt ini si mentarii😢😢
Putu Suciptawati
jadi inget wkt adikku potong rambut pendek, kakekku juga marah, katanya gadis bali ga boleh berambut pendek/Facepalm/
K.M
Ditunggu lanjutannya ya kk makasi udah ngikutin ☺️
Putu Suciptawati
/Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob//Sob/
K.M: Auto mewek ya kk
total 1 replies
Putu Suciptawati
yah kukiora tari akan menerima bintang, ternyata oh ternyata ga sesuai ekspektasiku
Arbai
Karya yang keren dan setiap bab di lengkapi kalimat menyentuh.
Terimakasih untuk Author nya sudah berbagi kisah, semoga karya ini terbit
K.M: Terima kasih dukungannya kk ☺️
total 1 replies
Putu Suciptawati
ayolah tari buka hatimu unt bintang lupakan cinta monyetmu...kamu berhak bahagia
Putu Suciptawati
senengnya mentari punya hp walaupun hp jdul
Putu Suciptawati
semangat tari kamu pasti bisa
Putu Suciptawati
puisinya keren/Good//Good//Good//Good/
Putu Suciptawati
karya yg sangat bagus, bahasanya mudah diterima.....pokoknya keren/Good//Good//Good//Good/
K.M: Terima kasih banyak sudah menyukai mentari kk ❤️❤️
total 1 replies
Putu Suciptawati
betul mentari tdk semua perpisahan melukai tdk semua cinta hrs memiliki
rarariri
aq suka karyamu thor,mewek trus aq bacanya
rarariri
/Sob//Sob//Sob/
Wanita Aries
Kok bs gk seperhatian itu
Wanita Aries
Paling gk enak kl gk ada tmpt utk mengadu atau skedar bertukar cerita berkeluh kesah.
Aku selalu bilang ke ankq utk terbuka hal apapun dan jgn memendam.
Wanita Aries
Kok ba ngumpul smua dsitu dan org tua mentari menanggung beban
Wanita Aries
Mampir thor cerita menarik
Putu Suciptawati
betul mentari, rumah atau kamar tidak harus besar dan luas yang terpenting bs membuat kita nyaman
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!