Pertemuan pertama begitu berkesan, itu yang Mada rasakan saat bertemu Rindu. Gadis galak dan judes, tapi cantik dan menarik hati Mada. Rupanya takdir berpihak pada Mada karena kembali bertemu dengan gadis itu.
Rindu Anjani, berharap sang Ayah datang atau ada pria melamar dan mempersunting dirinya lalu membawa pergi dari situasi yang tidak menyenangkan. Bertemu dengan Mada Bimantara, tidak bisa berharap banyak karena perbedaan status sosial yang begitu kentara.
“Kita ‘tuh kayak langit dan bumi, nggak bisa bersatu. Sebaiknya kamu pergi dan terima kasih atas kebaikanmu,” ujar Rindu sambil terisak.
“Tidak masalah selama langit dan bumi masih di semesta yang sama. Jadi istriku, maukah?” Mada Bimantara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dtyas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Makin Cantik
“Pah, ada waktu? Ada yang perlu kita bicarakan."
“Hm, oke. Minta bibi buatkan kopi,” seru Arya lalu beranjak dari meja makan menuju ruang kerjanya.
Sarah hanya melirik sekilas lalu mengingatkan Gilang untuk istirahat, karena mulai besok dia sudah cuti untuk dipingit.
“GIta, tidak ada drakor malam ini. Masuk kamar dan istirahat. Minggu depan kamu ujian,” seru Sarah lagi.
Mendengar itu Gilang langsung beranjak sambil menarik tangan Gita.
“Ayo, nanti kepanjangan ceramahnya.”
Mada ikut beranjak. “Bik, Papa mau kopi. Jangan pake gula, takut diabetes.
“Mada, kemari,” panggil Sarah.
“Aku ditunggu papa.” Mada agak berlari meninggalkan meja makan.
“Mada!” pekik Sarah.
Sejak kedatangan Amira sore tadi Sarah agak gusar. Meski ada hubungan sepupu, tapi mereka tidak dekat. Pernah merebut calon suami Sarah meski sudah bersyukur karena mendapatkan pengganti seorang Arya yang luar biasa. Namun, ia memilih tidak berurusan lagi dengan Felix dan Amira (Yang udah baca : Bosku Perawan Tua, pasti paham).
Permintaan Arba magang di perusahaan keluarga Arya seperti ada maksud tertentu. Bahkan Sarah sudah mengusulkan Agar Arba bergabung dengan Edric dan Gilang, di perusahaan keluarga Sarah. Namun, Amira menolak.
“Mama, Kak Moza telpon nih,” teriak Gita.
“Eh iya, mama mau video call.” Tadinya Sarah ingin bergabung dengan Arya dan Mada, pasti mereka membicarakan masalah Arba.
Sedangkan di ruang kerja Arya, ayah dan anak itu sudah menempati sofa. Bibi membawakan kopi untuk pria itu.
“Makasih Bik. Istri saya di mana?”
“Ada telpon dari Mbak Moza, Pak.”
“Oh, ya sudah.” Arya menyesap kopinya. “Ada apa?” tanya Arya sambil meletakan cangkirnya lagi.
“Pah, si Alda kenapa harus aku sih.”
“Arba, namanya Arba.”
“Ya, apakah itu.”
“Mama kamu sudah menawarkan Arba dengan Edric dan Gilang, tapi Amira menolak. Alasannya kalau dengan Edric, Arba tidak akan sungkan. Ada masalah?” tanya Arya lagi.
Mada hanya mengedikan bahu. Dengan hadirnya Arba ia merasa mendapatkan tugas baru, menjadi pengasuh gadis itu.
“Papa lihat, dia cantik. Mana tahu kamu nanti tertarik. Mama kamu ‘kan udah nggak sabar lihat kamu punya pacar.”
“Jangan-jangan kalian mau jodohkan aku dengan tuh cewek.”
Arya terkekeh. Padahal tidak ada rencana seperti itu, lagi pula kalau dilihat Sarah tidak menyukai kehadiran Amira dan putrinya.
“Ya ampun Pah, hari gini masih jaman gitu jodoh-jodohan. Jadi ingat kisah siapa ya, yang kabur waktu mau dijodohkan.” Mada menggeleng sambil berdecak.
“Papa bukan kabur, tapi mencari jati diri.”
“Halah, beruntung pas kabur kenal mama lalu nikah.”
“Nggak usah bahas masa lalu, kalau Papa nggak ketemu mama kamu. Nggak akan ada kalian,” tutur Arya. “Jadi … kamu sudah ada pacar belum? Papa kok jadi penasaran, kamu masih normal ‘kan?”
“Astaga, pah. Aku masih sehat dan normal, plus ganteng. Kalau pagi suka tegang, lihat perempuan seksi golok sakti langsung menggeliat.”
Arya berdecak. “Ganteng juga percuma kalau jomblo terus.”
“Belum ketemu yang bikin klik pah. Nggak usah pacaran, kalau ada perempuan yang bikin aku deg-degan langsung sat set ke penghulu. Awas aja kalau nggak direstui, aku mau kabur.”
“Anak kurang ajar.” Arya mengambil bantal sofa dan melemparkan pada Mada yang langsung ditangkap dan terbahak.
***
“Nggak usah dijawab dan jangan diladenin, gitu aja kok repot.”
Semudah itu Bude Sari merespon kabar kalau ada telpon menagih hutangnya ke ponsel Rindu.
“Ya repot lah bude, orang nelponnya ke ponsel aku.”
“Kamu blokir aja.”
“Kenapa juga pake kontak aku,” seru Rindu karena dia butuh penjelasan.
“Ya ampun Rindu. Cuma minjem nomor telpon doang, hitung-hitungan banget sih. Kami sudah tampung kamu sampai sebesar ini, nggak pernah hitungan.”
Rindu menarik nafas berusaha meredam emosi. Kalimat sakti itu selalu dikeluarkan Bude ketika berdebat dengannya. Selama tinggal di sana, ia tidak pernah berpangku tangan. Bahkan setiap bulan atau setiap dapat penghasilan dari pekerjaannya sebagian selalu diberikan pada wanita itu.
Pernah ia memutuskan untuk tinggal di kosan, Bude Sari pun marah. Rindu dianggap tidak tahu diri. Habis manis sepah dibuang. Ia diizinkan keluar dari rumah kalau sudah ada pria yang melamarnya. Pakde Yanto mendukung hal itu dengan alasan Rindu adalah amanat dari almarhum ibunya.
“Ada apa sih, kalian berdebat terus. Selalu berisik.”
“Keponakan kamu itu, boro-boro bisa bantu kita. Malah mengeluh terus.”
Pakde Yanto menatap Rindu seakan meminta jawaban.
“Aku hanya tanya kenapa ada yang hubungi aku menagih hutang. Nomor itu aku gunakan untuk kerja. Gimana kalau ada kerjaan masuk, tapi tidak dijawab karena aku pikir nagih hutang.”
Pakde Yanto menghela nafasnya. “Kamu sabar ya, usaha pakde sedang sepi mana sakit-sakitan begini. Itu hutang untuk tutupi modal usaha Maman.”
Rindu hanya membalas dengan anggukan lalu pamit ke kamar. Sampai di kamar ia merebah di ranjang dengan kedua kaki menjuntai ke lantai menatap langit-langit kamar. Kadang dia berdoa agar segera ada pria datang melamar dan membawanya keluar dari rumah itu. Bukan tidak tahu diri atau ingin melarikan diri, kadang ia lelah dengan situasi yang ada. Kalau saja Ayahnya bertanggung jawab, mungkin hidupnya tidak seperti sekarang.
Wajah Rindu tidak jelas, bahkan masuk kategori cantik. Namun, sampai sekarang belum ada yang cocok. Kalau memiliki kekasih ternyata menambah masalah atau beban, ia memilih mundur. Dari pada hidupnya makin berat.
“Hah.” Rindu pun beranjak duduk. Dari pada merenungi nasib lebih baik dia mempersiapkan untuk hari esok pelatihan SPG. Honor lima hari kegiatan di Bimantara Property lumayan juga dan ia tidak ingin gagal.
Rindu mengambil handuk dan membuka lemari untuk mengambil pakaian ganti.
“Rindu.” Bude memanggil dan mengetuk pintu kamar.
“Iya,” jawab Rindu dari dalam kamar.
“Di depan ada Reno, temui gih.”
“Reno, Reno mana?”tanya Rindu sudah berdiri di tengah pintu
“Reno anak Haji Imron, yang rumahnya di ujung gang. Rumah paling besar,” jelas Bude dan masih tidak dipahami oleh Rindu.
“Kenapa aku? Cari Maman kali.”
“Masa iya bude yang temani. Dia datang bawa ini katanya oleh-oleh dari Bandung, pake otak kamu,” ujar Bude menunjuk kening Rindu. “Ini tuh cuma alasan karena dia mau ketemu kamu. Udah sana temuin.”
Rindu berdecak, padahal ia ingin mandi lalu istirahat. Pria bernama Reno langsung berdiri saat melihatnya datang.
“Rindu, apa kabar? Makin cantik aja.”
mendingan Rindu la,jaaaauuuh banget kelakuan kamu dan Rindu...
gimana mau jatuh cinta ma kamu
😆😆😆😆
kamu gak masuk dalam hati Mada Arba,lebih baik sadar diri...
jauh jauh gih dari Mada
babat habis sampai ke akarnya...
🤬🤬🤬🤬🤬