"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20 benar benar hancur
Sudah lewat tengah malam. Zhavira masih terduduk di sofa ruang tengah apartemennya. Tatapannya kosong, jari-jari mungilnya menggenggam selimut tipis yang disampirkan di pangkuan. Ponselnya sejak tadi ia diamkan dalam mode senyap, meskipun layar berkedip beberapa kali menandakan pesan masuk dan panggilan tak terjawab dari Makes.
Tapi malam ini… dia lelah. Lelah berharap, lelah merasa seperti pilihan kedua, dan lelah menahan ego agar tetap terlihat dewasa.
Sementara itu, di apartemennya, Makes menatap layar ponselnya dengan raut gusar. Puluhan kali ia menelepon, mengirim pesan, namun tak satu pun dibalas oleh Zhavira. Ia sudah bersiap mengenakan jaket, hendak menyusul kekasihnya ke apartemen Zhavira.
Namun saat hendak membuka pintu, ponselnya berdering. Nama Rania tertera di sana, disertai suara tangis tersambung ketika Makes mengangkatnya.
“Makes… aku nggak tahu harus hubungi siapa lagi. Aku… aku nggak bisa tidur, aku takut sendirian. Tolong temani aku malam ini… aku butuh seseorang. Aku mohon…”
Suara tangis yang terdengar rapuh di telinganya berhasil menghentikan langkah Makes. Seketika, ingatannya tentang Zhavira mengabur. Dia menarik napas dalam-dalam, memejamkan mata sejenak, lalu berbalik arah.
“Baiklah, Ran. Aku ke sana sekarang.”
Dan untuk kesekian kalinya, Makes membuat keputusan yang tidak memihak pada perempuan yang seharusnya ia utamakan.
KEESOKAN PAGI, KANTOR
Suasana kantor masih sama seperti biasanya — sibuk, penuh aktivitas. Namun pagi ini, ada yang berbeda di udara. Ada ketegangan yang tak terlihat namun terasa jelas saat Makes melangkah masuk ke ruang kerjanya.
Ia membuka pintu dan menemukan Zhavira sudah berada di sana, tengah memeriksa dokumen dan memberi beberapa arahan ke staf lainnya. Rambutnya disanggul rapi, riasan wajahnya tipis tapi tegas. Tak ada senyum. Tak ada sapaan seperti biasanya.
“Pagi, Zha—”
Zhavira bahkan tidak menoleh. Ia hanya menyodorkan map berisi berkas yang harus ditandatangani. “Ini laporan meeting kemarin. Harap ditinjau dan dikoreksi sebelum jam sepuluh.”
Makes menahan napas. “Zhavira… kita bisa bicara sebentar?”
Zhavira mendongak, menatapnya dengan ekspresi datar. “Jika tidak berhubungan dengan pekerjaan, saya rasa tidak ada yang perlu dibicarakan, Tuan Willson.”
Tuan Willson.
Panggilan itu menusuk lebih tajam dari apa pun. Jarak yang dulu telah mereka hapus, kini kembali terbentang luas.
“Zhavira, tolong… aku bisa jelaskan.”
“Tidak perlu,” jawabnya singkat sambil mengambil berkas lainnya. “Saya tidak butuh penjelasan yang berulang. Saya paham. Rania butuh ditemani. Kau temani dia. Selesai.”
Nada tenangnya justru menampar Makes. Tapi dengan ego seorang pria, Makes tetap mencoba mendekat, mencoba menggenggam tangan Zhavira. Namun perempuan itu melangkah mundur.
“Kenapa kamu bersikap kekanak-kanakan seperti ini?” ucap Makes mulai meninggi. “Kamu tunanganku, kamu seharusnya tahu posisimu. Dia cuma teman masa kecilku!”
Zhavira terkekeh pelan, tapi tak ada tawa di matanya. “Teman masa kecil yang bisa membuatmu melupakan semua hal dalam sekejap. Aku nggak kekanak-kanakan, Makes. Aku hanya manusia yang bisa terluka.”
Dia berjalan melewatinya, lalu menambahkan dengan suara lirih yang tetap menusuk.
“Cinta nggak pernah minta logika. Tapi kesetiaan, itu pilihan. Dan kamu memilih siapa yang kamu dampingi malam itu.”
Makes berdiri terpaku. Tangannya mengepal, tapi lidahnya kelu.
Ia sadar — untuk pertama kalinya, Zhavira menjauh bukan karena salah paham, tapi karena luka yang benar-benar nyata.
Dan bodohnya… ia sendiri yang menancapkan luka itu.
"Aku minta batalkan pernikahan kita Makes, maaf." Ujar Zhavira, lirih namun tegas.
“Jadi ini keputusanmu?” tanya Makes pelan, suaranya nyaris berbisik namun tegas.
Zhavira mengangguk. “Iya. Aku ingin pernikahan ini dibatalkan, Makes.”
Makes menoleh cepat, kaget. Ia mengira Zhavira hanya sedang ngambek, atau paling buruk sedang butuh waktu sendiri. Tapi tidak menyangka sampai ke titik ini.
“Kenapa? Karena Rania?”
Zhavira menghela napas, menahan guncangan di dalam dadanya. “Ini bukan cuma tentang Rania. Tapi tentang bagaimana kamu memperlakukanku. Aku tunanganmu, tapi aku bukan prioritasmu.”
Makes melangkah maju, mencoba mendekat. “Zhavira, dengar dulu—”
“Aku sudah cukup mendengar,” potong Zhavira cepat, matanya berkaca-kaca tapi nadanya tetap tegas. “Semalam aku pulang sendiri. Kau bahkan tidak menanyakan kabarku. Aku tahu Rania sedang patah hati, aku mengerti. Tapi... kamu terlalu mudah menomorkansatukan dia dibandingku.”
“Dia sahabat masa kecilku!” sergah Makes. “Dia butuh aku.”
Zhavira tersenyum pahit. “Dan aku calon istrimu. Tapi kau lupa.”
Hening kembali menyelimuti ruangan itu. Debaran jam di dinding terdengar begitu keras di tengah sunyi yang menghimpit dada mereka berdua. Makes berjalan mendekat, menatap Zhavira dari jarak yang lebih dekat.
“Aku minta maaf, Zhavira. Aku... aku salah,” ucapnya pelan.
Zhavira menatapnya, mata itu menyiratkan luka yang terlalu dalam untuk diobati hanya dengan maaf.
“Maaf itu tak cukup, Makes. Aku sudah mencoba sabar. Aku sudah diam saat kamu berkali-kali lebih mendahulukan Rania. Bahkan saat aku tahu dia tidak benar-benar tulus. Tapi... sampai kapan aku harus terus mengalah?”
“Jangan batalkan pernikahan ini. Kita bisa bicarakan semuanya. Kita perbaiki. Aku janji akan jaga perasaanmu mulai sekarang,” pinta Makes, nada suaranya mulai memohon.
Tapi Zhavira menggeleng, air mata mulai menetes pelan di pipinya. “Aku sudah tidak tahu caranya percaya lagi, Makes. Bukan karena satu malam. Tapi karena setiap kali kamu punya pilihan, kamu tidak pernah memilihku.”
“Zhavira...” suara Makes bergetar, tangan terangkat untuk menyentuh pipinya, tapi Zhavira mundur satu langkah.
“Maaf... aku mencintaimu, Makes. Tapi aku lebih mencintai diriku sendiri sekarang,” bisiknya lirih.
Seketika Makes terdiam. Tak pernah ia mendengar Zhavira bersuara setegas dan seberani itu. Ada bagian dari dirinya yang ingin menahannya, memeluknya, dan membuat semuanya kembali seperti dulu. Tapi kalimat itu—“Aku lebih mencintai diriku sendiri sekarang”—terlalu kuat untuk dipatahkan oleh sekadar rayuan atau janji manis.
Zhavira menunduk sedikit, mengambil sebuah kotak kecil dari dalam tasnya. Cincin tunangan yang dulu diberikan Makes, kini kembali berada di telapak tangannya. Ia letakkan di meja, lalu melangkah pergi.
Tanpa menoleh.
Tanpa kata perpisahan.
Dan Makes hanya berdiri diam, matanya menatap kotak kecil di atas meja seolah di dalamnya ada seluruh dunia yang baru saja hancur berantakan.
**
Hening menyergap ruang kerja yang biasanya sibuk di lantai eksekutif Willson Corp pagi itu. Sebuah amplop berwarna putih bersih diletakkan rapi di atas meja HRD dengan tulisan tangan yang indah dan halus:
"Surat Pengunduran Diri – Zhavira Mesyana"
Tanpa banyak bicara, Zhavira berdiri di depan meja dengan wajah datar. Pandangannya kosong namun tegas. Perempuan itu mengenakan setelan kerja berwarna navy, rambutnya disanggul rapi, tak ada senyuman seperti biasanya. Aura ceria yang dulu begitu membuat kantor terasa hangat, kini lenyap tak bersisa.
“Terima kasih atas kesempatan yang telah diberikan. Mohon bantuannya agar proses pengunduran diri saya bisa segera diproses,” ucapnya tenang, sebelum membungkukkan badan dengan hormat dan meninggalkan ruangan.
HRD yang menerima surat itu hanya bisa terpaku. Tak ada yang menyangka keputusan secepat ini dari Zhavira. Ia adalah sekretaris pribadi CEO, sekaligus tunangan resmi sang pewaris Willson Corp. Tapi pagi ini, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.
**
Sementara itu, Makes masih berada di ruang kerjanya. Matanya lelah, wajahnya tirus, dan rambutnya terlihat sedikit berantakan. Semalaman ia tidak tidur, mencoba menghubungi Zhavira, bahkan sempat berdiri lama di depan apartemen wanita itu — yang tak kunjung membukakan pintu.
Namun, saat ia hendak melangkah ke sana semalam, ponselnya lebih dulu berdering.
“Ma... Makes... aku... aku nggak tahu harus ke mana... aku takut, aku bener-bener sendiri...,” suara Rania terdengar parau dan tersedu. “Tolong temani aku sebentar aja, ya? Aku mohon...”
Dengan kebodohan yang sudah menjadi kebiasaan, Makes menunda niatnya mencari Zhavira dan malah menghabiskan malam bersama Rania — menemani, menghibur, menenangkan. Ia tidak menyadari bahwa keputusannya malam itu menjadi awal kehancuran hubungan yang selama ini ia jaga dengan segala pertahanan.
**
Pagi berikutnya, di lobi kantor yang biasanya riuh dengan sapaan dan obrolan santai, suasana berubah tegang. Zhavira melangkah masuk seperti biasa, tanpa menoleh ke kiri maupun kanan. Ia berjalan melewati Makes yang berdiri menunggunya di depan lift.
“Zha—” panggil Makes sambil menahan lengan Zhavira.
Zhavira menoleh sekilas, wajahnya dingin, matanya memancarkan luka yang dalam. “Maaf, Tuan Willson. Saya sedang terburu-buru. jika ada yang mau dibahas nanti saja.” ucapnya datar, lalu melepaskan tangannya dan masuk ke lift.
Makes terpaku. Kata-kata Zhavira terdengar menusuk, lebih sakit dari tamparan apa pun. Ia mencoba mengejarnya, namun lift sudah tertutup.
**
Tak ingin membiarkan keadaan menggantung, Makes langsung menuju meja kerja Zhavira setelah jam kerja. Tapi begitu sampai, hanya ada meja kosong. Semua barang pribadi Zhavira telah hilang. Hanya tersisa secarik memo kecil di atas mejanya.
“Saya sudah cukup dewasa untuk tahu kapan harus mundur. Terima kasih atas semuanya.”
Panik, Makes mencari ke seluruh kantor. Namun hanya mendapat jawaban yang sama. Zhavira telah resmi mengundurkan diri.
Dan satu minggu kemudian, kabar itu menyebar.
Tentang pertengkaran mereka. Tentang batalnya pernikahan. Tentang pengunduran diri Zhavira. Tentang kebodohan Makes yang terlalu lembek menghadapi Rania.
**
Hari itu, pukul 11 siang, suasana kantor kembali diguncang.
Sebuah mobil mewah berwarna hitam berhenti di depan gedung. Dari dalamnya, seorang wanita paruh baya yang elegan turun dengan anggun namun tegas. Nyonya Ayunda Willson — wanita terpandang dan ibu dari Makes Willson.
Gaun formal bernuansa maroon membalut tubuhnya yang tegap. Rambutnya disanggul klasik, tas tangan bermerk mahal tersampir di lengan. Para staf menunduk sopan saat ia lewat. Tapi tak satu pun berani menatap matanya yang menyala-nyala.
Tanpa banyak basa-basi, ia naik ke lantai eksekutif dan menerobos masuk ke ruangan anaknya.
PLAKK!
Tamparan keras mendarat di pipi Makes. Suara tamparan itu menggema hingga membuat beberapa sekretaris melongo dari balik pintu.
“Kau anak bodoh! Kau pikir hidup ini bisa seenaknya kau permainkan?!” bentak Ayunda dengan mata merah.
“M-Mamah...” Makes terkejut, memegang pipinya yang panas.
“Zhavira itu wanita baik! Dia sudah menanggung malu karena mencintaimu! Sudah kau bawa ke keluargamu, kau pamerkan ke seluruh media... lalu sekarang? Kau hancurkan hidupnya hanya karena mantan kecilmu menangis sedikit?! Apa kau pikir cinta itu mainan?!”
“Mamah... aku bisa jelaskan. Aku cuma—”
“Cuma teman?!” potong Ayunda dengan suara tinggi. “Kau pikir perempuan mana pun sudi pasangannya lebih memilih ‘teman’ yang menangis ketimbang mencari tunangannya yang kecewa? Kau pikir dengan nama Willson kau bisa menyuruh siapa pun kembali ke pelukanmu? Kau salah besar, Makes! Kali ini... aku kecewa!”
Makes terdiam. Untuk pertama kalinya, wajah dingin dan penuh wibawa itu memperlihatkan air mata. Ayunda, sang wanita kuat yang membesarkannya seorang diri, kini menangis karena kebodohan anak yang paling ia cintai.
“Kalau kau benar-benar laki-laki, kau tahu harus ke mana sekarang,” bisiknya lirih sebelum meninggalkan ruangan, menyisakan Makes yang terduduk lemas, menatap langit-langit ruangan yang tiba-tiba terasa terlalu sunyi dan gelap.