Series #1
•••Lanjutan dari novel TAWANAN PRIA PSIKOPAT (Season 1 & 2)•••
Universidad Autonoma de Madrid (UAM) menjadi tempat di mana kehidupan Maula seketika berubah drastis. Ia datang ke Spanyol untuk pendidikan namun takdir justru membawa dirinya pada hubungan rumit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
Rayden Salvatore, terus berjuang untuk menjaga gadis kecilnya itu dari semua yang membahayakan. Sayangnya dia selalu kecolongan sehingga Rayden tidak diizinkan oleh ayah Maula untuk mendekati anaknya lagi.
Maula bertahan dengan dirinya, sedangkan Rayden berjuang demi cintanya. Apa keduanya mampu untuk bersatu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1 : Balasan Untuk Si Pendosa
Assalamu’alaikum, semoga teman-teman suka ya sama series ini. Jujur aja sih, saya nggak terlalu pede buat rilis di noveltoon. Soalnya ini series ada 5 judul dan takutnya kalian capek, makanya saya lebih milih rilis di platform lain yang memang kebanyakan series.
Jangan lupa berikan dukungannya ya, suara dari kalian semua itu sangat sangat sangat berharga buat saya. Karena rezeki bukan hanya di materi kan, bagi penulis amatir seperti saya, seorang pembaca juga rezeki yang besar.
Ini series pertama ya, nanti kalo semisal rame bakalan saya lanjut di platform ini. Sayang kalian semua 🥰
...•••Selamat Membaca•••...
Lantai kamar itu lengket. Bukan karena air tapi darah. Merahnya begitu pekat, sampai cahaya lampu tua di langit-langit memantul di permukaannya seperti genangan oli busuk.
Maula berlutut di tengah ruangan, tangannya menekan dada pria setengah telanjang yang terikat di kursi besi. Bibir pria itu sobek karena dihantam berkali-kali oleh Maula. Separuh hidungnya mengelupas dan matanya tersisa satu.
Maula mencongkel mata kanan pria tersebut dengan sebuah obeng bunga kecil.
“Namamu siapa tadi?” bisik Maula, sembari menekan jari kelingkingnya ke dalam luka menganga di perut korban. “Eduardo, ya? Tukang pukul anak-anak panti,” lanjutnya.
Eduardo tak bisa menjawab. Lidahnya sudah lepas dari dalam mulut. Maula yang memotongnya sendiri menggunakan silet berkarat.
Tubuh pria itu gemetar. Bukan karena hidup, tapi karena tubuhnya belum sadar bahwa ia seharusnya sudah mati sejak penyiksaan pertama yang dilakukan oleh Maula Chulpan Maximillian, gadis manis yang masih berusia delapan belas tahun.
Maula tertawa kecil. Senyumnya manis, tapi matanya kosong seperti lubang kubur.
“Kau tahu, Eduardo,” katanya pelan, “perbuatanmu itu sangat keterlaluan, kenapa kau bisa melecehkan dan menyiksa anak-anak di panti itu hah? Mereka sudah kehilangan kedua orang tua dan kau menambah penderitaan dengan melecehkan mereka, kau tidak punya otak ya.”
Ia menurunkan kepalanya, menatap luka di paha Eduardo yang sudah tercabik dengan goresan pisau, memperlihatkan tulang paha Eduardo.
“Kau tahu bagian mana dari tubuh yang paling keras untuk dipotong?” tanyanya riang. “Betis. Dagingnya padat, keras. Tapi, aromanya manis seperti daging panggang.” Eduardo hanya bisa mendesis. Matanya memohon, atau mungkin hanya kejang. Tak ada yang peduli.
Maula berdiri, lalu mengambil sebuah palu godam dari sudut ruangan. Masih ada rambut menempel di kepala palu itu, korban sebelumnya. Ia menatapnya sejenak, lalu berkata pelan.
“Ini bukan pembunuhan. Ini adalah penyucian dari jiwa yang telah kalian kotori, dasar biadab.”
Palu itu menghantam wajah Eduardo tiga kali. Suara tengkorak retak seperti kayu patah. Otaknya muncrat ke lantai.
Maula berdiri, napasnya sedikit terengah, tapi ekspresinya tetap datar seperti gadis yang baru selesai mencuci piring dan menyelesaikan tugas ringan.
Ia menoleh ke cermin tua di sudut ruangan, menatap bayangannya sendiri. Tubuhnya berlumur darah dan kaos putihnya kini merah gelap, menempel di kulit. Ia mengangkat tangannya, melihat darah menetes pelan dari jemarinya ke lantai, tik... tik... tik...
Lalu terdengar suara. Bukan dari luar. Tapi dari dalam kepalanya.
“Kau menikmati ini, Maula. Kau lahir dari darah. Dan darahlah yang akan memelukmu sampai akhir.”
Maula memejamkan mata. Lalu tersenyum kecil. “Aku hanya memotong bagian dari dunia yang busuk.”
Ia berjalan keluar dari kamar itu. Sepi. Rumah bobrok itu terletak di ujung hutan, tempat di mana orang-orang seperti Eduardo membawa anak-anak untuk “bermain”. Bermain dalam konteks yang berbeda.
Tak ada sinyal, tak ada CCTV. Hanya sunyi dan bau kematian yang menempel di dinding seperti jamur tua.
Sebelum pergi, Maula menabur bubuk pemicu di seluruh ruangan, lalu menyalakan korek. Api menjilat tirai, lalu dinding. Dalam waktu lima menit, rumah itu berubah jadi api neraka.
Ia melangkah pergi tanpa menoleh. Setiap langkah meninggalkan jejak darah dan lumpur di tanah.
Di sakunya, ada daftar nama dan satu sudah dicoret.
Udara malam menggigit. Embun menempel di ujung rambut Maula yang basah oleh keringat dan darah. Ia berjalan pelan melewati semak belukar, meninggalkan api yang kini melahap rumah itu seperti iblis kelaparan.
Bau daging terbakar menguar dari balik pepohonan, menyesakkan, tapi Maula menghirupnya dalam-dalam seperti aroma parfum mahal yang sayang kalau harus disia-siakan.
Ia sampai di jalan tanah. Di bawah cahaya bulan, mobil van tuanya menunggu. Ia membuka pintu belakang. Di dalamnya ada koper hitam, bukan koper biasa.
Dengan hati-hati, ia membuka resletingnya. Di dalam koper itu ada potongan tubuh.
Beberapa jari, potongan kulit, satu bola mata yang masih utuh. Maula mengambil potongan bibir yang tadi ia gunting dari Eduardo. Ia menatapnya, lalu menyelipkan ke dalam toples kecil berlabel: “Berkata Manis Pada Anak-Anak”
Ia memiliki sebuah ornamen dari tubuh korbannya. Setiap bagian tubuh adalah simbol dosa.
Tiba-tiba, terdengar suara dari semak, sebuah geraman kecil, lalu derap langkah. Maula langsung menarik pisau lipat dari sepatunya. Nafasnya tertahan. Mata menajam. Satu... dua... tiga detik...
Seekor anjing hutan muncul, kelaparan, matanya menyala merah terkena pantulan api.
“Ayo sini,” bisik Maula.
Ia mengulurkan telapak tangan, masih hangat dengan darah manusia. Anjing itu mendekat perlahan, mencium dan Maula mencabik sedikit daging dari kantong plastik, melemparkannya.
Anjing itu menyergap dan memakan potongan daging dengan lahap.
“Semua makhluk lapar pada akhirnya,” katanya. “Manusia, binatang… tak jauh beda. Yang beda cuma siapa yang lebih baik menyembunyikannya. Aku pikir, seekor anjing jauh lebih mulia ketimbang manusia, mereka akan menggigit jika diganggu tapi manusia? Ck... mereka akan menggigit semaunya.”
Ia masuk ke mobil. Nyalakan mesin. Musik klasik mengalun pelan dari tape rusak. Tchaikovsky – Symphony No. 6 in B minor. Lembut. Tragis. Kontras dengan isi bagasi yang penuh sisa kematian.
Tchaikovsky – Symphony No. 6 in B minor, juga dikenal dengan nama Pathétique, karya musik klasik terakhir dari komponis Rusia Pyotr Ilyich Tchaikovsky. Karya ini sangat terkenal karena nuansanya sangat emosional dan tragis, penuh kesan muram, sedih, dan melankolis.
Gerakan terakhirnya (Adagio lamentoso) justru sangat pelan dan menyayat, berbeda dari simfoni pada umumnya yang biasanya berakhir megah. Ini membuat simfoni terasa seperti “kematian perlahan.”
Banyak yang percaya ini adalah surat perpisahan Tchaikovsky sebelum kematiannya, ada teori ia bunuh diri tak lama setelah simfoni ini dirilis pada 1893.
Musiknya bisa membuat suasana jadi semakin mencekam, emosional, dan tak terlupakan. Kalau kamu dengarkan, pasti langsung kebayang film horor atau thriller psikologis yang elegan tapi menyeramkan.
Cukup lama perjalanan yang ditempuh oleh Maula hingga sampai di jalan raya, dia berhenti sejenak di sebuah toilet umum untuk membersihkan tubuhnya dari sisa darah yang menempel.
Mengganti pakaian dan kembali mengemudi, membelah jalanan yang gelap dan mencekam.
Tadi Maula hanya pamit ke panti asuhan tempat dia biasa berbagi makanan. Panti yang memang dibangun oleh Leo dan Maureen. Namun, sudah pukul 11 malam, dia belum juga pulang. Terakhir ayahnya menelepon, sekitar jam 5 sore dan setelah itu ponselnya mati karena habis baterai.
Maula paling benci pada manusia yang selalu bertindak semaunya, sudah sering anak-anak panti mengeluh atas beberapa pengelola mereka. Tak jarang pengelola itu meneguk manisnya tubuh anak-anak tak berdosa demi kepuasan binatang dalam dirinya.
...•••Bersambung•••...
...Ditunggu loh ya komenan dan dukungan dari kalian semua, berharap banget loh saya ini. ...