Di sebuah pesta keluarga, Arga bertemu dengan Kalista, yang langsung mencuri perhatian dengan pesonanya. Tanpa ragu, mereka terjerat dalam hubungan terlarang yang menggoda, namun penuh bahaya.
Saat Arga menyadari bahwa Kalista adalah simpanan pamannya, hubungan mereka menjadi semakin rumit. Arga harus memilih antara cinta yang terlarang atau melindungi nama baik keluarganya, sementara godaan terus membara.
Akankah Arga tetap memilih Kalista meski harus mengorbankan segala-galanya, atau akan ia melepaskannya demi menjaga kehormatan keluarga? Apakah ada cara untuk keluar dari cinta yang terlarang ini tanpa merusak segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rindu Firdaus, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan Pertama yang Menggoda
Pesta ulang tahun pernikahan ke-30 Paman Arman dan Tante Dita digelar meriah di ballroom hotel bintang lima di tengah kota. Arga datang sedikit terlambat, mengenakan kemeja hitam dengan setelan jas abu gelap yang disetrika rapi oleh ibunya pagi tadi. Sebenarnya, dia tak terlalu suka menghadiri acara keluarga seperti ini. Formal, membosankan, dan penuh basa-basi.
Namun karena sosok yang sedang berulang tahun adalah Paman Arman, salah satu pengusaha tersukses di keluarga besar mereka, sekaligus orang yang banyak membantu keluarganya dari sisi keuangan mau tak mau, Arga harus hadir. Ibunya berpesan agar bersikap sopan, jaga bicara, dan jangan lupa senyum walau malas.
Saat Arga masuk ke ruangan yang dipenuhi dekorasi mewah dan cahaya lampu kristal yang menyilaukan, matanya langsung tertuju pada seorang wanita muda berdiri sendirian di dekat buffet minuman. Bukan karena posisinya yang strategis atau pakaian mencoloknya, melainkan aura yang terpancar dari dirinya. Kalista.
Dia tak pernah melihat wanita itu sebelumnya dalam setiap acara keluarga. Rambut panjang ikal berwarna cokelat gelap, jatuh sempurna di bahunya. Gaun merah marun yang dikenakannya menonjolkan siluet tubuh yang ramping, namun menggoda. Mata bulatnya menatap santai ke arah kerumunan, lalu berhenti pada Arga tanpa ragu, tanpa malu, seolah dia tahu benar siapa yang dia incar malam ini.
Arga terdiam. Detik itu, dunia terasa hening. Ia lupa akan semua kebisingan di sekitarnya, lupa pada tujuan awal datang, lupa bahwa dia berada di tengah pesta keluarga.
Kalista menyeringai tipis, lalu mengangkat gelas anggurnya sedikit, seolah memberi salam diam-diam. Sebuah isyarat penuh misteri.
Arga mengerjap, menyadari dirinya telah menatap terlalu lama. Dengan refleks, dia mengalihkan pandangan dan pura-pura mencari seseorang di antara keramaian. Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Ada rasa tertarik yang begitu kuat.
“Arga!” Sebuah suara keras memanggilnya. Ia menoleh dan melihat Paman Arman, tersenyum lebar sambil membawa dua gelas sampanye.
Arga segera menghampiri. “Selamat ulang tahun pernikahan, Paman. Semoga langgeng dan bahagia terus.”
Paman Arman menepuk bahunya. “Terima kasih, Nak. Wah, kamu makin ganteng aja. Sudah dapat kerja tetap, ya?”
Arga tersenyum kecil. “Masih freelance, Paman. Tapi alhamdulillah cukup buat hidup sendiri.”
“Oh, bagus. Kalau kamu butuh koneksi, bilang aja sama Paman. Jangan sungkan.”
Sambil mengobrol basa-basi, Arga sesekali melirik ke arah tempat Kalista berdiri. Tapi wanita itu sudah menghilang dari pandangannya. Ia menghela napas kecewa, entah kenapa.
“Kamu lihat perempuan yang tadi berdiri dekat buffet itu?” tanya Arga tiba-tiba.
Paman Arman mengangkat alis. “Yang mana ya?”
“Yang pakai gaun merah... rambut panjang, tinggi semampai, cantik.”
Paman Arman berpikir sebentar, lalu terkekeh. “Oh, mungkin temannya Tante Dita. Banyak temannya yang diundang malam ini, termasuk kolega bisnisnya. Kenapa, tertarik?”
Arga tertawa gugup. “Nggak, cuma... penasaran aja.”
“Ya sudah, kalau berani, dekati langsung,” goda pamannya. “Mumpung kamu masih muda, jangan cuma diam.”
Arga hanya tersenyum menanggapi. Tapi di dalam dadanya, dorongan itu makin kuat. Ia ingin tahu siapa wanita itu. Ingin tahu nama, pekerjaan, dan... kenapa tatapan mata mereka tadi seolah menyampaikan sesuatu yang belum sempat diucapkan.
Setelah berkeliling ruangan dan menyapa beberapa kerabat yang hadir, Arga akhirnya memutuskan keluar sebentar ke balkon. Ia butuh udara segar. Ruangan yang penuh dengan parfum mahal, percakapan palsu, dan musik jazz lembut itu membuatnya pusing.
Angin malam menyentuh wajahnya. Dari balkon lantai 7 itu, gemerlap kota terlihat jelas. Tapi lagi-lagi, pikirannya kembali ke wanita tadi. Ada sesuatu yang membuatnya sulit melupakan pertemuan singkat itu.
Dan saat ia hendak kembali masuk, suara langkah pelan terdengar dari belakang.
Arga menoleh. Di sana, Kalista berdiri. Masih dengan gelas anggurnya, dengan senyum yang lebih tipis namun lebih menusuk.
Dia datang padanya.
“Kamu sering merasa asing di tengah keramaian juga?”
Suara lembut itu menusuk telinga Arga, membuatnya sedikit terkejut tapi juga senang. Ia berbalik, dan Kalista sudah berdiri hanya beberapa langkah darinya, menatap dengan sepasang mata yang dalam dan teduh, seperti menyimpan sesuatu yang tak terucapkan.
“Lumayan sering,” jawab Arga, berusaha tenang meski jantungnya mulai berdegup lebih cepat. “Kamu juga?”
Kalista tersenyum, lalu menyesap sedikit anggurnya. “Aku nggak terlalu suka pesta. Tapi kadang... kita harus datang, kan? Demi sopan santun.”
“Kalau gitu, kita punya kesamaan,” Arga balas tersenyum. “Aku juga datang cuma karena ibuku memaksa.”
Kalista mengangguk kecil. Matanya menatap langit sebentar sebelum kembali ke arah Arga. “Nama kamu siapa?”
“Arga,” jawabnya cepat. “Dan kamu?”
“Kalista.”
Nama itu seindah pemiliknya. Arga membatin dalam hati, berusaha tidak terlihat terlalu terpukau. Tapi sulit, karena Kalista bukan sekadar cantik. Ada keanggunan yang tak dibuat-buat, dan sensualitas yang terasa dalam setiap geraknya.
“Jadi... kamu keluarga siapa?” tanya Kalista santai, meski nada suaranya terdengar seperti sedang menyelidik.
“Aku keponakan dari Pak Arman,” kata Arga jujur. “Kamu sendiri?”
Kalista hanya tersenyum samar. “Tebak saja.”
Arga mengangkat alis, tertawa kecil. “Hm, tamu istimewa mungkin? Teman Tante Dita?”
“Bisa jadi,” Kalista menjawab, lalu menatapnya lebih dalam. “Kamu tinggal di Jakarta juga?”
“Iya. Di Tebet. Kamu?”
“Saya di apartemen... dekat Sudirman.”
Jawabannya singkat, tapi justru membuat Arga semakin penasaran. Kalista tak banyak bicara, namun justru itulah yang membuatnya menarik. Ia menyimpan sesuatu, dan Arga ingin tahu lebih.
Mereka terdiam sejenak. Tapi diam itu bukan canggung, melainkan seperti jeda yang menyenangkan. Kalista menyandarkan tubuhnya pada pagar balkon, lalu menoleh lagi ke arah Arga.
“Kamu tipe pria yang langsung bicara jujur, atau suka main aman dulu?” tanyanya tiba-tiba.
Pertanyaan itu membuat Arga terkekeh pelan. “Kenapa, kamu mau tahu niatku mendekatimu?”
Kalista menatapnya dengan senyum setengah. “Mungkin.”
Arga mendekat satu langkah, jarak mereka kini tak sampai satu meter. Ia bisa mencium samar aroma parfum Kalista yang lembut dan manis. “Kalau jujur... aku tertarik sejak pertama kali lihat kamu tadi.”
“Kamu yakin cepat tertarik seperti itu?” Kalista bertanya dengan suara rendah, matanya sedikit menyipit. “Padahal baru saling kenal beberapa menit.”
“Kadang yang singkat justru paling membekas,” sahut Arga mantap. “Kamu sendiri? Datang ke balkon ini karena kebetulan atau memang cari aku?”
Kalista tertawa pelan, lalu menatapnya tajam. “Anggap saja... aku penasaran.”
Angin malam kembali berembus. Suasana menjadi lebih sepi. Di dalam ballroom, musik tetap terdengar, namun sayup. Lampu-lampu kota berkilau di kejauhan, menjadi latar sempurna untuk momen yang terasa seperti adegan dalam film romantis.
Tanpa sadar, Arga dan Kalista semakin dekat.
“Aku harus kembali,” ujar Kalista pelan, seolah tidak benar-benar ingin pergi.
“Tapi kita belum selesai ngobrol,” kata Arga cepat.
“Kita bisa lanjut... kalau kamu berani cari aku nanti,” bisiknya, sebelum melangkah pergi dengan tenang. Gaun merah marunnya bergoyang ringan mengikuti langkah kakinya yang anggun. Ia tidak menoleh lagi, tapi Arga tahu dia sedang mengujinya.
Arga berdiri mematung selama beberapa detik. Nafasnya naik turun, bukan karena kelelahan, melainkan karena tensi dari percakapan itu. Kalista seperti teka-teki yang indah tapi berbahaya. Dan Arga, dengan segala logikanya, merasa dirinya mulai masuk ke dalam pusaran yang belum ia pahami sepenuhnya.
Tapi ia tak ingin mundur.
Setelah memastikan dirinya cukup tenang, Arga kembali ke dalam ruangan. Ia berkeliling, mencari sosok Kalista. Tapi gadis itu menghilang seperti ditelan lantai dansa.
“Aku cari-cari kamu dari tadi,” suara ibunya tiba-tiba muncul dari belakang. “Udah salaman belum sama Tante Dita?”
“Udah, Bu,” jawab Arga cepat, meski pikirannya masih belum lepas dari sosok Kalista.
“Bagus. Nanti jangan langsung pulang. Ada sesi foto keluarga sebentar lagi.”
Arga mengangguk. Tapi matanya terus menjelajah ruangan. Ia masih ingin menemukan Kalista. Belum puas. Belum cukup.
Lalu, dari kejauhan, matanya menangkapnya.
Kalista berdiri di sisi bar, sedang bicara dengan seseorang. Tapi bukan itu yang membuat Arga terkejut. Pria yang sedang bersama Kalista... adalah Paman Arman.
Mereka berdiri terlalu dekat. Terlalu nyaman. Dan Kalista... tersenyum dengan cara yang berbeda.
Perut Arga terasa ditusuk sesuatu. Ia tak bisa berpaling. Tak bisa mengabaikan.
Paman Arman menyentuh pinggang Kalista. Ringan, tapi intim.
Dan Kalista membiarkannya.
Arga terpaku di tempatnya, seperti tubuhnya tertahan oleh gravitasi yang tak terlihat. Matanya tak lepas dari pemandangan itu... pamannya sendiri, Arman, berbicara dengan Kalista sambil sesekali menyentuh lengan, pinggang, bahkan rambut perempuan itu seolah mereka memiliki hubungan yang lebih dari sekadar kenalan.
Detik itu juga, perasaan hangat yang tadi sempat menyelimuti dada Arga berubah menjadi dingin. Bukan hanya karena cemburu, tapi karena kenyataan yang perlahan menyusup seperti kabut: Kalista mungkin bukan hanya tamu biasa. Ia bukan sekadar perempuan cantik misterius yang muncul dan menghilang begitu saja.
Dan kalau benar yang dipikirkan Arga... dia adalah simpanan pamannya sendiri.
Nafas Arga mulai berat. Ia menunduk, mencoba menguasai emosinya, lalu berjalan pelan menjauh dari kerumunan. Tidak. Ia tak ingin membuat keributan. Belum.
Ia duduk di pojok ruangan, membiarkan suara tawa dan musik pesta tenggelam dalam pikirannya yang kini kusut tak karuan. Rasanya seperti tertampar, padahal baru sebentar mengenal Kalista. Tapi tatapan gadis itu... caranya bicara... semua terasa nyata, bukan sekadar mainan.
Tapi kalau memang Kalista adalah simpanan Paman Arman... mengapa ia mendekati Arga? Mengapa menatap seolah ingin sesuatu lebih?
Atau... mungkinkah Kalista memang suka bermain dua arah?
“Arga,” suara berat Paman Arman terdengar dari samping. Arga reflek menoleh.
“Paman,” jawabnya dengan senyum dipaksakan.
“Apa kabar? Sudah lama kita nggak ngobrol,” ucap Arman sambil duduk di samping keponakannya. Wajahnya seperti biasa ramah dan penuh wibawa.
“Baik, Man. Biasa, sibuk kerja,” sahut Arga. Matanya sesekali melirik ke arah bar, tapi Kalista sudah tak ada di sana. Menghilang lagi.
“Baguslah,” Arman mengangguk. “Kamu sekarang kerja di mana?”
“Masih di kantor kreatif media, bagian konten.”
“Hm... kamu cocok di sana. Tapi kapan-kapan mampir ke kantor Paman. Kita ada proyek baru. Siapa tahu kamu mau coba terlibat.”
Arga mengangguk sopan. Ia tahu pamannya sukses, perusahaan properti milik Arman termasuk besar. Tapi Arga belum pernah terlalu dekat dengannya. Terlalu banyak kesibukan, dan... terlalu banyak jarak.
Mata Arga mencari-cari Kalista lagi, hingga Arman menyadarinya.
“Kamu cari siapa?” tanya pamannya pelan.
Arga tersentak. “Eh? Nggak... cuma lihat-lihat orang. Banyak wajah baru di sini.”
Arman tertawa pelan. “Kamu pasti lihat Kalista ya?”
Arga nyaris membeku.
“Cantik, ya?” lanjut Arman tanpa curiga. “Dia... teman dekat Paman.”
Teman dekat.
Kata itu menggantung. Tapi Arga tahu, dalam dunia orang-orang berduit, “teman dekat” sering punya arti yang sangat luas. Terlalu luas.
Arga ingin bertanya lebih. Tapi apa yang bisa dia katakan? “Dia baru saja nyaris membuatku jatuh cinta dan kamu menyentuh pinggangnya di depan umum?” Tentu tidak.
Paman Arman menepuk bahunya, lalu berdiri. “Santai saja di sini, ya. Tante Dita panggil Paman dulu.”
Setelah Arman pergi, Arga menghembuskan nafas panjang. Ini gila. Semuanya gila.
Dan belum sempat pikirannya luruh, Kalista muncul lagi. Berdiri di samping sofa, menyapanya seolah tak ada yang terjadi.
“Kenapa kamu keliatan kaget?” tanyanya, suaranya tetap lembut. “Nggak nyangka aku kenal Paman kamu?”
Arga menatapnya tajam. “Kamu tahu dari awal siapa aku?”
Kalista tidak langsung menjawab. Ia duduk di samping Arga, menjaga jarak, tapi tak menunduk.
“Aku tahu kamu keponakan Arman,” katanya akhirnya. “Dan aku tahu kamu melihat kami tadi.”
Arga menggeram pelan. “Kalau kamu tahu, kenapa kamu main-main sama aku?”
“Aku nggak main-main,” bisik Kalista pelan. “Tapi aku juga nggak bisa bohong soal hidupku.”
“Jadi kamu memang... simpanan Paman?”
Kalista diam. Tak ada penyangkalan. Tak ada pembelaan.
Hening itu menampar lebih keras daripada jawaban.
“Kenapa kamu dekati aku?” tanya Arga lagi, kali ini dengan suara lebih pelan, seperti takut pada jawabannya sendiri.
“Aku nggak rencanakan ini,” ujar Kalista. “Aku lihat kamu... dan aku tertarik. Bukan karena hubunganmu dengan Arman. Bukan karena apapun. Aku hanya... merasa kamu berbeda.”
“Berbeda?” Arga tertawa kecil. Pahit. “Kamu bicara tentang perasaan, sementara kamu hidup dengan pria lain.”
“Aku nggak cinta Arman,” bisik Kalista. “Hubungan kami... rumit. Tapi kamu...”
“Berhenti,” potong Arga cepat. “Aku butuh waktu berpikir.”
Kalista mengangguk, meski matanya tampak sedikit memerah.
“Aku ngerti. Tapi tolong... jangan langsung menilai aku cuma dari apa yang kamu lihat.”
Dan dengan itu, ia berdiri. Pergi pelan, sama seperti pertama kali datang. Hening, dan penuh tanda tanya.
Arga hanya bisa duduk. Membiarkan malam itu mencabik-cabik hatinya yang belum sempat tumbuh utuh.
Baru babak pertama... tapi kisah ini sudah terasa terlalu rumit.
Dan semuanya dimulai dari satu tatapan yang menggoda, tapi juga menghancurkan.