Elena hanya seorang gadis biasa di sebuah desa yang terletak di pelosok. Namun, siapa sangka identitasnya lebih dari pada itu.
Berbekal pada ingatannya tentang masa depan dunia ini dan juga kekuatan bawaannya, ia berjuang keras mengubah nasibnya dan orang di sekitarnya.
Dapatkah Elena mengubah nasibnya dan orang tercintanya? Ataukah semuanya hanya akan berakhir lebih buruk dari yang seharusnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 1: Belajar Menulis
Di dalam sebuah rumah kayu yang sederhana, seorang gadis kecil bersurai merah muda dengan mata berwarna merah muda yang begitu cantik sedang asik membolak-balikkan sebuah buku bergambar dengan wajah senang.
Di setiap lembar buku itu menampilkan sebuah gambar yang sangat cantik di mata gadis itu. Seperti gambar seorang pangeran yang sedang berdansa dengan belahan jiwanya, dan betapa cantiknya hutan yang ada di buku itu.
Kreet!
Suara pintu kayu terbuka dan menampilkan sosok wanita paruh baya dengan keranjang bunganya. "Elena, apa yang kamu lakukan disana?" tanya wanita paruh baya itu yang bernama Delia.
Gadis bernama Elena itu mendongak dan berlari memeluk ibunya dengan wajah bahagia. "Aku sedang membaca buku yang ibu belikan untukku!" jawab Elena dengan riang.
Delia tersenyum lembut sembari mengusap rambut merah muda anaknya itu. "Maaf, ibu tidak bisa membelikan Lena buku yang lebih baik."
"Tidak apa, ibu. Elena sudah cukup dengan ini. Terimakasih atas bukunya, ibu!"
Elena sungguh anak yang baik dan perhatian. Bagi Delia, Elena adalah anaknya yang paling berharga dan imut di dunia. Ia sangat bahagia bisa memiliki Elena dalam hidupnya.
"Bagaimana kalau kita makan malam? Ibu akan memasak sup kentang kesukaan Lena."
"Lena suka sup kentang buatan ibu!"
Mereka berdua pun pergi ke arah dapur dimana ruangan itu menyatu dengan ruang tamu. Walau rumah itu terlihat kecil, Delia dan Elena hidup bahagia disana bersama warga yang ada di desa.
Saat Delia sedang memasak sup kentang, Elena kembali membolak-balikkan kertas bergambar itu sembari mengagumi lukisan yang ada di kertas itu.
Tuk!
Delia kembali dengan dua mangkuk sup kentang yang masih mengeluarkan uap hangat. "Ayo di makan dulu, Lena."
"Ibu, kapan ibu akan mengajariku membaca?"
"...."
Pertanyaan Elena sontak membuat Delia terdiam sejenak.
"Aku ingin tahu apa yang di tulis dalam buku ini, ibu."
Terlihat sekilas raut Delia yang ragu. Namun, ia menghela napas lembut dan tersenyum kepada anak semata wayangnya.
"Baiklah, akan ibu ajari."
Mendengar hal itu, Elena merasa sangat senang hingga rasanya ia bisa melompat saat itu juga. "Terimakasih, Ibu!"
Delia senang jika itu yang di inginkan putrinya. Walau di dalam hatinya menyimpan perasaan gelisah dan bersalah. Tapi, jika itu untuk putrinya ia akan melakukan apapun, bahkan memberikan nyawanya pada iblis.
"Cepat habiskan dan tidur. Besok ibu akan mengajarimu membaca."
"Baik, ibu!"
"Akhirnya aku bisa mengetahui tulisan apa yang selalu ada di atas kepala ibu."
...★----------------★...
Setelah janji Delia pada Elena kemarin, pagi ini Delia menepati janjinya sebelum pergi menjual bunga ke kota terdekat.
"Baiklah, bentuk ini adalah A. Sedangkan yang ini adalah B." Delia mencoba menuliskan satu per satu huruf di atas tanah menggunakan garis. Delia tidak menggunakan kertas karena kertas sangat mahal, dan itu juga yang membuat Delia tidak bisa membelikan buku lain untuk putrinya.
Memperhatikan instruksi dari ibunya, elena mencoba mengikuti garis yang di gambar oleh sang ibu. Menekan ranting di atas tanah dan menariknya untuk membentuk sebuah huruf yang ia inginkan.
"Lena sungguh pintar! Bagaimana bisa kamu melakukannya hanya dengan beberapa kali percobaan saja?" Delia terlihat begitu senang ketika melihat putrinya menuliskan namanya dengan huruf-huruf yang ia ajarkan.
"Hehe... Itu semua berkat ibu yang pandai mengajari Lena," tawa konyol Elena, membuat ibunya tersenyum sangat bahagia.
"Anakku sangat manis dan baik!" Delia memeluk putrinya dengan gemas hingga membuat Elena tertawa geli melihat tingkah ibunya.
"Akhirnya aku bisa membaca sekarang! Aku penasaran apa yang tertulis di atas kepala ibu..." Di dalam pelukan Delia, Elena mengangkat sedikit pandangannya ke atas kepala Delia.
'12 Tahun'
"12 tahun? Apa maksudnya itu?" Angka yang muncul itu membuat Elena bingung. Namun, Elena mengesampingkan pikiran itu terlebih dahulu dan kembali menghapal semua huruf yang di ajarkan oleh Delia.
...★----------------★...
Setelah selesai belajar, waktu sudah menunjukkan siang hari. Delia sudah pergi menjual bunga di kota seperti biasanya, sedangkan Elena mendatangi rumah temannya untuk bermain.
Ia mengetuk pintu rumah tetangganya dan keluarlah seorang pria paruh baya dengan tubuh berotot. "Oh, Elena. Apa kau mencari Ralf dan Mega?" tanya pria bernama Glen.
"Halo, paman Glen. Benar, aku mencari Ralf dan Mega. Apa mereka ada di rumah?"
"Oh, mereka ada di kamar. Kamu bisa langsung masuk saja."
"Terimakasih, paman."
Elena pun berjalan masuk ke dalam rumah Glen dan berjalan ke arah sebuah pintu yang mengarah ke arah kamar Ralf dan Mega.
Elena mengetuknya dan memanggil mereka, "Ralf, Mega, kalian di dalam?"
Setelah Elena memanggil nama mereka, sebuah suara rusuh dari dalam terdengar. Pintu kayu terbuka dan menampakkan sosok anak laki-laki bersurai biru tua dengan mata yang serasi dengan rambutnya.
"Elena! Kau kesini?" Anak yang terlihat bersemangat itu bernama Ralf. Wajahnya terlihat berseri saat melihat ke datangan Elena.
"Halo, Ralf. Aku kesini untuk mengajak kalian bermain."
"Oh! Ayo!" Ralf terlihat tidak sabaran dan berakhir mendapat pukulan di pundak oleh saudarinya.
"Kenapa kakak selalu heboh ketika Lena datang, sih?" Itu adalah Mega, adik dari Ralf. Ia memiliki rambut berwarna biru keunguan, mirip dengan warna rambut ibunya. Namun, matanya berwarna biru tua seperti Ralf dan ayahnya.
"Halo, Mega. Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu hari ini. Pasti kamu akan menyukainya!" ucap Elena dengan wajah berseri.
Mendengar hal itu membuat raut wajah Mega penasaran. Ia mendatangi Elena sembari mendorong Ralf sedikit untuk memberinya jalan. "Apa itu Lena?"
"Kenapa kamu langsung berubah jika bersama Elena?" Ralf yang melihat sikap adiknya yang langsung terlihat seperti anak bebek merasa terheran-heran. Namun, ucapan Ralf hanya mendapat tatapan malas dari Mega. Hal itu membuat Ralf tidak bisa berbuat apapun lagi.
"Kamu akan mengetahuinya nanti, Mega."
...★----------------★...
Di pinggir hutan Elena membuat sebuah huruf dari ranting yang ditekan ke arah tanah. Mega yang melihat huruf-huruf itu merasa kagum dan bersemangat.
"Jika kamu menulisnya seperti ini ... Itu akan menjadi namamu, Mega." Elena menunjuk kumpulan huruf yang menjadi satu.
"Itu keren, Lena! Aku ingin mencobanya juga!" Mega langsung berusaha mengikuti tulisan yang ditulis oleh Elena sebelumnya.
"Sudah! Bagaimana, Lena?"
Dapat Elena lihat tulisan yang dibuat oleh Mega terlihat berantakan. Namun, itu hal wajar karena ini pertama kalinya bagi Mega mengenal huruf.
"Kamu hebat, Mega!" puji Elena.
Ketika Mega dan Elena asik menulis banyak hal di tanah, Ralf datang dari dalam hutan sambil menenteng seikat kayu bakar. "Kalian sedang apa?" tanyanya setelah meletakkan kayu bakarnya di bawah pohon.
"Lihat kak! Lena mengajariku menulis!"
Ralf yang melihat bentuk-bentuk yang tidak ia kenali merasa bingung. "Itu huruf?" tanyanya sekali lagi.
"Benar. Ini huruf, Ralf."
"Darimana kamu mempelajarinya, Elena? Kita kan rakyat biasa, seharusnya tidak mengetahui tentang huruf."
Di dunia ini, terdapat sebuah kasta antara rakyat biasa, bangsawan, dan kekaisaran. Rakyat biasa pada umumnya tidak bisa membaca ataupun menulis karena mereka tidak memerlukan pengetahuan tersebut.
Namun, Elena pernah mendengar ibunya meminta maaf terus menerus saat malam hari. Ia mengatakan maaf kepada seorang nyonya yang mungkin itu adalah bangsawan tempat Delia dulu bekerja.
Saat itu Delia terlihat begitu putus asa dan membuat Elena bingung. Namun, di dalam pengalamannya di kehidupan sebelumnya. Orang tua nya sering menangis sendirian dan ketika Elena mendekatinya, mereka akan marah dan mulai melempar barang.
Benar. Ini bukanlah kehidupan pertama bagi Elena. Di kehidupan sebelumnya, nasib Elena kurang baik dan berakhir ia mati dengan rasa kesepian mendalam. Namun, seperti hadiah dari surga. Elena di beri kehidupan kedua bersama Delia yang begitu hangat dan menyayanginya. Walau tanpa sosok ayah, Elena begitu bahagia bisa merasakan kehangatan seseorang setelah sekian lama.
"Ibu yang mengajariku. Mungkin dia pernah bekerja di tempat seorang bangsawan," jawab Elena. Ralf hanya mengangguk dan memperhatikan adiknya yang asik menggores-gores tanah.
"Aku juga mau coba!"
Ralf langsung mencari ranting di sekitarnya dan mencoba menulis huruf-huruf yang ada disana.
To be Continued: