Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
01. Perundungan
Cairan bening mengalir mengguyuri tubuh mungilnya, seragam lusuh gadis yang tengah menunduk itu terkena noda lumpur sebab air comberan yang berpadu dengan tanah. Buku-buku jarinya memutih seiring emosi yang tertahan. Beberapa lembar kertas ujian yang dipenuhi coretan berwarna merah menyebar kemana-mana, berserakan. Kacamata yang awalnya bertengger manis, kini telah jatuh tergeletak berlumuran lumpur. Jemarinya meraba sekitar guna meraih benda berharga tersebut, namun ia merasakan sesuatu yang berat menghantam jarinya seolah memaksanya bungkam.
Ia mengadah, memandang wajah manis gadis sebaya dengannya. Secarik seringai tercetak pada bibir bergincu gadis tersebut. Jari-jari lentik yang dipoles sedemikian rupa menandakan bagaimana perlakuan orangtua yang senatiasa memanjakan dirinya.
"Well, hello nerd." Ujarnya seraya mengibaskan kacamata penuh lumpur dengan jijik.
"Hera, tolong, balikin kacamata saya." Mohonnya kepada si gadis bergincu.
Gadis yang disebut sebagai Hera hanya menggerling tidak peduli, ia lantas menjatuhkan kacamata itu ke tanah lalu menginjaknya hingga hancur berkeping-keping.
"Put it on, Renata." Kata Hera diiringi kekehan mengejek dari beberapa manusia di belakangnya.
Renata menggeram, ia lelah akan perilaku yang terkesan tak pantas dari seluruh insan di Amarta High School, terlebih tingkah Hera dan kawan-kawannya yang semakin hari semakin menjadi. Untung saja, alat bantu dengarnya masih bertengger apik di kedua telinga Renata, membuat gadis berkulit sawo itu menghela lega. Manik sehijau daun Renata memandang nyalang kearah sekelompok manusia biadab yang telah pergi meninggalkannya seorang diri, sejumput rasa syukur ia hanturkan. Dengan cepat ia berusaha meraup seluruh lembar ujian yang berisi nilai kurang memuaskan miliknya.
Gadis berambut panjang yang kusut tersebut berdiri sekuat tenaga, tangan kanannya ia gunakan untuk mencari tumpuan pada tembok putih serta memegangi satu dua eksemplar yang telah terkacau hal-hal lain yang pastinya menjijikan, sementara tangan kirinya meremas kacamata kuno yang telah rusak bersimbah lumpur.
Renata berjalan terseok-seok, kakinya keseleo akibat dorongan yang mengawali adegan perundungan.
Renata menyandarkan punggungnya pada bangunan putih yang terpisah jauh dari gedung kelas.
Tanpa sadar, setetes cairan bening mengalir melintasi pipinya.
''Tuhan...Berapa lama?" Tuturnya lirih secara implisit isakan pilu terdengar. Bahunya terasa sakit akibat pukulan benda tumpul yang sempurna melengkapi luka di tubuhnya.
"Selama kau kuat." Suara berat dengan sedikit serak seakan menyambar kalimatnya tadi, praktis membuat Renata mencari sumber suara.
"Kamu siapa?!" Ia berdecak sebal kala sebuah apel hijau terlempar mengenai kepalanya.
Samar-samar terdengar suara pantofel yang beradu dengan lantai. Perlahan, secercah cahaya memperjelas pandangannya, tidak, ini seperti sensasi saat ia mengenakan kacamata kesayangannya. Penglihatannya yang memburam kini semakin jelas. Netranya menangkap sesosok pemuda bertubuh tinggi, bahunya tegap lengkap bersama rahang tegasnya. Pemuda itu berjongkok menyesuaikan tinggi Renata guna memasangkan sebuah kacamata.
Pupil zamrud Renata tak sengaja bersinggungan dengan manik pemuda tersebut. Dapat ia lihat bias cahaya yang memantul dari mata setenang lautan, irisnya biru seperti langit cerah tanpa awan. Kulitnya putih pucat, namun entah mengapa nampak sehat. Hidungnya mancung, bibirnya sempurna seperti sebuah ukiran karya Yang Kuasa. Surai jelaganya berkibar terlihat lembut bila di usap.
Renata melongo, kelopaknya seakan enggan untuk berkedip.
Tanpa ia sadari pemuda itu telah menempatkan diri disampingnya.
"Makan tuh apel lo." Celetuknya, membuyarkan lamunan Renata.
Renata memandangi apel yang diberikan tadi dengan ujung matanya, seakan menaruh curiga.
"Ngapa?'' Ujar pemuda yang tengah mengunyah apel lainnya.
"Aneh," jawab Renata.
"Aneh gimana?" Sahut pemuda apel tersebut tanpa memandangnya.
"Kita tidak pernah saling mengenal, bertegur sapa, tapi kamu kasih aku kacamata, bahkan berbicara dan saling mengen-"
Kalimat panjang yang terlontar begitu saja di jeda oleh pemuda itu. "Maleo, Maleo Javares." Hal yang sontak membuat Renata bungkam bagai tak ada lagi kata yang dapat ia pilah.
Maleo menyodorkan telepon genggam pribadinya, Renata memandangnya dengan dua bola zamrud yang melotot, jantungnya berdegup kencang. Ia sontak mendongak, memandang pemuda dengan rambut belah tengah yang tertata rapi, Renata bertaruh dia menggunakan gel, Renata memandangnya seakan berkata: kamu--apa-apaan!
Maleo tertawa kecil, lantas membuat gesture, 'Minta nomor lo'.
Renata menggeleng. Maleo mengernyit.
"Kenapa?"
"Ga boleh." Tolak Renata mentah-mentah.
Maleo mengangguk, kemudian melenggang, tangganya ia masukkan kedalam kantung saku celananya yang agak kusut.
Renata hanya menggelengkan kepalanya, setelahnya menghela lega. Untung Maleo tak sadar bahwa kedatangannya membuat Renata merinding, menahan napasnya, hingga pasokan oksigen tak tersuplai dengan baik jikalau Maleo terus memaksa berbincang dengannya lebih lama dari ini.
Renata memandangi apel hijau yang berada di pangkuannya, hasrat ingin tahu menyeruak, karena ini kali pertamanya melihat apel hijau secara nyata. Biasanya hanya apel merah yang sanggup ia beli dan beredar di pasar-pasar dekat apartemennya.
Kalau hijau...Ia tidak terlalu familier.
"DIMAKAN APELNYA!" Suara keras membuat Renata terhenyak, ia mengadah memandang Maleo yang duduk manis di atas genting bangunan gudang seraya menyingsingkan seutas seringai. Mengundang senyum yang merekah di wajah kusam Renata, dan praktis mengukir lesung pipi yang sayang untuk dilewatkan.
"Gue gak kasih racun kok!" Tambah Maleo dari atas seraya mengibaskan tangannya ke kanan maupun kiri, nampak santai.
Renata terhibur akan hal itu. Hal kecil tapi memiliki pengaruh dua kali lipat dari nilai bagus.
"Iya." Lirihnya mengiyakan.
•
•
•
...----------------...
...Dear Diary...
...Who's him? However, he's my savior....
...-22.03.24...
...R...
Renata menutup catatan kecil yang menjadi atensi utamanya malam ini, ia meregangkan otot-ototnya sejenak kala rasa pegal melanda gadis berumur tuju belasan tersebut. Ia telah menutup rapat-rapat pintu. Netra emeraldnya mengedar, menangkap gorden yang tertutup lalu membukanya. Dari sana, ia dapat melihat gedung pencakar langit yang menjulang tinggi diantara hiruk pikuknya Ibu Kota yang padat. Asap kendaraan tersamarkan seiring larutnya malam.
Renata beralih menatap kacamata berlensa bulat pemberian pemuda apel bernama Maleo yang satu itu. Ia tersenyum mengingatnya, lalu bertekad untuk mengembalikannya besok, karena ia dapat memakai kacamata ibunya yang dulu.
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...