Shinkai. Sosok lelaki berusia 25 tahun. Ia tinggal di sebuah rumah sewa yang terletak tepat di sebelah toko bunga tempat ia berada saat ini. Toko bunga itu sendiri merupakan milik dari seorang wanita single parent yang biasa dipanggil bu Dyn dan memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun. Adapun keponakannya, tinggal bersamanya yang seringkali diganggu oleh Shinkai itu bernama Aimee. Ia setahun lebih tua dibanding Shinkai. Karena bertetangga dan sering membantu bu Dyn. Shinkai sangat dekat dengan keluarga itu. Bahkan sudah seperti keluarga sendiri.
Novel ini memiliki genre action komedi yang memadukan adegan lucu yang bikin tertawa lepas, serta adegan seru yang menegangkan dari aksi para tokoh. Adapun part tertentu yang membuat air mata mengalir deras. Novel ini akan mengaduk perasaan pembaca karena ceritanya yang menarik.
Yuk, baca kisah lengkap Shinkai dengan aksi kerennya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 18
Aimee masuk ke toko bunga sambil memasang pakaian hangat. Dini hari tadi, ia terkena flu karena bergadang untuk melukis vas kaca lagi. Ia mendengar suara langkah. Saat hadap belakang, ternyata itu adalah Shinkai yang berjalan buru-buru sambil sesekali melihat kantong plastik yang ia tenteng.
“Minggir, nanti mencair!” seru Shinkai kepada Aimee.
Shinkai berhenti saat berada di samping May yang sedang menyiram bunga, “May, kau mau es potong?”
May menoleh, sekaligus melihat ada Aimee di dekat pintu.
“Apakah kau gila, hanya seorang penculik yang akan memberikan anak kecil es potong di pagi buta.”
Padahal kemarin dia memakannya lebih pagi dari ini. Gumam Shinkai dalam hati.
“Apa kau tidak lihat mentari yang mulai meninggi itu, bocah?” tegas Shinkai menunjuk ke arah matahari,
“Hanya om-om asing pengangguran yang akan menawarkan anak kecil es potong sebelum sarapan.”
Aimee masih belum bergerak, lebih fokus dengan hidungnya yang meler sambil meraih tisu di saku baju.
Shinkai mulai jengkel.,“Baiklah, jika kau tak mau maka aku akan memakannya.”
Sedikit lagi es potong itu sampai ke mulut Shinkai, “HANYA PENJAHAT KELAS TERI YANG AKAN MEMAKAN JATAH ES POTONG ANAK KECIL!” May merebut es potong itu dan menendang Shinkai sampai jatuh.
“Bagus, waktu pagi memang paling bagus untuk olahraga.” Masih dalam posisi tengkurap, Shinkai mengacungkan jari jempol.
Dalam sekejap, May melahap es potong seperti balita. Di sisi lain, Aimee berdiri di dekat Shinkai yang belum bangkit. Pemuda itu menengok gadis yang tampak seperti raksasa itu.
“Kau memberikan es potong khusus untuk May. Lelaki busuk, kamu pasti ingin membuat dia berutang budi,” timpal Aimee.
“Itu kembalian untuk sabun mandi yang aku beli,” jawab Shinkai.
Pengintaian kemarin tidak membuahkan hasil. Kecuali fakta bahwa May sangat menyukai es potong. Tidak lebih penting dari Shinkai yang sangat menyukai buah pir. Meskipun demikian, Shinkai masih penasaran dengan cairan bening yang dipegang May di rumah pohon. Awalnya, mereka berencana untuk masuk ke rumah pohon dan melihat dalamnya. Namun, May mengunci pintunya dan jendelanya terlalu kecil untuk pemuda setinggi Shinkai dan Taza. Sehingga, mereka memutuskan untuk menunda pengintaian sampai terjadi sesuatu yang aneh lagi.
“May, apakah kau bisa membuat parfum mawar biru lagi? Kemarin sudah habis,” pinta Aimee.
Saat menoleh, spontan Aimee dan Shinkai tertawa karena sekitar mulut May yang coklat karena es potong.
Aimee mengelap mulut May seperti sosok kakak kepada adiknya. Pemandangan yang membuat Shinkai tersenyum kagum. Teringat akan keduanya yang mungkin bernasib sama. Sekalipun ia tidak mengetahui latar belakang May. Namun, Shinkai merasa bahwa May dan Aimee sama-sama melalui banyak rasa kesepian selama ini. Aimee sendiri adalah anak yatim-piatu sejak balita. Ia dioper sana-sini karena tidak ada yang sanggup untuk merawatnya. Sampai pada akhirnya, bu Dyn yang kesulitan memiliki anak itu merawatnya. Neptune lahir setelah penantian panjang bu Dyn dan Tevy selama belasan tahun. Walaupun demikian, Aimee tidak pernah merasa dibedakan. Ia menemukan keluarga yang sempurna di tempat itu. Sekalipun sesekali tidak dapat dipungkiri bahwa Aimee merindukan kedua orang tua kandungnya.
Mata kesepian yang kadang ditampakkan Aimee, ia melihatnya juga oleh Shinkai pada May.
“Menjijikkan!” ketus Aimee.
“Dia seperti om-om mata keranjang,” timpal May.
Sebuah pemandangan yang membuat Shinkai tidak dapat membenam ekspresinya. Tanpa sadar, Aimee dan May melihat itu.
“Ya ampun, tidakkah cukup aku dikelilingi para wanita barbar?”
___ ___ ___
Untuk, Shinkai
Kau tidak perlu bertanya tentang siapa gerangan diriku. Anggap saja aku bunga soka yang berbicara. Kau sudah lama tidak membaca, bukan? Aku harap kau masih bisa membaca. Karena aku tahu, daya ingatmu seperti kakek di tempat tambang itu. Makanya kau sangat akrab dengannya. Kau suka meninggalkan rumahmu hingga berbulan-bulan dan menjadi kotor seperti kandang ayam. Datanglah ke taman bunga soka nanti malam. Letaknya ada di dekat kampong Ilalang Pendek. Jika tidak, maka aku akan menyerang orang-orang berharga di sekitarmu.
Shinkai mengembuskan napas berat, “Isi surat ini berniat untuk mengancam atau mengejekku, hah. Lagipula, meninggalkan rumah sampai sekotor kandang ayam itu kebiasaan Taza.”
Ketika di perjalanan menuju tempat tambang, datang seorang anak sebaya Neptune yang memberikan Shinkai surat. Anak itu mengaku dimintai oleh orang asing untuk memberikannya ke Shinkai. Sekalipun surat itu berisi ancaman, Shinkai tidak merasa harus waspada. Terlebih isinya lebih banyak membahas ejekan terhadap Shinkai.
Setibanya di lokasi, kakek Haru langsung melambai pada Shinkai. Pada jarak beberapa meter, terlihat para pasukan Gloine tengah menikmati sarapan, sambil sesekali memantau para pekerja. Shinkai melirik tajam ke arah pasukan itu.
“kertas apa itu? kau ikut lomba baca puisi?” tanya kakek Haru.
“Ah, tidak. ini hanya catatan tak penting.”
“Kenapa kau memilih membawa catatan tidak penting daripada ikut lomba puisi? Kau tahu, Nine sedang berlatih di rumah. ia akan ikut lomba yang diselenggarakan di kampong Tanduk Lebah. Hadiahnya adalah berlian warna langka yang jarang sekali ditemukan. Harganya juga sangat mahal dan gemar dikoleksi para bangsawan,” jelas kakek Haru.
Seketika Shinkai mengingat May di rumah pohon. Mungkin itu sebabnya gadis itu tiba-tiba membaca puisi.
Sudah ada 8 orang penambang yang berada di lokasi. Semua sudah sembuh dari luka-luka akibat serangan dari orang-orang misterius itu. kini, mereka tak perlu khawatir untuk kembali bekerja karena masih ada pasukan Gloine yang berjaga. Sekalipun tidak sedikit dari mereka yang bergumam bahwa pasukan itu tidak tampak sedang berjaga. Atau lebih tepatnya karena teror itu sudah lama tidak terlihat lagi.
Butuh waktu sekitar belasan menit lagi hingga tanah dan bebatuan penambangan berlian itu tumbuh utuh lagi. Sehingga masih ada waktu untuk bersantai beberapa saat sampai pekerjaan dimulai.
“Hei, Shin. Apakah aku terlihat semakin tua?” kakek Haru bertanya.
“Tidak.”
“Kau membahas aku yang beberapa hari yang lalu. Aku membahas tentang diriku yang sudah bertahun-tahun sejak pertama kali kau temui. Apakah matamu sama rabunnya denganku, hah?”
“Mungkin, iya. Semua orang akan menua dalam beberapa tahun.”
“Jangan mempermainkanku. Kau tumbuh lebih tinggi dibanding saat pertama kali bertemu denganmu.”
“Karena aku masih muda, Kakek Haru.”
“Kapan kau akan menua, heh?”
“Mungkin 30-an tahun lagi.”
“Kau selalu saja menggunakan kemungkinan. Sudah jelas otakmu cepat sekali menua. Berapa lama lagi aku bisa merawat Nine!”
Shinkai terdiam sesaat. Pria tua itu memang sangat menyebalkan. Namun ia dapat melihat ketakutan besar yang menghadang di dekatnya. Tentang bagaimana kelanjutkan hidup sang cucu jika ia sudah tidak ada di dunia. Bagaimana tidak. Usianya terpaut jauh sekali dengan sang cucu.
“Umur itu rahasia Tuhan, kakek. Aku tidak punya kuasa akan hal itu.”
“Lalu, bagaimana dengan kerutan pada wajahku? Apakah sama dengan kerutan dalam otakmu? Jika iya, siapa yang lebih mati? Kau mau mendahuluiku, hah? Kalau tidak bisa menjaga Nine, untuk apa kau hidup pemuda pikun!” seru kakek Haru tiba-tiba dengan sangat membara.
Suara yang membuat Shinkai terperanjat kaget. Bukan karena ia dibentak tiba-tiba, melainkan karena suasana hati kakek Haru yang tidak terkontrol. Ia seperti memendam beban berat selama ini. Namun ia tak tahu cara menuangkannya. Sehingga ia mengucapkan apa saja yang bisa ia keluarkan pada Shinkai.
Satu hal yang Shinkai pahami. Kakek Haru hanya sedang memikirkan yang terbaik untuk Nine, cucunya.
“Benar. Aku pemuda yang penuh dengan marahabaya. Entah bagaimana aku bisa menjaga seorang anak kecil. Bahkan kemungkinan setiap serangan tempo hari adalah karena kehadiranku bersama kalian. Jaga kesehatanmu untuk Nine.”
“Tidak sopan sekali kau memerintah orang tua. Dasar pemuda jomlo. Jika tidak sudi menjaga cucuku, ajarkan aku bertarung sepertimu!”
“Eh? Tapi, kau hanya perlu menjaga kesehatan untuk melindungi Nine.”
“Apa kau pikir ototku sudah tidak kuat lagi, heh?”
“Bukan begitu. Bukan juga maksudku tidak sudi menjaga Nine. Aku, aku hanya takut jika dekat dengannya membuat bahaya itu justru datang.”
“Hanya karena kau adalah pemberontak ganas pada Tragedi Darah Soka?”
“Iya, tapi kau tidak bisa bilang kalau itu hanya. Itu… eh? Apa kau bilang, kakek Haru?” Shinkai memastikan bahwa ia tidak salah dengar perihal kakek Haru yang menyebut Tragedi Darah Soka.
Lengang sejenak. Shinkai menunduk. Lantas dengan ragu melirik kakek Haru.
“Aku tahu kau berada di tengah-tengah tragedi yang membunuh kedua orang tua Nine.”
Jantung Shinkai berdegup kencang. Orang kedua yang tidak ia sangka telah mengetahui identitasnya setelah paman Jim. Ternyata orang tua yang tampak polos dan menyebalkan, yakni kakek Haru.
“Aku juga tahu bahwa kemungkinan sekutumu yang membunuhnya. Bahkan bisa jadi kau yang tanpa sengaja karena sedang pada posisi bunuh-membunuh. Aku sudah membencimu sejak awal, Shin,” jelas kakek Haru.