Maya Elina Putri dan Mila Evana Putri adalah sepasang anak kembar yang meski lahir dari rahim yang sama, memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Maya dengan kecerdasannya dan Mila dengan kenakalanya. Kedua orang tua mereka seringkali membedakan Mereka Berdua. Maya selalu mendapatkan pujian, sementara Mila lebih selalu mendapatkan teguran. Namun ikatan mereka sebagai saudara kembar tetap kuat. Mereka saling menyayangi dan selalu mendukung satu sama lain.
Arga, kapten tim basket di sekolah mereka, adalah sahabat dekat Mila. Mila secara diam-diam menyimpan perasaan lebih kepada Arga, tetapi ia tak pernah berani mengungkapkannya. Ketika Arga mulai menunjukkan ketertarikan pada Maya, hati Mila hancur. Arga memilih Maya, meyakini bahwa hubungannya dengan Mila hanyalah sebatas persahabatan. Hal ini membuat Mila merasa dikhianati oleh takdir, apalagi ketika Maya dan Arga resmi berpacaran. Luka di hati Mila semakin dalam, dan dia mulai menaik diri dari Maya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laura Putri Lestari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perbedaan Yang Kian Nyata
Pagi itu, udara dingin menyapa Kota Bandung. Kabut tipis masih menyelimuti puncak-puncak gunung yang mengelilingi kota, memberikan nuansa sejuk yang menenangkan. Di sebuah rumah megah dengan taman yang asri, suara dentingan sendok dan garpu terdengar dari ruang makan. Keluarga Putri sedang sarapan bersama. Ayah dan ibu tampak sibuk dengan koran dan ponsel mereka, sementara di sisi lain meja, dua sosok kembar tengah duduk dengan sikap yang sangat kontras.
Maya Elina Putri, dengan rambut panjang yang diikat rapi, mengenakan seragam sekolah yang disetrika sempurna. Senyumnya lembut saat ia menyeruput teh hijau hangat dari cangkir porselen. Di depannya, buku catatan kecil terbuka, berisi jadwal pelajaran dan daftar tugas yang akan ia selesaikan hari itu. Maya adalah siswa teladan, cerdas, sopan, dan anggun—sosok yang sempurna di mata orang tuanya. Kecintaannya pada alam, terutama gunung, selalu membawa kebanggaan bagi keluarga. Setiap akhir pekan, Maya sering mendaki gunung bersama komunitasnya, menikmati udara segar dan pemandangan yang menakjubkan.
Di sisi lain meja, Mila Evana Putri tampak asyik memainkan ponselnya, sesekali menyuap nasi goreng dengan tangan kiri. Rambut pendeknya yang sedikit acak-acakan, seragam sekolah yang tidak rapi, dan gelang kulit yang melingkar di pergelangan tangannya jelas menunjukkan gaya tomboynya. Mila berbeda jauh dari Maya. Bukan hanya dalam penampilan, tetapi juga dalam kepribadian. Ia lebih suka mengenakan jaket kulit daripada blazer sekolah, dan sepatu kets daripada sepatu pantofel. Meski pintar dalam olahraga, Mila tidak terlalu menonjol dalam akademik. Ia sering terlibat dalam perkelahian, terutama saat membela teman-temannya di sekolah. Namun, meski terkenal keras kepala, Mila memiliki kelembutan hati yang hanya diketahui oleh orang-orang terdekatnya.
"Mil ayo berangkat" Mila menganggu lalu bangit dari duduknya berjalan ke arah perkarangan rumahnya tanpa menyapa kedua orang tuanya. iyap itulah yang terjadi setiap hari antara Mila dan kedua orang tuanya.
Suara deru motor gede (moge) menggelegar di halaman rumah keluarga Wijaya. Mila, dengan jaket kulit hitam dan helm full-face, menyalakan mesin motornya dengan cekatan. Di belakangnya, kembarannya, sedang merapikan rok seragamnya dan menunggu dengan tenang.
“Lo udah siap, May?” tanya Mila tanpa menoleh, suaranya terdengar jelas meskipun deru mesin moge cukup keras.
Maya mengangguk dan dengan luwes menaiki motor di belakang Mila. "Siap, Mil. Ayo, kita berangkat," balasnya sambil memeluk pinggang Mila.
Perjalanan ke sekolah selalu menjadi momen yang dinanti-nanti oleh keduanya. Meski mereka begitu berbeda, momen-momen kecil seperti ini masih mampu menyatukan mereka. Mila dengan penuh percaya diri menembus jalanan, menghindari kendaraan lain dengan kecepatan tinggi. Sementara itu, Maya menikmati pemandangan, memikirkan hari itu yang penuh dengan rasa cemas dan harap.
Hari ini adalah hari pembagian raport ujian tengah semester mereka. Maya, seperti biasa, merasa optimis dengan hasil ujiannya. Dia sudah berusaha keras, mempersiapkan diri dengan matang, dan yakin akan hasilnya. Sebaliknya, Mila, yang tidak begitu peduli dengan pelajaran, hanya bisa merasa was-was. Meski mereka berada di kelas yang sama, yaitu kelas IPA, Mila tak pernah benar-benar memahami alasan mengapa dia ditempatkan di sana. Baginya, kelas IPA adalah labirin yang membingungkan, penuh dengan rumus dan teori yang hanya membuatnya pusing.
Sesampainya di sekolah, Mila dan Maya turun dari motor dengan gaya yang khas. Mila dengan langkah yang cepat dan tegas, sedangkan Maya lebih anggun dan tenang. Sekilas, teman-teman mereka selalu menganggap keduanya sebagai kombinasi yang aneh, namun tak bisa dipungkiri bahwa keduanya menarik perhatian.
Di dalam kelas, suasana tegang terasa jelas. Semua murid menunggu giliran mereka dipanggil untuk mengambil raport. Maya duduk di sebelah Mila, menatap ke depan dengan tenang, sementara Mila lebih terlihat gelisah, memain-mainkan ujung jaket kulitnya.
“Mila Evana Putri,” panggil wali kelas mereka.
Mila menelan ludah dan berjalan ke depan kelas. Ia bisa merasakan tatapan penuh harap dari teman-temannya yang lain, seolah-olah mereka tahu apa yang akan terjadi.
Wali kelas menyerahkan raport itu dengan senyum simpatik. “Mila, kamu perlu lebih giat belajar. Saya tahu kamu bisa lebih baik dari ini.”
Mila hanya mengangguk, mengambil raportnya tanpa sepatah kata pun. Ketika dia membuka lembaran itu di bangkunya, rasa kecewa dan frustrasi segera menyergap. Nilai-nilainya anjlok. Hampir semua mata pelajaran yang ada di raport itu diwarnai angka merah. Mila merasakan dadanya sesak. Tidak ada kejutan di sini, tapi tetap saja, melihat kenyataan itu di atas kertas membuatnya merasa gagal.
“Gimana, Mil?” tanya Maya dengan nada lembut ketika Mila kembali duduk.
Mila hanya mengangkat bahu. “Gak usah dibahas, May,” jawabnya singkat, mencoba menahan emosinya.
Kemudian, giliran Maya dipanggil. Dengan langkah mantap, Maya menuju meja wali kelas dan menerima raportnya. Seperti yang diduga, nilai-nilainya cemerlang. Senyum bangga terlihat di wajahnya saat dia kembali duduk di sebelah Mila.
“Nilaimu bagus, kan?” tanya Mila, meski ia sudah tahu jawabannya.
Maya mengangguk pelan, lalu menatap Mila dengan penuh perhatian. “Nilai bukan segalanya, Mil. Kita bisa cari cara biar kamu bisa lebih baik di semester depan.”
Namun, Mila hanya tersenyum kecut. Kata-kata Maya terdengar seperti klise yang tidak bisa menghapus rasa kecewa dan marah yang menggelegak di dalam dirinya.
kamu berhak bahagia meskipun bukan dgn keluarga, sodara dan sahabat pasti akan ada orang diluaran sana yg tulus menyayangi kamu mil...