Valda yang saat itu masih SD, jatuh cinta kepada teman dari perumahan seberang yang bernama Dera. Valda, dibantu teman-temannya, menyatakan perasaan kepada Dera di depan rumah Dera. Pernyataan cinta Valda ditolak mentah-mentah, hubungan antara mereka berdua pun menjadi renggang dan canggung. Kisah pun berlanjut, mengantarkan pada episode lain hidupnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achmad Aditya Avery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Who’s Believe That?
Membaca pesan itu membuatku tersentak dan benar-benar merasa bersalah. Apa yang sebaiknya dilakukan setelah ini? Mencoba menarik napas dan mengatakan yang sebenarnya. Mengatakan bahwa aku menyukainya. Dia pun membalasnya.
Rasanya kita harus ketemuan.
Sudah diduga, memang begini seharusnya. Kuputuskan untuk bertanggung jawab dan mengajaknya ketemuan di sekolah setelah selesai latihan karate bersama adik. Saat itu pergi bersama seorang teman juga, Tata. Dia menginap di rumah untuk sementara waktu karena ada beberapa masalah yang membuatnya tidak bisa tinggal di asrama.
Saat selesai latihan karate, dengan cemas berulang kali melihat handphone ini. Tidak ada satu pun balasan darinya. Mencoba telepon tapi tidak diangkat.
Mengirim SMS tetap saja tidak dibalas. Kepada nomornya yang lama juga sama saja hasilnya. Setelah menunggu cukup lama, SMS dariku akhirnya mendapat balasan.
Ini siapa ya?
Ini Valda, ini Ferafina kan?
Bukan, ini Joni.
Melihat itu pikiran ini rasanya terpecah-pecah. Kok bisa? Joni?
Mencoba berpikir positif, mungkin dia sedang tidak ada pulsa dan sekarang sudah di perjalanan menuju sekolah lalu nomor yang digunakan sebelumnya adalah nomor temannya atau mungkin saudaranya. Mungkin juga bapaknya?
Sepertinya harus segera sampai di sekolah untuk menyatakan semua ini. Kebetulan hari ini adalah hari Minggu, setidaknya menyatakan perasaan tidak terlalu malu karena kemungkinan akan sepi.
Setelah beberapa menit, akhirnya sampai juga di sekolah. Jika bukan karena hal ini, mungkin tidak akan turun dari angkot dan langsung melanjutkan perjalanan ke rumah. Panas banget soalnya hari ini.
Hati ini masih terus dipenuhi tanya. Jika tidak memastikan semua, mungkin saja tidak akan bisa tenang. Namun sudah beberapa menit menunggu, SMS tidak juga dibalas. Telepon masih tidak diangkat. Akhirnya terpaksalah pulang ke rumah dengan hati yang cukup kecewa.
Sore harinya, lagi-lagi memberanikan diri menelepon nomor yang tadi bernama Joni. Kaget banget, yang mengangkat telepon adalah seorang pria dan dia mengaku ayahnya Ferafina. Asli takut, bingung, cemas, penasaran, semua campur aduk, diblender, jadilah jus.
Just fine, I think. Just kidding, this feeling?
Langsung saja saat itu juga minta maaf dan menutup telepon karena sudah berbicara yang lumayan aneh. Malam harinya aku menelepon Ferafina dengan nomornya yang lama. Saat itu,salahnya juga terus-menerus mengirim permintaan maaf lewat SMS dan menanyakan kejadian-kejadian yang aku terima hari ini.
Rasanya saat itu benar-benar lelah karena begitu banyak pikiran, pergi ke tempat tidur dan mencoba berbaring. Ketika ingin tidur, handphone bergetar, tanda SMS masuk. Langsung kaget ketika melihat SMS itu ternyata dari Ferafina. Segera kubuka SMS itu sambil memejamkan mata, sungguh tidak berani melihatnya secara langsung.
Who’s believe that?
SMS yang terkesan singkat tapi benar-benar membuat bingung. Tidak! Bukan karena tidak bisa bahasa Inggris. Kali ini aku mengerti arti SMS itu.
Itulah yang bikin bingung. Aku mencoba menjelaskan dari awal kepada Ferafina tentang kejadian-kejadian yang hari ini aku lalui. Lalu dia membalasnya.
I don’t care about you.
Mendengar itu, jantung seakan-akan ketiban sesuatu yang berat dan membuatku sulit bernapas. Begini amat ya, boro-boro bisa tidur begini sih. Segera juga minta maaf. Namun, dia tidak membalas SMS lagi. Langsung saja kulempar handphone ke sembarang arah, masih di kasur tentunya. Rasanya benar-benar tidak ingin ada di sekolah besok. Benar-benar tidak sanggup berhadapan dengannya besok.
Keesokan harinya, rasanya ingin kembali tidur lagi bahkan ingin sekali pindah sekolah. Sebagai pria tulen, tetaplah menghadapi hari ini, sambil gemetaran. Semoga hari ini berlalu dengan cepat.
Di kelas, mata ini langsung auto pilot saat Ferafina datang. Aku diam dan tidak dapat berkata apa pun kepadanya.
Bodohnya aku menceritakan semua kepada teman-temanku termasuk Riz. Mereka turut bersimpati. Ya, memang ini musibah sih. Semoga mulut mereka tidak seperti ember bocor.
Sedikit lega saat bercerita. Mereka selalu membuat kisah sedih menjadi bahan tertawaan. Hari berganti hari, jarak kami benar-benar makin menjauh akibat peristiwa itu. Aku merasa untuk kedua kalinya kehilangan seorang teman yang membawa kebahagiaan hanya karena satu perasaan.
Aku putuskan untuk tetap memiliki perasaan ini entah sampai kapan. Mungkin seseorang akan turut andil menggantikannya. Ya, sampai saat itu tiba, rasanya aku masih ingin memiliki perasaan ini walaupun tidak mungkin terbalas.
Saat istirahat tiba, tidak sengaja berhadapan dengan Ferafina. Saat itu teman-temanku sedang berkumpul. Aga yang konyol saat itu menggoda Ferafina, “Ferafina, itu Valda, suka sama kamu!” Sialan kau! Dasar ember bocor! Wajah ini mau ditaruh di mana?
“Apa yang harus aku jawab?” tanya sekaligus jawaban dari Ferafina dengan nada yang teramat lembut.
Aku pikir, apa mungkin dia sudah melupakan tentang peristiwa yang lalu. Hati ini sedikit lega mendengarnya. Ferafina kembali berbicara meskipun hanya satu kalimat. Riz mendengar itu. Bukan! Bukan hanya Riz tapi hampir semua temanku mendengar itu.
Suatu hari adalah hari ulang tahun Ferafina. Seharusnya ini menjadi momen yang menyenangkan untukku. Setidaknya bisa sedikit dekat dengannya kembali. Namun,yang terjadi saat ini adalah perasaan sesak yang menggerogoti dada.
Saat Ferafina menceritakan seseorang yang datang memberikan kejutan di ulang tahunnya kepada teman-teman di kelas. Ini sungguh menyiksa, asli.
Cuma bisa duduk sambil menutup wajah, mengambil earphone, mendengar lagu galau. Bodoh memang, mencoba mengobati kegalauan dengan lagu galau, ibarat kepala pusing malah dijedotin ke tembok.
Apa harus menyerah? Ya, dari awal memang sudah tidak mungkin sih. Mungkin sudah saatnya membunuh perasaan ini.
Suatu hari, seorang perempuan yang tidak aku kenal tiba-tiba mengirim SMS. Saat itu dia berniat untuk kenalan. Ya dipikir-pikir, tidak ada masalah. Ya! Sekadar kenalan.
Dalam waktu yang amat singkat, kami mulai akrab meskipun hanya lewat SMS. Permasalahan yang fatal terjadi ketika sedang menunggu pengumuman pemenang kompetisi band.
Oh ya, aku lupa memberi tahu ini, AVEOBA kembali mengikuti sebuah kompetisi band yang diadakan di sebuah mal di Tangerang. Saat kami tampil, sepertinya kami mendapat penggemar dadakan. Dua perempuan yang amat sangat antusias mengikuti setiap lagu yang dinyanyikan, bernyanyi dan bertepuk tangan.
Hah! Indahnya saat itu, rasanya bersyukur menjadi seorang vokalis. Salah satu perempuan itu tersenyum saat aku bilang ‘terima kasih’ kepadanya. Tentu kubalas senyumnya, sepertinya hanya aku yang menyadari hal itu. Eka, Erdy, dan Amda sepertinya tidak sadar jika penampilan kali ini memang didominasi peran kedua penonton perempuan itu.
Saat pengumuman pemenang, hanya aku dan Osa yang datang. Kami berdua menunggu di sana cukup lama. Saat itu aku sedang sibuk SMS-an dengan seorang perempuan yang tidak diketahui asal-usulnya.
Kami berkenalan lewat SMS beberapa hari yang lalu. Perempuan itu mulai menunjukkan sikap yang aneh dan benar-benar tidak terduga. Dia ingin menjadi pacarku. Apa dia bercanda? Kami bahkan tidak pernah bertemu, dari mana datangnya perasaan suka yang dia rasakan itu?
Saat itu aku tidak membalas SMS darinya. Masih bingung dengan apa yang akan aku katakan. Namun, beberapa saat kemudian dia memanggilku ‘Sayang’.
Apa-apaan ini? Aku bahkan belum berkata apa pun. Mencoba menghentikan percakapan ini. Namun, justru makin parah, makin lama dia menjadi makin aneh. Dia mengajakku menginap di hotel. Aku mulai mengambil kesimpulan bahwa dia bukan perempuan yang benar.
Aku minta tolong pada Ena untuk memastikan siapa sebenarnya perempuan itu. Aku memberikan nomor perempuan tersebut kepada Ena, kemudian dia meneleponnya. Ena berkata, saat dia menelepon perempuan itu, ternyata dia sedang melakukan sesuatu yang bersifat “dewasa”. Tidak sanggup mendengarnya. Cukup sudah, tidak lagi mengirim SMS apa pun pada perempuan itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...