DALAM TAHAP REVISI TANDA BACA
Jangan lupa follow IG Author : tiwie_sizo08
Karena insiden yang tak diinginkan, Zaya terpaksa harus mengandung benih dari seorang Aaron Brylee, pewaris tunggal Brylee Group.
Tak ingin darah dagingnya lahir sebagai anak haram, Aaron pun memutuskan untuk menikahi Zaya yang notabenenya hanyalah seorang gadis yatim piatu biasa.
Setelah hampir tujuh tahun menikah, rupanya Aaron dan Zaya tak kunjung mejadi dekat satu sama lain. perasaan yang Zaya pendam terhadap Aaron sejak Aaron menikahinya, tetap menjadi perasaan sepihak yang tak pernah terbalaskan, hingga akhirnya Aaron pun memilih untuk menceraikan Zaya.
Tapi siapa sangka setelah berpisah dari Zaya, Aaron justru merasakan perasaan asing yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Jatuh cintakah ia pada Zaya?
Akankah akhirnya Aaron menyadari perasaannya dan kembali bersama Zaya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiwie Sizo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prolog
Zaya menghela nafasnya dalam, mengumpulkan segenap keberanian di dalam dirinya. Tampak ia mengeratkan genggamannya pada kotak kecil yang sedari tadi ia pegang.
Hari ini adalah hari ulang tahun Aaron, lelaki yang menikahinya sudah hampir tujuh tahun ini. Dan ya, saat ini ia tengah mengumpulkan nyali hanya untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun dan memberikan kado untuk suaminya sendiri.
Jangan bilang itu terdengar aneh, karena pada kenyataanya, hubungan mereka berdua memang tidaklah seperti hubungan suami istri pada umumnya. Aaron menikahi Zaya hanya karena tanggung jawab yang harus dia penuhi, tidak lebih. Zaya pun tak pernah berani untuk berharap lebih.
Lalu kini, lagi-lagi Zaya harus berperang dengan batinnya sendiri, antara harus atau tidak untuk menyapa Aaron. Karena bagi Zaya, berbicara tatap muka dengan Aaron adalah hal yang lebih menegangkan ketimbang harus menghadapi ujian saat ia masih bersekolah dulu.
Jantung Zaya mendadak berpacu makin cepat saat Aaron turun dari lantai atas, tempat kamarnya berada. Dengan setelan berwarna navy yang sangat pas membalut tubuhnya dan rambut yang telah disisir rapi, Aaron tampak sempurna seperti biasanya.
Dengan langkah mantap, Aaron berjalan diiringi oleh Dean, asisten pribadinya. Ia berhenti sejenak di dekat meja makan, tempat di mana sedari tadi Zaya menunggunya dengan harap-harap cemas.
"Selamat pagi, Pa," sapa Albern, putra mereka yang telah berusia enam tahun lebih.
"Selamat pagi. Teruskan sarapanmu, Papa akan langsung berangkat ke kantor," jawab Aaron sambil sedikit mengusap pucuk kepala Albern.
"Baik, Pa." Albern menjawab patuh, kemudian melanjutkan sarapannya kembali.
"Apa kamu tidak sarapan dulu?" Zaya akhirnya memberanikan diri membuka suara.
"Tidak," jawab Aaron singkat sambil berlalu, diikuti Dean dari belakang.
Zaya kemudian beranjak dari duduknya dan buru-buru melangkah hendak menyusul Aaron.
"Aaron tunggu ...." Tanpa sadar Zaya memanggil Aaron. Seketika Aaron pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Zaya dengan sedikit mengerutkan alisnya.
"Kenapa?" tanyanya. Datar dan dingin seperti biasa.
"Aku ...." Zaya menghentikan langkahnya tepat di hadapan Aaron, tampak kesulitan merangkai kata-kata.
"Waktumu dua menit," ujar Aaron. "Dan sebaiknya ini hal yang penting," tambah Aaron lagi tepat di saat Zaya hendak mengatakan sesuatu.
Seketika Zaya kembali menutup mulutnya. Tiba-tiba keberanian yang telah ia kumpulkan dengan susah payah tadi menguap entah kemana melihat tatapan mata Aaron yang tajam namun tak terbaca. Zaya pun bimbang apakah ucapan selamat ulang tahun darinya untuk Aaron bisa dibilang penting atau tidak. Pasalnya, Aaron sendiri tidak pernah merayakan hari ulang tahunnya secara pribadi.
"Aku ... aku ...." Entah kenapa sangat sulit bagi Zaya untuk menyusun kata menjadi sebuah kalimat, seakan ia adalah balita yang baru belajar bicara.
Aaron pun menunggu dengan tatapan yang semakin sulit diartikan.
"Tidak, maaf ... ini tidak begitu penting." Zaya akhirnya mengurungkan niatnya. Ia sedikit menundukkan wajahnya untuk menghindari tatapan Aaron.
Terdengar Aaron sedikit menghela nafas dan kembali melanjutkan langkahnya menuju mobil.
"Maaf, Nyonya. Hari ini Tuan sedang ada rapat dengan para pemegang saham, jadi beliau sedang terburu-buru. Saya harap Nyonya bisa memaklumi." Suara Asisten Dean membuat Zaya kembali mengangkat wajahnya, dan ternyata asisten suaminya itu masih berada di hadapannya.
Zaya mengulas senyum canggung.
"Ah iya, tentu saja," jawabnya.
"Kalau begitu, saya permisi, Nyonya. Tuan sudah menunggu," pamit Asisten Dean. Ia pun sedikit membungkukkan tubuhnya hormat kepada Zaya sebelum akhirnya menyusul Aaron masuk ke dalam mobil.
Zaya memandangi mobil suaminya melaju hingga hilang ditelan pepohonan rindang yang tumbuh di sekitaran rumah mereka. Dihelanya nafas dalam dan dipandanginya kotak kecil yang sedari tadi ia sembunyikan dengan satu tangan di belakang tubuhnya. Setelah bertahun-tahun lamanya, tetap saja ia tak punya keberanian untuk sedikit saja menunjukkan perasaanya kepada Aaron, bahkan hanya sekedar memberikan kado dan ucapan selamat ulang tahun sekali pun.
Zaya tersenyum miris dan melangkah kembali masuk ke dalam rumahnya. Dilihatnya Albern telah menyelesaikan sarapannya dan bersiap hendak ke sekolah dibantu sang pengasuh.
"Sayang, sudah siap, ya?" tanya Zaya berbasa-basi.
"Iya, Ma," jawab Albern.
Zaya mendekati Albern dan sedikit membenahi seragam yang dikenakan putranya itu.
"Nanti Mama jemput, oke?" ujar Zaya sambil mengulas senyuman manis.
"Tidak perlu, Ma. Nanti Grandma yang akan jemput Al, Grandma juga yang akan antar Al buat pelajaran tambahan," jawab Albern.
Zaya kembali tersenyum, meski kali ini sedikit dipaksakan.
"Baiklah, sayang. Hati-hati." Zaya akhirnya juga melepas kepergian Albern ke sekolahnya, lagi-lagi dengan helaan nafas.
Bahkan untuk dekat dengan putranya sendiri pun sangat sulit baginya. Karena apa yang dilakukan Albern setiap harinya semua telah diatur oleh seseorang yang Albern panggil Grandma, ibu mertua Zaya. Ya, Aaron memang telah mempercayakan Albern untuk diurus oleh ibunya ketimbang Zaya, ibu kandung Albern sendiri. Sedari Albern bayi, Zaya tidak terlalu dilibatkan dalam mengurus Albern, bahkan Albern lebih sering minum asi yang telah dipompa terlebih dahulu ketimbang menyusu langsung pada Zaya.
Segala kebutuhan Albern telah ada yang mengurusnya tanpa perlu Zaya melakukan apa-apa. Dari mulai memandikan, menyuapi makan dan mengajak bermain. Masing-masing sudah ada yang bertugas melakukan semua itu, dan mereka semua adalah ahli yang bersertifikasi.
Hingga akhirnya Zaya hanya bisa menjadi penonton tanpa bisa ikut andil dalam tumbuh kembang Albern. Zaya sadar, Albern adalah pewaris selanjutnya dari Brylee Group yang harus dididik dengan benar agar bisa mengemban tugas yang diberikan padanya kelak. Itulah sebabnya ia tak pernah protes dengan setiap hal yang diatur Aaron dan ibu mertuanya untuk Albern. Meskipun tak jarang ia menatap Albern dengan berurai airmata dari kejauhan.
Ya. Biar bagaimanapun Zaya tetaplah seorang ibu yang seringkali merindukan putranya. Zaya ingin selalu dekat dengan Albren, ingin memeluk dan mencium Albern seperti yang ibu-ibu lain lakukan pada putranya. Tapi hal sederhana itu sungguh terasa mahal bagi Zaya.
Antara Zaya, Aaron dan Albern, meski mereka hidup satu atap dan berstatus satu keluarga, tapi ada dinding pemisah tak terlihat yang membuat mereka terpisah. Meski dekat, suami dan putranya itu sangat sulit untuk Zaya gapai, seolah mereka hidup berdampingan dalam dunia yang berbeda. Hingga sulit bagi Zaya untuk mendekat meski ia telah berusaha.
Begitulah Zaya setiap harinya, berusaha untuk mendekatkan diri pada suami dan putranya sendiri, meski tetap saja mereka menjadi dua orang yang tak tersentuh oleh Zaya.
Dan kini, sepeninggalan suami dan putranya, Zaya melangkah gontai menaiki tangga menuju kamarnya, meninggalkan sarapan pagi yang belum sempat ia mulai
Zaya memasuki kamarnya dan duduk di meja rias. Tangannya membuka laci paling bawah meja riasnya. Tampak telah ada lima kotak kecil berjajar di dalam laci tersebut. Zaya meletakkan satu lagi di sana. Itu adalah kado ulang tahun yang telah disiapkan Zaya untuk Aaron di tahun-tahun sebelumnya sejak ia menjadi istri lelaki itu, tapi tak pernah ia berikan pada orangnya.
Zaya tak punya cukup keberanian untuk menunjukkan perasaannya pada Aaron. Ia terlalu takut Aaron akan merasa terganggu dan marah padanya. Perasaannya yang dalam pada Aaron membuatnya lemah dan hanya mampu menerima apa pun yang Aaron berikan padanya.
Hampir tujuh tahun sudah Zaya mencintai Aaron dalam diam, berharap suatu hari Aaron akan membalas perasaannya dan mereka menjadi pasangan suami istri yang sesungguhnya. Tapi sejauh ini, Zaya harus menerima kenyataan bahwa baik Aaron maupun Albern, keduanya adalah gunung es yang tidak bisa dicairkan oleh kehangatan Zaya.
Entah sampai kapan Zaya akan memendam perasaannya pada Aaron. Zaya sendiri pun tidak tahu. Baginya, setiap hari bisa melihat kedua malaikatnya itu saja sudah membuatnya bahagia. Dan ia tak membutuhkan yang lain lagi.
Bersambung ....
Hai, semuanya. Ini adalah karya pertama Author. Mohon untuk memberikan kritik dan sarannya, ya. Dan jika berkenan, Author sangat senang kalau ada yang sudi like, koment dan kalau bisa vote juga😅
Jangan lupa favorite sama kasih bintang 5, ya.
Happy reading❤❤❤
jangan sedikit-sedikit marah, menangis 😭 dan Mengabaikan suami.
bisa-bisanya mamanya dikasi. zombie
baru merasa kehilangan ya Aaron
waktu zaya kau menghina dan menyeretnya seperti sampah di rumah mu menyakiti nya di tempat tidur dia tetap memaafkan dan bertahan padamu.
dia tidak meminta hartamu Aaron hanya kasih sayang perhatian atau lebih tepatnya CINTA.
tapi setelah berpisah baru kau merasa kehilangan
masih waras kah Aaron?
karena zaya patut di perjuangkan
seganti g apapun laki-laki kalau tak bisa menghargai ya percuma