"Yah, lelah sekali..." Kakekku menjatuhkan dirinya ke atas sebuah tempat duduk panjang sambil menghembuskan napas lega.
"Menghabisi banyak Monster di usia ini benar-benar menyenangkan..." Kakekku mengambil air yang tersedia di atas meja.
Kami duduk mengelilingi sebuah meja di lantai dua, di ruangan yang kakekku sebut adalah ruangan ketua organisasi Hunter.
Ruangan itu sudah kosong dan ada dua meja, satu meja yang disebut meja kerja dan satu meja untuk bersantai. Kami duduk di kursi untuk meja bersantai.
"Sebenarnya, bagaimana caranya kakek bisa tetap sehat di usia kakek yang tua ini?" Tanyaku sambil melirik pedangnya yang tersarung di sebelahnya.
Kakekku berdiri sambil melepaskan jas hitam panjangnya lalu berkata, "Hanya pola hidup sehat serta selalu bergerak aktif, itulah rahasia kakek bisa bertahan hingga usia tujuh puluh empat tahun."
Sebenarnya, aku sedikit khawatir pada kakekku ini. Ia mengatakan sudah berusia tujuh puluh empat tahun, tetapi fisiknya seperti ayahku sebelum ia meninggal.
Senja hanya diam saja sambil menatap kakekku dengan tatapan seperti penasaran. Yah, menurutku itu wajar saja karena kakekku terlihat misterius di matanya pastinya...
"Jadi, kalian belum menceritakan bagaimana cara kalian bisa bertahan di kota yang penuh Monster ini..." Kakekku memasang wajah serius, "Setidaknya seperempat Monster di sekitar markas SuraBaya sudah kubunuh, jadi pasti masih ada banyak di luar sana..."
Aku dan Senja saling lirik sebelum aku menceritakan semuanya, mulai dari suara keras dan getaran di pagi dua hari lalu, tentangku yang berhasil selamat dari tertimpa pohon, bertemu Senja, berdiam di sebuah rumah bersamanya, bertemu dengan Christo kemarin pagi, pertarungan Christo melawan Monster yang sama dengan yang dilawan kakekku tadi, hingga kami berakhir di markas ini dan bertemu dengan kakekku.
Kakekku menyimak dengan serius dan saat ceritanya sudah mencapai bagian dimana aku menemukan artikel tentangnya, ia memintaku untuk berhenti sejenak sebelum melanjutkan kembali.
Saat ia memintaku berhenti, ia terlihat sedikit sedih dan aku yakin kalau alasannya adalah karena anaknya yang merupakan ayahku tewas karena alasan yang tidak diketahui.
Aku hanya tahu bagian sebuah suara sesuatu yang jatuh terdengar saat di rumahku dan seterusnya, aku tidak melihat ayahku jadi aku menyimpulkan kalau ayahku sudah tewas.
"Jadi, dengan trik apa kalian bisa berani bertarung melawan Monster?" Tanya kakekku.
Aku pun menjelaskan kalau semuanya terasa terjadi secara alami, aku tidak menyadarinya kalau aku berani melawan Monster.
Aku tidak menceritakan tentang beberapa gerakan yang muncul dalam pikiranku karena takutnya, kakekku tidak percaya dengan ceritaku.
"Secara alami, ya?" Kakekku menghela napasnya, terlihat seperti kecewa dengan jawabanku, "Baiklah, apakah ada yang ingin kau sampaikan?"
Aku menggeleng lalu berkata, "Aku tidak ingin menyampaikan apapun, tetapi aku ingin tahu tentang dunia ini..."
***
Untuk sementara, kakekku akan berdiam di markas itu, menjagaku dan Senja dari Monster.
Menurutnya, markas itu dikelilingi oleh banyak Monster kuat dan di kota itu kini, yang bisa menghadapi Monster-Monster itu hanya kakekku saja.
Oh ya, setelah pembicaraan kami tentang dunia, saat ini aku meminta tolong pada kakekku untuk membuka pintu ruangan kerja ayahku.
Menurut catatan yang ditinggalkan ayahku yang kubaca kemarin, ayahku menyimpan senjata apinya di ruang kerja ayahku yang ada di dalam Ruang Penyimpanan. Lokasi ruang kerja yang unik, bukan?
Kakekku menyanggupinya dan saat ini, kami berdiri di depan sebuah pintu yang terbuat dari logam dan tertutup serta dikunci.
Pintu yang dikunci itulah yang menjadi penghambatku dalam menemukan senjata api ayahku. Maklumlah, aku tidak bisa menemukan kuncinya bahkan setelah berkeliling mencarinya di seluruh markas.
Kakekku menarik pedangnya dan mengubah bilah pedangnya menjadi merah menyala. Ia mengangkat pedangnya dan memberikan dua serangan menyilang.
Pintu itu tertebas silang dan bekas tebasannya seperti bekas ditebas dengan api.
"Wow..." Senja masih tidak percaya kalau saat ini, di hadapannya saat ini adalah Hunter rank S terkuat di masanya, yaitu kakekku.
Sejak tadi saja, ia terus terpana melihat aksi kakekku, bahkan saat ini saja, ia membuka mulutnya lebar-lebar, hingga aku khawatir kalau nyamuk bisa saja masuk ke mulutnya saking lebarnya ia membuka mulutnya.
Kakekku mengangkat kakinya dan menendang pintu logam itu hingga pintu logam itu jatuh ke dalam.
Kami masuk dan saat kami melihat seisi ruangan itu, hanya ada satu kata yang terlintas untuk menilai ruangan itu...
"Rapinya..."
Yah, satu meja kerja beserta kursinya ada di ujung ruangan, dua sofa lebar serta satu meja yang di atasnya terdapat satu pot bunga kecil, satu lemari besar yang penuh berisi buku, dan sebuah lemari kaca yang berisi sebuah senjata paling unik yang pernah kakekku lihat seumur hidupnya, begitulah katanya.
Kami berjalan mengelilingi ruangan itu sambil menggeledah ruangan itu, entah apa tujuannya, tapi kakekku yang menyuruhnya, jadi aku dan Senja tak bisa membantah.
Sementara kakekku, ia berjalan ke lemari kaca tempat senjata unik itu disimpan kemudian menarik pedangnya.
"Langit, kurasa senjata si Taru adalah sarung tangan tajam ini..." Ujar kakekku kemudian memejamkan matanya, "Tebasan Membelah Surga..."
Yah, selama dua hari ini, aku melihat Christo dan kakekku mengucapkan kata-kata yang sulit kusebut sebagai kalimat. Kakekku tidak menyinggung itu sebelumnya, jadi aku berencana menanyakannya jika kami sudah berhasil mendapatkan cakar ayahku yang kuingat bernama Cakar Ayam Api.
Kakekku menebas lemari kaca itu dengan Katananya dan saat melihatnya, aku jadi ingat dengan ibuku yang memotong tahu dengan pisau. Apakah semua Hunter sekuat itu? Hingga bisa memotong lemari kaca dengan tebasan biasa, tidak, tebasan yang dilakukan dengan senjata api?
Kakekku memukul lemari kaca itu yang sudah terpotong separuhnya kemudian menarik keluar dua sarung tangan besi yang kesepuluh ujung jari-jarinya tajam. Kakekku membawa sarung tangan itu ke hadapanku.
"Langit, inilah Cakar Ayam Api, cakar yang membuat ayahmu terkenal..." Kakekku memberikan satu padaku dan satunya lagi ia yang memegangnya, "Kakek pinjam satu dulu..."
Aku menerima sarung tangan besi itu dan saat menerimanya, aku bisa merasakan berat yang dimiliki sarung tangan itu.
"Ringan?" Aku sedikit terkejut. Padahal aku mengira kalau senjata api itu berat karena memiliki beberapa bagian rumit di dalamnya, ternyata oh ternyata... Beratnya tidaklah seperti yang kupikirkan.
Kakekku meneliti sarung tangan itu kemudian memakainya. Aku melihat kalau sarung tangan itu cocok dipakai oleh kakekku.
"Hmm, Taru pintar juga dalam merancang senjata, padahal aku tidak ada mengajarkannya ilmu merancang begini..." Gumam kakekku, tetapi aku masih bisa mendengarnya.
"Nah, sekarang kita coba kekuatan penuh cakar ini..." Kakekku menekan satu tombol dan saat ditekan, kelima ujung sarung tangan itu berubah warna dari yang awalnya berwarna merah gelap menjadi merah menyala, menjadi warna besi yang telah dipanaskan lama.
"Mekanismenya berbeda dari senjata api pada umumnya, tapi aku bisa tahu kalau cakar ini amat kuat..." Kakekku menggerakkan jari-jarinya, "Ah, sedikit kaku..."
Aku tidak tahu yang mana yang dimaksudkan kaku oleh kakekku, apakah jarinya sendiri atau jari-jari sarung besinya, tetapi yang pasti, gerakan jari-jarinya perlahan semakin kaku dan sulit digerakkan dengan leluasa.
"Sialan, sendi-sendinya mengkarat, padahal seharusnya senjata api tidak bisa mengkarat. Bagaimana caranya Taru merawat senjata sih?!"
"Eh?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 313 Episodes
Comments
Lone wolf
pas kakeknya bilang bagaimana caranya taru merawat senjata ini gw malah lihat iklan minyak tropical 😂😂
2022-04-01
0
John Singgih
mungkin senjatanya sudah rusak kek karena sudah lama tidak dirawat
2022-03-01
0
nabawi ahmad
top
2022-01-23
1