Benar perkiraan Ambar. Sedetik kemudian setelah Rea dan Feli pergi dengan mobil jemputan masing-masing, para anak kelas dua berhasil mengejar dengan segala properti penembakan yang mereka gunakan.
"Hei gendut, kemana Feli?" tanya Kenzo sebagai pemimpin grup.
"Pulang" jawab Ambar santai lalu berjalan menjauh untuk pulang ke rumahnya yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari sekolah.
"Dasar gendut" kata semua anak kelas dua melihat Ambar berjalan pulang. Kurang ajar sekali mereka, padahal Ambar itu kakak kelas. Tapi dia tidak memiliki wibawa hanya karena menjadi yang paling gendut dan jelek diantara dua sahabatnya. Mau bagaimana lagi, ayah Ambar hanya sopir angkot yang berpenghasilan tidak tetap. Ibunya membuka toko kelontong kecil di depan rumah peninggalan kakek dan nenek yang sudah reot. Ambar juga tidak memiliki rupa cantik. Dia memiliki pipi tembem, berjerawat dan disembunyikan dalam hijab. Belum lagi badan sedikit obesitas untuk tinggi 160 cm. Berdiri di samping Rea dan Feli, membuatnya seperti pelayan daripada seorang sahabat.
Tapi Ambar sudah terbiasa dengan semua ejekan yang harus didengarnya. Tiga tahun bersahabat dengan dua orang dewi sekolah itu membuatnya kebal dengan semua hal yang membuat telinganya panas. Ambar sampai di rumah dengan keringat bercucuran membasahi seragam dan hijabnya.
"Assalamualaikum"
"Waallaikum salam, baru pulang?"
"Iya, Bu"
Ambar pergi ke kamar mandi untuk mencuci kaki dan tangannya lalu melihat makanan di atas meja makan. Hanya ada tempe, tahu goreng dan sayur bayam. Enak, pikirnya. Dia segera mengganti pakaian dan makan siang dengan lahapnya. Meskipun menu rumahnya selalu sederhana, Ambar tidak pernah mengeluh. Hal itulah yang membuatnya memiliki badan sedikit lebih besar.
"Bu, Ambar berangkat dulu ya"
"Lho, sudah jam tiga ya?"
"Iya"
"Ati-ati, nak"
Ambar segera berangkat ke rumah Pak RT dekat rumahnya. Sepulang sekolah dia memang memiliki kegiatan lain untuk mengahsilkan uang. Memberi les pada anak pak RT dan pak RW. Meskipun jelek, gendut dan miskin, setidaknya Ambar memiliki kemampuan otak di atas rata-rata.
Sepulang Ambar dari rumah Pak RT, angkot ayahnya ada di depan rumah. Tumben masih sore ayahnya sudah pulang. Ambar masuk ke dalam rumah dan ingin memberi salam. namun segera diurungkannya setelah mendengar suara dari dalam kamar orang tuanya.
"Assalamualaikum" bisiknya lalu masuk ke dalam rumah. Dia mendekat ke kamar orang tuanya dan mendengar suara itu semakin kencang. Sepertinya orang tuanya tidak tahu kepulangan Ambar.
"Sudah, Pak. Gak apa-apa"
"Bapak gak tau lagi, Bu"
"Terserah Bapak. Angkot mau dijual terus Bapak buka pom bensin mini juga ibu tambah seneng"
"Tapi, gimana sama uang kuliah Ambar?"
Ibu Ambar tidak menjawab, membuat situasi menjadi hening untuk sebentar.
Ambar memilih bergerak untuk masuk ke dalam kamarnya dan termenung di atas ranjang. Setengah tahun lalu, sebenarnya AMbar sudah memutuskan untuk tidak kuliah. Dia bahkan sudah memberikan kabar itu pada orang tuanya. Ayah dan ibunya yang merasa kasihan, memberinya semangat untuk kuliah agar bisa mencari kerja yang lebih baik. Ambar senang sekali diberi kesempatan untuk bermimpi dan mencari Universitas yang menurutnya paling murah di kota. Dia juga sudah memutuskan untuk menabung uang jajan agar bisa membeli buku-buku latihan ujian Universitas. Tapi ... kini? Sepertinya Ambar harus mengubur semua mimpi dan harapan untuk kuliah. Dia tidak mungkin menyusahkan kedua orang tuanya demi bisa kuliah. Hanya saja, harapan untuk mendapatkan pekerjaan di perusahaan besar musnah sudah. Ambar menangis dalam kesunyian kamarnya dan tidak sengaja tertidur.
"Ambar, Nak. Bangun!"
Ambar terbangun dari tidur sorenya yang singkat lalu melihat ibunya.
"Sudah petang, ayo sholat"
Ambar melihat langit berwarna kemerahan di luar jendela kamarnya dan mengangguk.
"Iya, Bu'
Malam itu Ambar hanya terdiam tidak seperti biasanya. Orang tuanya melihat Ambar dengan berbeda saat itu.
Setelah sholat Isya' dengan ibunya, Ambar memberanikan diri untuk bicara.
"Bu"
"Apa nak?" tanya ibunya masih dalam balutan mukena putihnya.
"Ambar gak pengen kuliah"
Sebenarnya berat sekali kata-kata ini keluar dari mulutnya, tapi Ambar tidak memiliki pilihan lain.
"Apa? Lha kan kamu sudah lihat-lihat Universitas minggu kemarin?"
"Ambar gak tertarik lagi, Bu. Ambar pengen kerja kayak tetangga Pak RT. Kakaknya Dimas itu"
"Ratih?"
" Iya"
"Tapi, bapakmu udah cari uang buat kuliah"
Ambar menebak ayahnya akan meminjam uang dari kakaknya yang memiliki usaha mebel itu.
"Gak usah, Bu. Ambar pengen kayak Ratih, cari uang sendiri terus beli baju, tas, sepatu"
Padahal dia tidak pernah sekalipun peduli tentang penampilannya. Berusaha memahami keinginan putrinya, ibu Ambar berusaha mengerti permintaan putrinya yang mendadak itu. Ambar sepertinya serius dengan keinginannya kali ini.
"Bener kamu gak nyesel?"
"Iya, Bu. Tolong bilang bapak ya"
"Ambar ... "
Ambar berhenti lalu melihat ke arah ibunya.
"Makasih ya"
Ambar mengangguk dan pergi ke kamarnya. Dia tidak bisa menahan air matanya lagi dan menangis dengan menutup mulutnya. Semalaman dia hanya menangis lalu tertidur lagi tanpa makan.
Di sekolah, Ambar lebih banyak berdiam diri di dalam kelas. Dia tidak merasa lapar, haus bahkan keinginan untuk bercanda dengan kedua sahabatnya.
"Kamu kenapa Am?" tanya Rea tidak membuatnya tertarik untuk menjawab.
"Iya, Ambar. Kamu kenapa? Aku udah bawain roti sama susu. Apa kamu sakit?" tanya Feli juga terdengar seperti khawatir.
Kadang, Ambar berpikir, betapa enaknya menjadi Rea dan Feli. Keduanya adalah seorang putri di keluarganya. Keluarga yang kaya raya. Rea keluarga terkaya nomor empat dan Feli nomor delapan. Pasti dua sahabatnya itu tidak akan pernah merasakan bimbang hati seperti yang sekarang dialami oleh Ambar. Semua mimpi mereka berdua pasti dengan mudah akan bisa terwujud dengan dukungan keluarga. Sedangkan Ambar?
"Hei, Ambar. kamu kenapa sih?" tanya Rea lagi seperti tidak sabar. Ambar hanya tidak ingin menjawab dan merebahkan kepalanya di atas bangku. Tak lama terdengar suara seruan berisik dari lorong kelas. Ambar mengangkat kepalnya untuk melihat suara berisik di luar. Deretan anak laki-laki dengan mawar di tangannya tiba-tiba saja masuk ke dalam kelas. Mereka berbaris sampai ke bangku yang diduduki Ambar. Dan secara mengejutkan ada anak laki-laki dengan jas dan buket bunga mawar merah besar masuk dengan gaya kerennya. Kenzo. Ambar yang mengerti tujuan anak itu segera meletakkan kepalanya lagi di atas meja.
"Felysia Inez Gianina. Aku menyukaimu saat pertama kali melihatmu. Apakah kau mau menjadi kekasihku?"
Rasanya ingin muntah terus menerus mendengar pengakuan yang tidak kreatif seperti ini. Ambar yang belum makan dari semalam menjadi kesal.
"Hei, anak kecil. Berapa kali aku bilang kalau Feli itu nggak suka sama kamu. Pergi sana. Ini kelas tiga. Tempatmu bukan disini!" ujar Rea kesal.
"Aku tidak ada urusan denganmu putri kedua. Aku hanya menyukai putri sejati"
Ambar tidak tahan lagi dengan semua rayuan yang didengarnya selama tiga tahun. Dan tidak ada satupun yang ditujukan kepadanya. Ambar menggebrak meja dan berdiri. Hal itu mengejutkan Rea, Feli, Kevin dan semua anak di kelas 3 IPS 4 ini.
"HEI, FELI ITU GAK SUKA SAMA LO. UDAH DITOLAK TERUS GAK SADAR-SADAR YA LO" katanya dengan sedikit berteriak. Ambar menatap dengan mata melotot dan menakuti semua anak kelas dua yang berani masuk. Akhirnya semua pasukan kelas dua mundur dan meninggalkan pemimpin mereka sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 136 Episodes
Comments
🦆 Wega kwek kwek 🦆
ini alurnya mundur yh Thor ,,,,
2024-11-26
0
Just Love It
hahaha...g kebayang kl anak yg biasanya diam tiba2 ngamuk
2022-09-20
0