Nicho menggelengkan kepalanya melihat Sisil yang masuk kedalam apartemen. Tidak ada yang salah memang, tapi cara berjalan sisil saat masuk kedalam dengan menghentakkan kakinya. Tubuh kecilnya yang tinggi ikut berguncang. Rambut lurusnya yang tergerai juga ikut berkibar. Tingkah konyol Sisil yang membuat Nicho menggelengkan kepala. Anak itu tak jauh berbeda dengan Jeje.
Hatinya sedang panas saat ini. Bahkan pikirannya juga kacau. Namun tingkah Sisil seakan meredamkan semua itu. Meski tadi dia merasa kesal saat bersamanya, tapi begitu anak itu menghilang dari pandangan matanya, dia baru merasa terhibur
Nicho masuk kedalam apartemennya. Dia belum selesai membuat laporan keuangan yang harus di kirim ke Devan secepatnya untuk di jadikan perimbangan ke depan.
Kafe yang baru dia buka beberapa hari lalu, memiliki potensi untuk berkembang pesat. Lokasinya yang strategis dan design kafe yang kekinian, membuat kafe itu rame pengunjung dalam waktu singkat.
Sementara itu, Sisil langsung mengganti baju dan bergegas ke dapur. Dia sudah berencana ingin membuat cake hari ini. Meski setiap kali membuat cake tidak pernah habis, tapi Sisil selalu membuatnya hampir 2 kali dalam seminggu. Dia hobby memasak dan baking untuk terus mengasah kemampuannya.
"Apa aku perlu membaginya juga.?" Gumam Sisil yang mulai membuat adonan brownies panggang.
"Ah,,, untuk apa. Dia sangat menyebalkan, kenapa harus segalak itu sikapnya.!"
Sisil langsung mengurungkan niatnya begitu teringat pada sikap Nicho yang selalu ketus dan galak padanya. Meski tidak bisa membenci karna wajahnya terlalu mirip dengan idolanya, tapi tetap saja dia merasa kesal jika di perlakukan seperti itu.
Rasa kagum membuat Sisil hampir menutup mata akan kejelekan seseorang. Apa yang ada di dalam diri orang tersebut akan tampak baik di matanya. Andai saja sikap Nicho jauh lebih baik, mungkin dia akan semakin gila mengagumi sosoknya.
"Ya ampun,, aku juga sampai melupakan piring kesayangan peninggalan nenek. Bisa - bisa aku seceroboh itu memakai piring kesayangan untuk orang lain,,,"
Sisil menepuk keningnya sendiri. Tepung yang menempel di tangannya, kini berpindah di keningnya yang putih.
"Kenapa juga sampai harus di pecahin.! Apa semua laki - laki nggak bisa cuci piring.!" Sisil terus menggerutu sepanjang dia membuat adonan.
Bagaimana dia tidak kesal. Piring itu kesayangan neneknya yang sudah pergi 3 tahun silam. Piring yang selalu beliau gunakan untuk makan, dan Sisil mengambilnya sebagai bentuk kenangan agar selalu mengingat dengan mendiang sang nenek saat sedang makan menggunakan piring itu.
"Oke,, finish,,," Serunya dengan wajah sumringah. Adonan brownies sudah masuk ke dalam loyang dan tinggal di masukan kedalam oven yang sudah dia panaskan.
Sembari menunggu browniesnya jadi, Sisil membereskan meja dan mencuci peralatan yang tadi dia gunakan.
"Yeay,,,!" Sisil terlihat happy mendengar bunyi oven. Wangi browniesnya sudah menguar kemana - mana. Dia memakai sarung tangan dan mengeluarkan brownies dari dalam oven. Karna terlalu bersemangat, tangan kirinya tidak sengaja menyenggol loyang yang ada di tangan kanannya.
"Aawwww,,,,!!" Pekik Sisil. Dia langsung meletakan brownies itu di samping oven dan mengguyur luka bakar di tangannya di bawah keran. Tangan putihnya seketika melepuh, bersemu merah.
"Ya ampun Sisil.! Kamu ceroboh lagi.!" Geramnya kesal. Dia terus meniup tangannya yang semakin memerah, bahkan mulai melebar.
Bunyi bel membuat Sisil terpaksa beranjak dari sana sembari menahan rasa sakit di tangannya akibat luka bakar. Kulit putihnya memang tipis dan sensitif, sekali menyenggol benda panas, membuat luka yang cukup lebar di sana.
Sisil mengintip dari layar, wajah laki - laki yang ada di balik pintu apartemennya terlihat gagah. Seharusnya wajah setampan itu tidak galak dan ketus, pasti ketampanannya akan berkali - kali lipat jika di pandang. Apa lagi bisa di miliki. Ah,,, apa yang di pikirkan oleh Sisil.
Sisil merapikan baju dan rambutnya sebelum membuka pintu. Dia sudah siap menyambut Nicho dengan seulas senyum manis. Apa dia gila.? Ya mungkin saja begitu. Terkadang kesal, tapi terkadang senang.
"Ada apa kak.?" Tanya Sisil setelah membuka pintu.
Nicho menyodorkan piring ke arahnya. Mata Sisil terbelalak.
"Ya ampun,,, piringnya masih utuh tapi kenapa kakak bilang udah pecah.!" Sisil mengambil cepat dari tangan Nicho. Dia meneliti piring itu dengan kedua tangannya, membolak balikannya beberapa kali untuk memastikan piringnya utuh.
Sementara itu, Nicho fokus pada wajah Sisil yang dipenuhi tepung. Hal itu membuatnya hampir saja tertawa, bahkan sudah mengulum senyum geli. Tapi kemudian senyumnya hilang saat melihat luka di tangan Sisil.
"Kak ngerjain aku lagi.?! Bisa - bisanya bohong padaku,," Protesnya kesal.
Namun Nicho tidak menanggapinya.
"Tangan kamu luka.!" Ujar Nicho datar. Sisil langsung melihat luka di tangannya, lalu menunjukannya pada Nicho.
"Ini.?" Tanyanya.
"Melepuh karna terkena loyang panas,,,"
Sisil sudah tidak terlihat kesakitan lagi. Meski masih perih, tapi berhadapan dengan Nicho membuat rasa perihnya memudar.
"Oleskan salep biar cepat kering dan tidak membekas." Ucap Nicho memberi tau.
"Nggak ada persediaan salep. Nggak papa, nanti juga sembuh sendiri,,,"
Nicho berdecak mendengar jawaban yang keluar dari mulut Sisil.
"Tunggu di sini.! Jangan tutup dulu pintunya.!" Pinta Nicho sembari bergegas dari hadapan Sisil. Sisil belum sempat bertanya tapi Nicho sudah pergi begitu saja.
"Mau apa dia.?" Gumamnya heran. Sisil duduk di sofa tanpa menutup pintu, sesuai yang di perintahkan oleh Nicho. Dia meletakkan piring kesayangannya di atas meja.
"Aku pikir piring ini juga akan ikut meninggalkanku seperti nenek,,," Gumamnya sembari mengusap pelan piringnya.
Tak berselang lama, Nicho masuk kedalam apartemennya dengan membawa kotak p3k di tangannya. Dia ikut duduk di sofa tanpa permisi.
"Berikan tanganmu.!" Nicho mengulurkan tangan setelah membuka salep luka bakar. Tatapan datar Nicho yang tajam membuat Sisil gerogi. Dia bahkan ragu - ragu untuk memberikan tangannya.
"Kelamaan.!" Geram Nicho sembari menarik tangan kiri Sisil.
"Tahan,! Hanya perih sedikit, tidak perlu berteriak.!" Ujarnya memberikan peringatan. Suara Sisil pasti akan terdengar melengking di telinganya jika berteriak.
Sisil mengangguk patuh. Melihat tatapan tajam Nicho saja sudah membuat lidahnya kelu, bagaimana dia bisa berteriak setelah mendapatkan peringatan.
Sisil mengatupkan rapat - rapat mulutnya. Kulitnya yang melepuh terasa perih saat bergesekan dengan jari Nicho yang sedang mengoleskan salep.
Dari jarak yang sangat dekat, Sisil bisa mencium aroma parfum Nicho yang sangat menyegarkan kepalanya. Wajah Nicho juga terlihat jelas dari samping. Apa yang kurang dari laki - laki tampan ini.? Beruntung sekali wanita yang bisa mendapatkannya.
Sisil langsung mengalihkan pandangan. Kenapa dia baru ingat sekarang.? Kenapa sejak awal bertemu dengan Nicho tidak memikirkan hal itu.?
Apa laki - laki di sampingnya sudah memiliki kekasih.?
"Jangan sampai kena air.!" Ujar Nicho sembari melepaskan tangan Sisil.
"Pake terus salep ini sampai lukanya benar - benar sembuh.!" Nicho meletakan salep itu di atas meja. Lalu beranjak dari duduknya.
"Makasih kak.!"
"Hemm.!"
"Tunggu kak.!" Sisil mencegah langkah Nicho yang hampir keluar dari apartemennya.
"Apa.?" Nicho menoleh dengan pandangan datar.
"Aku bikin kue, kakak harus mencobanya. Tunggu sebentar,,,," Sisil berlari cepat ke dapur. Dia memotong brownies dan meletakkannya kedalam piring kecil.
Nicho masih berdiri di tempat semula saat dia kembali.
"Ini,,,," Ujar Sisil sembari menyodorkan brownies pada Nicho.
"Apa ini juga piring kesayanganmu.?!" Tanya Nicho sembari menerimanya. Sisil tersenyum sembari menggelengkan kepalanya.
"Aku nggak akan ceroboh lagi,,," Ujarnya dengan wajah yang terlihat malu. Nicho tidak memberikan komentar apapun, dia pergi begitu saja dari hadapan Sisil.
...*****...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 121 Episodes
Comments
Takdir Hidupku
kirain piring dr ortu ny eh tau ny dr si nenek😅
2025-01-14
0
☠⏤͟͟͞R🎯™𝐀𝖙𝖎𝖓 𝐖❦︎ᵍᵇ𝐙⃝🦜
Bilang apa kek pergi gitu aja
2024-12-02
0
Rohad™
Izin jejak. 17-10-23 | 22.45
2023-10-17
2