*
*
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Suara musik memecah keheningan di dalam mobil pagi itu. Tanpa percakapan, ataupun perdebatan seperti biasanya. Gadis itu bahkan tetap bergeming di kursi belakang tanpa mempedulikan apapun. Karena sepasang headset menempel erat di telinga kecilnya. Sementara kedua mata bulatnya terpejam selama perjalanan.
Dygta seolah tengah menghindari sesuatu. Atau menghindari percakapan dengan dirinya. Ini pasti masih ada hubungannya dengan insiden ponsel dan foto di dalam ponsel gadis itu tempo hari, pikirnya.
Dia teringat pesan dari Satria tentang pria berjas abu-abu diponsel Dygta.
Arfan sesekali melirik lewat spion ke arah belakang dimana putri dari atasannya itu masih betah duduk bersandar.
"Hey!" panggil Arfan.
Dygta tak terganggu.
"Dygta?" ulangnya, namun gadis itu masih tak menghiraukan.
"Dygta!" Arfan meninggikan suara, seraya menepuk lutut gadis itu pelan-pelan.
"Nggak om, bukan. Aku cuma ..." Dygta terperanjat. Kesadarannya baru saja kembali setelah melanglang buana entah kemana.
"Ummm ...
"Sudah sampai... " ucap Arfan yang menggendikkan kepalanya ke arah luar.
Dygta menoleh, mereka sudah sampai di area sekolah. Bel tanda masuk bahkan sudah berbunyi ketika dia menyadarinya.
"Kirain belum sampai?" gumam gadis itu, seraya bangkit dari posisi bersandarnya.
"Pergi dulu om," katanya. Dia meraih tas di sisi lain kursi, lalu membuka pintu mobil bermaksud untuk keluar.
"Kamu tidak lupa kalau... " Arfan masih dalam posisinya yang mencondongkan tubuh ke belakang ketika gadis itu kembali masuk kedalam mobil dan melakukan hal yang tak pernah dilakukannya selama ini.
Dygta meraih tangannya, kemudian mencium punggung tangan pria itu dengan takdzim.
"Ee... " Arfan tertegun.
Dygta pun membeku dalam posisi membungkuk.
Kenapa aku melakukan hal ini?
"Mm ... aku ... pergi dulu." Dygta berbalik, lalu setengah berlari meninggalkan mobil yang di dalamnya pria itu masih tertegun tanpa sepatah kata pun.
Ada apa dengan anak itu? gumam Arfan dalam hati.
*
*
*
*
"Bapak serius?" Arfan mengerutkan dahi, sebuah tugas lain kembali di bebankan oleh Satria kepadanya.
"Ya." jawab Satria tanpa menoleh sedikitpun. Dia tetap pada pekerjaannya dengan laptop dan dokumen penting yang menunggu untuk ditandatangani.
"Tapi, bukannya ada pak Sam?" sergah Arfan, sebuah dokumen masih ada ditangannya.
"Apa aku akan membiarkan Fia membawa empat anak berkeliaran di mall tanpa pengawasan?" Satria menoleh, dia membenahi letak kacamata baca nya.
"Kenapa tidak kita tugaskan yang lain saja membantu pak Sam?" Arfan menyarankan.
Satria meletakkan dokumen dan ballpoint dari genggamannya, lalu menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi.
"Aku tidak bisa mempercayakan keluargaku dibawah pengawasan orang lain." Satria bertopang dagu.
"Lagipula, tidak ada yang bisa mengawasi mereka seperti kamu." lanjut Satria.
Arfan mendengus pelan, "Bapak hanya tidak pernah memberi mereka kesempatan untuk membuktikan diri. Setidaknya, cobalah salah satu dari mereka. Saya yakin mereka juga mampu."
Satria memicingkan mata. "Kamu tidak mau?"
"Bukan tidak mau, tapi ada banyak hal yang harus saya urus juga disini, bukan?"
"Disini ada banyak orang yang bisa diandalkan. Kamu bisa menyerahkan pekerjaanmu kepada beberapa orang bawahanmu. Sedangkan untuk keluargaku, aku hanya akan mengandalkanmu." Satria secara tegas.
"Jangan lupa bawa juga Amara, Dygta pasti senang jika dia juga ikut." lanjutnya, yang kembali peda pekerjaannya yang menunggu di atas meja.
"Kenapa tidak bapak saja yang menemani mereka? bukankan itu lebih bagus? Bapak menghabiskan waktu dengan keluarga?" sebuah senyum terbit di sudut bibirnya Arfan. Dia seperti baru saja menemukan sebuah ide yang sangat cemerlang.
Satria kembali menghentikan pekerjaannya. "Kamu tidak lihat pekerjaan yang menumpuk ini? Bukankan ini semua yang kamu jadwalkan untuk aku kerjakan, dan harus selesai sore ini juga? Mereka semua menunggu tanda tangan aku bukan? agar besok semua dapat di proses dan bayak proyek yang akan segera dikerjakan setelah mendapatkan tandatangan dariku." Satria menunjuk tumpukkan dokumen di mejanya.
Arfan kini yang tertegun.
"Dan ... apakah kamu sudah menemukan siapa pria berjas abu-abu di ponselnya Dygta?" Satria mengalihkan pembicaraan.
Arfan menggelengkan kepala.
"Kenapa lambat sekali?" Satria menggerutu.
Arfan memutar bola matanya. "Saya tidak bisa secara terang-terangan mengintip isi ponselnya Dygta, pak. Dia tidak akan mengijinkan."
"Lalu, kenapa tidak kamu lakukan secara sembunyi-sembunyi?" Satria dengan suara datar.
"Maksud bapak?" Arfan meletakkan dokumen di tangannya, lalu berjalan mendekat.
"Hhhh, ... kenapa kamu tiba-tiba terlambat berpikir seperti ini? lakukan apapun yang diperlukan untuk menjaga segalanya tetap berjalan baik."
Arfan berpikir sebentar. "Jangan bapak bilang kalau bapak akan meminta saya untuk menyadap ponselnya Dygta?"
"Hmmm ...Ide yang bagus bukan?" Satria menyeringai.
"Bapak tidak sungguh-sungguh, bukan?" Arfan merangsek ke dekat meja atasnya itu.
"Lakukan apapun untuk melindungi dia. Aku ingin semua hal yang baik di sekitarnya." ucapnya dengan enteng. "Walau itu harus melanggar privasinya sekalipun."
"Dygta sudah dewasa, pak." sergah Arfan.
"Ya, dan keadaannya akan semakin membahayakan untuk dia sekarang ini."
"Apa bapak tidak berlebihan?"
"Kamu pikir seorang ayah yang melindungi anak perempuannya itu berlebihan?"
"Tapi dengan melanggar privasi dia...
"Bukan privasinya yang sedang aku langgar tapi keselamatannya yang sedang aku lindungi. Kita harus selalu tahu dia berada dimana, dengan siapa, dan apa yang dia kerjakan. untuk menghindarkan dia dari hal yang salah."
"Tapi, ... bayangkan akan semarah apa dia jika tahu kita melakukan hal itu."
"Itu tugasmu untuk melakukannya tanpa dia ketahui, seperti yang sudah kamu lakukan kepada Fia."
Sekali lagi Arfan menarik dan menghembuskan napas dengan berat.
"Pergilah, Fia sudah bersiap-siap dan Dygta sedang menunggu sekarang." Satria melirik jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul dua siang.
"Tapi, pak ...
"Jangan lupa bawa Amara, bawa dia juga jalan-jalan. Dia pasti senang..." lanjut Satria, dengan senyum di sudut bibirnya.
Tak ada bantahan dari Arfan, walaupun ada sudut hatinya yang menentang, namun sebagian lain dari hatinya juga malah mengamini perkataan dari atasannya tersebut.
*
*
*
"Kakak Dita!" teriakan nyaring terdengar dari dalam mobil begitu Dygta mencapai benda beroda empat tersebut di halaman sekolah.
"Ara?" gadis itu bergumam, lalu mempercepat langkahnya.
Amara menjulurkan kepalanya dari dalam. mobil, berteriak kegirangan menyambut kedatangan Dygta, yang langsung membuka pintu mobil dan meraih tubuh anak kecil itu untuk dia peluk.
"Kangen!" katanya, memeluk Amara dengan penuh kasih sayang. "Ara juga ikut?" Dygta melirik ke arah Arfan yang duduk di balik kemudi.
Pria itu mengangguk.
"Mama tadi telefon nyuruh kita langsung nyusul ke MOI aja." lanjut Dygta.
Arfan mengangguk. "Masuklah, nanti mamamu bisa ngomel kalau kita membiarkan dia menunggu terlalu lama." ucapnya, yang langsung menyalakan mesin mobilnya.
Dygta menurut. Dia meraup tubuh Amara, lalu masuk dan duduk di kursi penumpang di depan. Tidak di belakang lagi seperti tadi padi dan beberapa hari sebelumnya.
*
*
Sofia melambaikan tangan ketika melihat dua sosok yang ditunggunya dari kejauhan.
Arfan dan Dygta berjalan beriringan dengan Amara yang ada dalam gendongan pria itu.
Setelah membawa anak-anak makan terlebih dahulu, kemudian Sofia menunjuk toko baju di sebelah. Diikuti ke lima anak, dan Arfan yang ada di urutan paling belakang, seperti biasa, menjadi penjaga mereka setiap kali berada diluar rumah.
Beberapa pelayan toko menyambut dengan ramah, mereka sudah hafal dengan pelanggan yang satu itu. Yang selalu datang membawa lima anak, dan satu pria yang sama selama beberapa tahun terakhir.
"Bapak tidak ikut?" seorang perempuan berusia diatas Sofia datang menyambut. Sang pemilik toko yang selalu menerima kedatangan mereka dengan ramah pula. Tentu saja, pelanggan mana yang selalu memborong banyak pakaian dengan brand ternama setiap kali mereka berbelanja kalau bukan keluarga Nikolai? Maka tidak ada alasan bagi mereka untuk tak bersikap ramah.
"Bapak sibuk, seperti biasa." jawab Sofia.
Sang pemilik toko tersenyum. Lalu pergi meninggalkan mereka setelah berbasa-basi sebentar. Membiarkan Sofia dengan kehebohannya memilih pakaian untuk anak-ananya.
"Ganti bajunya dulu, kak?" Sofia menyerahkan sepasang pakaian kepada Dygta, mengingat gadis itu yang masih mengenakan seragam sekolahnya.
Dygta menurut. Membawa pakaian pilihan ibunya ke ruang ganti. Lalu mengenakannya seperti yang diperintahkan Sofia.
"Pas kan?" Sofia menatap puas putri satu-satunya itu dalam balutan skinny jeans berwarna hitam dengan atasan babydoll berwarna hijau tosca.
"Kayak anak kecil, ma." keluh Dygta. "Aku mau ganti, ah... " katanya, seraya memutar tubuh untuk memilih pakaian lain yang dirasa pas untuknya.
"Ih, udah mama pilihin biar kembaran sama Ara, lah." ucap Sofia kemudian sambil menunjuk ke arah Amara yang juga mengenakan pakaian yang sama seperti Dygta, namun dalam ukuran kecil.
"Kebetulan ada yang sama. lucu kan?" Sofia dengan senyum lebarnya.
"Hmmm ..."
"Arfan, lihat. Mereka lucu kan pakai baju kembaran seperti ini?" teriak Sofia kepada Arfan yang duduk di sofa, fokus pada tiga anak laki-laki yang hampir saja berbuat onar jika sedikit saja dirinya mengalihkan pandangan. Yang sesekali menatap layar ponselnya, memberikan instruksi pada beberapa bawahannya untuk menangani beberapa pekerjaan.
Pria itu mendongak. "Ya, cantik." katanya, sambil menganggukkan kepala.
"Dengar?" Sofia melirik sekilas, lalu kembali pada kegiatannya memilih pakaian untuk ketiga anaknya yang lain.
Ada wajah yang merona dan tersipu malu setelah mendengar satu kata yang keluar dari mulut Arfan. Hanya satu kata, namun membuat orang ini merasakan banyak hal didalam hatinya.
Dygta merasakan wajahnya menghangat seketika.
"Kamu kenapa?" Sofia melirik lagi saat putrinya itu tengah mengibas-ngibaskan kedua tangannya di depan wajah.
"Hah? nggak. Disini panas ya ma? bisa cepetan nggak belanjanya?" Dygta mengalihkan pembicaraan.
"Panas?" Sofia menjengit. Dia menatap sekeliling. "Kamu ngaco. Ac nya dingin gini?" lanjutnya, yang menatap wajah putrinya yang semakin memerah.
"Oh ya? kok aku merasa gerah ya?" Dygta salah tingkah.
"Kamu demam? wajah kamu merah." Sofia agak terkejut, lalu mendekat kepada Dygta, untuk kemudian menyentuh kening anak gadisnya itu.
"Nggak ma." Dygta menghindar.
"Hmmm... sepertinya kamu sakit, kak?"
"Ap-apa? ng ... nggak. Aku nggak sakit. Mama udah belum belanjanya? abis ini kita kemana lagi?" Dygta terus mengalihkan pembicaraan untuk menghindar.
"Beneran nggak sakit?"
"Beneran."
"Yakin? kalau sakit, kita pulang saja. Camping juga lebih baik di batalkan."
"Apa? nggak. aku nggak apa-apa. mama lanjutin aja belanjanya." Dygta melengos, menarik Amara ke sisi lain toko, lalu duduk di sofa yang tersedia disana.
"Kamu nggak mau milih baju lagi?" Sofia setengah berteriak.
"Mama aja yang pilihin."
"Nanti nggak cocok."
"Pasti cocok. yang ini juga bagus, kan?" jawab Dygta, tak mau memperpanjang percakapan.
"Anak itu, semakin aneh saja!" gumam Sofia sambil menggelengkan kepala, lalu kembali pada apa yang dilakukannya.
****
Banyak barang sudah didapatkan, berbagai keperluan pun sudah lengkap dan siap diantar ke dalam mobil. Namun anak-anak tampaknya masih belum puas berkeliling. Sama halnya dengan Sofia, yang masih sabar menanti seseorang yang telah ditunggunya sejak lama. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya semasa dulu sejak masih dalam keadaan sulit. Yang menemaninya ketika masih di bawah, menunjukkan banyak hal padanya hingga kini dirinya memiliki segala hal yang tak pernah ada dalam bayangannya.
Sahabat, sekaligus partner in crimenya, seorang perempuan bermata sipit, Cecilia Lauren. Yang biasa dia panggil dengan sebutan Cece. Yang terlihat berjalan tergopoh-gopoh ketika dari kejauhan dia menemukan sosok yang sangat dikenalnya.
Cece melambaikan tangan yang dibalas juga dengan lambaian oleh Sofia. Lalu mereka berpelukan ketika sudah dekat.
"Cece sendiri?" Sofia setelah puas memeluk sahabatnya itu.
"Sendiri lah. Anak-anak udah pada sibuk." jawab perempuan yang masih cantik di usia nya yang hampir setengah abad itu.
"Masih?"
"Masih, lah. Apalagi?" lalu mereka berdua pun tertawa.
"Ayo kita ngobrol sebentar?" ajak Sofia.
"Anak-anak gimana?" sela Cece.
"Kita titip Arfan sebentar."
"Tidak mungkin, ..." Arfan menggelengkan kepala ketika Sofia menghampirinya. Dia tahu niat perempuan itu dari awal.
"Ayolahh, Arfan." Sofia mengiba.
Dan dengan sedikit drama juga perdebatan sengit akhirnya dua perempuan dewasa itu bisa melenggang masuk ke sebuah tempat makan tak jauh dari sana. Meninggalkan Arfan dan Dygta bersama empat anak kecil yang siap berpetualang di hari kebebasan mereka yang sebentar ini.
*
*
*
Next oke?
Lagi ngawaain bocah nih😋😋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
qurro thul
papih luchuuu
2023-10-16
0
Hearty 💕
😂🤣😂🤣😂🤣😂🤣😂🤣😂🤣😂
2023-10-06
0
Linda yani
y ampun thor sejauh ni aq masih padamu...padahal pikiran qu lagi kacau 😔baca lagi dn lagi ceritamu ampe lupa sejenak pikiran yg ruwet😁😁😁
2022-09-28
0