*
*
Sudah beberapa menit Sofia berdiri di depan pintu kamar Dygta yang tertutup rapat. Gadis itu langsung memutuskan kembali ke kamarnya begitu dia selesai dengan makan malamnya.
Sofia menoleh ke arah samping tempat suaminya menunggu di ambang pintu ruang kerjanya.
Satria menggendikkan kepala memberi isyarat kepada perempuan itu untuk masuk ke dalam kamar Dygta.
Perempuan itu menghirup napas dalam. Seolah akan melakukan hal besar dalam hidupnya.
Sofia mengetuk pintu, lalu menekan handel pintu sekadar untuk memeriksa apakah benda tersebut dikunci atau tidak.
Klek!
Pintu pun terbuka.
Dia menyembulkan kepala, melongok ke dalam kamar tempat putrinya menghabiskan banyak waktu akhir-akhir ini.
"Kak?" panggilnya, saat dia tak menemukan Dygta di dalam sana.
"Dygta?" panggilnya lagi, kali ini agak nyaring.
"Ya?" terdengar jawaban dari arah luar. Terlihat pintu menuju balkon yang terbuka lebar.
"Kamu lagi apa? Mama boleh masuk?" ucap Sofia.
"Masuk aja. Aku di teras." jawab Dygta dari luar sana.
Sofia pun masuk dan mengikuti arah suara berasal.
Terlihat putrinya yang sedang duduk menekuk kakinya di lantai teras dengan ponsel yang menyala memutar musik.
"Kamu lagi apa?" tanya Sofia sesaat setelah dia sampai didekat Dygta.
"Lagi diem aja." jawab Dygta, menoleh sekilas.
"Nggak ada PR?"
"Udah beres tadi." jawab Dygta lagi.
Sofia mengikuti putrinya yang duduk dilantai, melihat ke arah mata gadis itu tertuju.
Lampu-lampu kota yang berkelip dikejauhan tampak seperti hamparan bintang di langit. Dari sini pemandangan kota tampak memukau.
"Kamu lagi ada masalah apa?" Sofia memulai pembicaraan.
"Humm?" Dygta menoleh.
"Mama lihat kamu sering menyendiri sekarang. Juga lebih pendiam dari biasanya. Apa kamu sedang ada masalah?"
"Nggak." Dygta menggelengkan kepala.
"Beneran?" Sofia tidak percaya.
"Serius. Kenapa sih semua orang menyangka aku lagi ada masalah?" gadis itu sedikit mengeluh.
"Ya karena sikap kamu nggak seperti biasanya." jelas Sofia.
"Iyakah?" Dygta menjengit. "Aku merasa biasa aja ah. Aku cuma lagi malas aja."
"Malesnya kenapa?"
"Ng ... nggak tahu. Males aja."
"Maafkan mama ya?" Akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulut Sofia.
"Eh, ... kenapa mama minta maaf?" gadis itu agak terkejut.
"Selama ini mama kurang memperhatikan kamu. Mungkin mama lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengurus adik-adikmu."
"Percayalah, mama tidak bermaksud seperti itu. Mama hanya merasa bahwa kamu sudah besar dan bisa mengurus diri kamu sendiri. Dan mama pikir kamu membutuhkan ruang pribadi yang banyak tanpa mama harus memperhatikan segala hal."
"Mama sama kayak papi dan om Arfan." Dygta berujar.
"Masa?"
"Mama terlalu mengkhawatirkan banyak hal."
Sofia terdiam.
"Mama cuma takut kamu merasa tersisihkan karena keberadaan adik-adikmu. Mama takut kamu merasa tidak lagi diperhatikan sehingga kamu malah mencari perhatian dari orang lain."
"Maksud mama? Aku nggak gitu. Berpikir ke arah sana pun nggak."
"Benarkah?"
"Iya." Dygta mengangguk.
"Mama cuma takut kamu merasa begitu."
"Nggak, ma. Beneran."
"Tapi buktinya kamu seperti menjauh dari mama." Sofia akhirnya mengutarakan perasaannya.
"Masa?"
"Kamu lebih memilih membicarakan banyak hal dengan orang lain. Lebih berani mengatakan apapun kepada om Arfan dari pada mama. Membuat mama merasa tidak tahu apa-apa tentang kamu. "
"Mmm ... itu... karena ... aku sering sama om Arfan. Pergi sama pulang sekolah kan aku sama om Arfan. Jadi aku lebih sering ngobrol sama dia."
"Itu yang membuat mama sedikit kecewa. Kamu anak mama, tapi malah tidak banyak hal yang mama tahu tentang kamu akhir-akhir ini."
"Memangnya kenapa sih? nggak ada yang penting juga? Aku malah merasa terlalu diperhatikan, yang malah membuat aku merasa nggak punya kebebasan untuk melakukan apapun yang aku mau."
"Oh ya?"
Dygta mengangguk.
"Kadang aku merasa mau pergi dari sini. Apa-apa nggak boleh. Apa-apa harus diantar. Apa-apa di awasi." keluhan Dygta akhirnya keluar.
Sofia terkekeh. "Kayaknya kita sama, kak?" ucapnya kemudian.
"Mama juga merasa gitu?" Dygta menatap wajah ibunya yang sedang mendongak ke arah langit. Menatap cakrawala yang terlihat begitu kelam pada hampir malam itu.
"Kadang."
"Mama menyesal menikah sama Papi?" tiba-tiba saja Dygta bertanya.
Perempuan itu menoleh ke arah putrinya, dan kini mereka saling pandang.
"Nggak." jawab Sofia setelahnya, "Mama mungkin kehilangan kebebasan. Mama tidak bisa hidup seperti dulu sebelum kita bertemu papi. Tapi ... mama nggak pernah menyesal." jawabnya, yang diikuti senyumam lembut dari perempuan berusia hampir 38 tahun itu.
"Kamu sendiri? apa kamu menyesal kita hidup dengan papi seperti ini?" tanya Sofia kemudian.
"Mama ngaco. Ini hidup yang diinginkan banyak orang. Mana bisa aku menyesal. Punya ayah seperti papi itu hal yang luar biasa. Aku dapat banyak hal yang aku butuh dari papi. Walaupun aku bukan anak kandungnya, tapi papi selalu memperlakukan aku sama seperti Dimitri dan si kembar, kan?" Dygta menjawab dengan yakin.
"Ya, kita beruntung bukan?" Sofia akhirnya bisa bernapas dengan lega mendengar pengakuan dari mulut putrinya. Kekhawatirannya berangsur memudar, dan kekecewaannya kepada dirinya sendiri sedikit berkurang. Dirinya tak lagi merasa sebagai ibu yang buruk bagi Dygta.
"Tapi ada satu hal, ..." Dygta berkata lagi dengan agak ragu.
"Apa?"
"Bisa nggak papi melonggarkan pengawasannya? aku kan udah dewasa, masa apa-apa diawasi terus? aku kan juga butuh sendirian."
"Hmmm ..." Sofia menarik napas lalu menghembuskannya dengan pelan. "Kalau soal itu kita harus bekerja sama dengan Arfan." Sofia berpikir.
"Eh, ... kenapa om Arfan?"
"Semuanya Arfan yang pegang. Papimu hanya menerima laporan saja. Jadi apapun terserah Arfan."
"Iya kah?"
"Hmmm... " Sofia mengangguk. "Nanti kita pikirkan caranya." katanya kemudian.
Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat. Asyik dengan pikirannya masing-masing.
"Kamu sudah punya pacar?" Sofia kembali bertanya, membuat Dygta terperangah.
"Belum." jawab gadis itu dengan cepat.
"Masa?" Sofia mencondongkan tubuhnya ke arah putrinya.
"Belum. Serius, ma."
"Kalau belum berarti ada yang sedang kamu sukai, atau kamu dekati?" Sofia dengan keingintahuannya.
"Nggak ada, eh... itu... mmmm... " Dygta tiba-tiba salah tingkah.
"Ada ya? kamu sedang dekat dengan seseorang?" Sofia terus berusaha menggoda putrinya agar buka mulut.
"Nggak juga sih, tapi... itu..."
Perempuan ini tidak akan pergi sebelum mendapat keterangan darinya. Apa dia harus membicarakan ini dengan ibunya? ah, ... sungguh membuat frustrasi, pikirnya.
"Its oke kalau kamu tidak mau membicarakannya, mama tidak akan memaksa. Hanya saja mama ingin kamu ingat satu hal." Sofia menatap lekat wajah putrinya. Si cengeng yang manja tapi ceria, yang kini sudah dewasa. Putri semata wayangnya yang selalu menjadi penyemangatnya jauh sebelum kehidupan mereka lebih baik di masa sekarang.
"Jaga diri. Jangan mencoba untuk mendekati hal-hal yang tidak baik. Kamu tahu, mama, papi, atau om Arfan mungkin tidak biasa selau ada untuk kamu. Seketat apapun pengawasan papi demi keselamatan kamu, tapi semuanya tergantung pada diri kamu sendiri."
Dygta mengangguk pelan.
"Berjanjilah untuk tidak pernah menutupi apapun dari mama, papi ataupun om Arfan. Jangan pernah merahasiakan apapun dari kami. Sesulit apapun, kami akan selalu ada untuk kamu."
"Kamu janji?"
"Iya, mama."
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Papi, lihat mama nggak?" Dimitri menghampiri Satria yang tengah duduk di teras luar menikmati suasana malam itu yang terasa tenang. Apalagi setelah mendengar percakapan antara Dygta dan Sofia yang di dengarkan diam-diam, membuatnya sedikit bernapas lega.
Tidak ada yang salah dengan gadis itu. Dia hanya memang tengah mengalami fase transisi dalam hidupnya. Dan itu melegakan karena dia hanya mengalami hal yang biasa dialami remaja pada umumnya. Selain keluhannya tentang kebebasan yang di inginkannya akhir-akhir ini. Selebihnya, tidak ada hal yang terlalu mengkhawatirkan baginya.
"Papi!" Dimitri memanggil lagi.
"Ya? Ada apa?" Satria mengalihkan perhatian kepada putranya.
"Papi lihat mama?" Dimitri mengulang pertanyaan.
"Oh, tadi di kamar kakak mu. Ada apa?"
"Ada pr aku yang susah." bocah itu menunjukkan buku tugasnya.
"Mana, papi lihat?" Satria meraih buku tersebut dari tangan putranya.
Lalu mereka mengerjakannya bersama. Dengan sedikit bantuan dari ponsel pintarnya untuk mencari jawaban di internet, ketika ada beberapa hal yang tidak dia ketahui, dan tidak pernah dia pelajari pada masa sekolah dasarnya dulu.
"Udah." Dimitri menutub buku tugasnya setelah beberapa saat.
"Setelah ini kamu mau apa?" tanya Satria kemudian.
"Nggak ada. Mungkin mau nonton tv." jawab Dimitri.
"Ayo kita ngobrol?" ajak Satria.
"Ngobrol apa?" Dimitri meletakkan kembali buku dan alat tulisnya di meja.
"Apa saja."
"Dim bingung kalau papi udah bilang gitu."
"Kenapa bingung?"
"Ya bingung. katanya mau ngobrol, tapi pas giliran aku tanya papi mau ngobrol apa, papi jawabnya ngobrol apa aja."
Satria terkekeh.
"Kamu sudah pandai menjawab."
"Hmm ...."
"Bagaimana kalau kita mulai dengan kakakmu?" Satria berujar.
"Kakak?"
"Iya. Kak Dygta. Kamu tahu sesuatu tentang kakak Dygta?" tanya Satria.
"Soal apa?"
"Apa saja."
"Ih, ... papi bikin aku tambah bingung. Mau tanya soal kakak tapi tanyanya soal apa aja."
Satria tertawa lagi. Bocah ini benar. Dia malah membuatnya bingung.
"Kata om Arfan kamu lihat sesuatu di hapenya kakak sebelum rusak ya?"
"Yang mana?" Dimitri mencoba mengingat.
"Yang waktu hapenya kakak kamu rebut."
"Oh, itu... "
Satria menganggukkan kepala.
"Emang kenapa?"
"Apa yang kamu lihat? kata Om Arfan kamu lihat foto laki-laki di hapenya kakak?"
"Ih, om Arfan tukang ngadu?"
Satria tergelak. Ekspresi bocah ini sungguh lucu.
"Om Arfan bukan tukang ngadu, memang pekerjaannya seperti itu. Dia harus selalu melaporkan apapun kepada papi."
"Ih, ...papi kepo!" ucap Dimitri lagi.
"Apa itu kepo? bahasa dari mana? bicaramu sangat aneh!"
"Ah, papi nggak gaul. Masa kepo aja ngga tau. Kepo itu artinya mau tau aja."
"Astaga!... " Satria menepuk keningnya sambil kembali tertawa.
"Makannya, jangan kerja terus. liburan dong sekai-sekali. Main kek kemana gitu, biar papi tau." ucap Dimitri dengan polosnya.
Satria terdiam.
Dia memang jarang mengambil liburan akhir-akhir ini. Pekerjaannya sedang menuntut lebih banyak waktu, hingga tak tersisa sedikitpun untuk sekadar liburan. Bahkan di akhir pekan sekalipun.
"Sekarang katakan, apa yang kamu lihat di hapenya kakak?" Satria kembali pada niat awalnya tentang mengorek keterangan dari Dimitri.
"Ah, ... itu lagi?" bocah itu kini yang menepuk kepalanya.
"Kenapa?"
"Kakak pasti marah kalau aku bilang. Pasti nggak jadi beliin aku sepatu sama seragam sepak bolanya."
Satria kembali menertawakan kepolosan putranya ini.
"Kakakmu tidak akan tahu. Ini rahasia kita." kemudian dia bicara lagi.
"Masa?"
"Iya."
"Papi nggak akan bilang sama kakak kalau aku ngadu?"
"Tidak akan."
"Papi janji?"
"Janji."
"Beneran ya? nanti kalau kakak tau pasti marah. terus kalau marah aku ngga jadi dibeliin sepatu."
"Nanti papi yang belikan."
"Beneran?"
"Iya."
"Ng ...tapi aku udah janji sama kakak nggak akan bilang. Aku dosa nggak kalau langgar janji sama kakak?"
"Mmm...
"Eh tapi kakak bilangnya cuma nggak boleh bilang sama om Arfan sih."
"Oh ya? kenapa?"
"Nggak tahu, pokoknya kakak bilang nya nggak boleh ngadu sama om Arfan."
"Hmmm... kakakmu aneh."
"Emang. Padahal cuma foto cowok doang."
"Jadi benar?"
Dimitri menganggukkan kepala.
"Berarti aku nggak dosa dong kalau bilang sama Papi?" ucap Dimitri kemudian.
"Ng ... mungkin."
"Iya, kan kakak bilangnya cuma nggak boleh bilang sama om Arfan. Bukan papi, kan?"
"Eee.... iya." Satria dengan ragu.
"Ya udah, berarti aku nggak apa-apa kalau bilang sama papi."
"Iya. Tidak apa-apa."
"Ah, ... legaaaa ..."
"Jadi? apa yang kamu lihat di hapenya kakak?"
"iya, itu..."
"Apa?"
"Foto cowok."
"Siapa? kamu kenal? apa teman sekolahnya kakak?"
Dimitri terdiam. Dia berpikir.
"Kayaknya bukan."
"Kamu tidak kenal?" Satria semakin penasaran.
"Nggak. Orang mukanya ketutup jempolnya kakak waktu aku lihat."
"Astaga!"
"Beneran pih, aku cuma lihat bajunya doang."
"Pakai baju apa?"
"Baju kayak yang suka papi pakai kalau pergi kerja."
"Jas?"
"Iya itu. Aku lihat warnanya abu-abu."
"Hmmm ... kakakmu sedang aneh sekarang ini." gumam Satria.
"Emang. Sekarang kakak nyebelin. Udah jarang main sama akau. senengnya sendirian aja." keluh Dimitri.
"Benar kamu tidak tahu orangnya siapa?" ulang Satria untuk meyakinkan.
"Beneran. Mukanya ketutup jempolnya kakak."
"Baiklah... " Satria menyandarkan punggungnya pada kepala kursi.
"Udah ah, aku ngantuk mau tidur." Dimitri bangkit dari duduknya. Dan tanpa menunggu jawaban dari ayahnya, bocah itu menghambur ke dalam ruamah.
Sementara Satria mengirimkan pesan kepada asisten pribadinya.
"Cari tahu siapa orang berjas abu-abu di ponselnya Dygta!"
*
*
*
Bersambung...
Hayoloooohhhh... Didim bocor juga nih😂😂😂
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
qurro thul
enak ya pak boz, cm bilang kata kutji jas abu 🤣🤣🤣🤣
2023-10-16
0
Hearty💕💕
Saya Pak /Casual/
2023-10-06
0
Eskael Evol
hhhhhhhhhh padahal orang ber Jaz abu⅔ yg di cari adakah dirinya sendiri😀
2023-06-07
0