*
*
Dan disinilah mereka, di sebuah arena bermain yang letaknya tak jauh dari kafe tempat sofia bertemu dengan sahabatnya. Dimitri dan sikembar Daryl dan Darren menarik dua orang dewasa yang tersisa untuk mengikuti mereka ke tempat yang selalu di kunjungi setiap kali keluarga ini mengunjungi mall tersebut. Walaupun di rumah besar mereka juga tersedia hal yang sama, namun tetap saja rasanya lebih menyenangkan ketika mereka mencoba arena permainan ini di tempat umum seperti ini. Rasanya menyenangkan bisa berbaur dengan banyak orang.
Berinteraksi dan saling berebut permainan dengan pengunjung lainnya merupakan kesenangan tersendiri bagi anak-anak ini. Walau Arfan kerap kali harus sering mengingatkan jika tiga bocah laki-laki ini hempir membuat kekacauan.
"Kamu, sana kalau mau main juga. Susul adik-adik kamu." ucap Arfan, yang matanya tak beralih dari ponsel, tetap memantau kinerja staf bawahannya dari jauh. Menerima banyak informasi tentang pekerjaan dan beberapa hal penting lainnya tag berhubungan dengan perusahaan dan bos mereka.
"Ish, aku udah besar lah. Bukan anak sd lagi. Udah nggak cocok main kayak gitu." tugas Dygta.
"Oh ya?" Arfan mematikan ponsel, lalu memasukkannya ke dalam saku jas, kemudian memiringkan posisi duduknya menghadap Dygta.
"Lalu, permainan apa yang cocok untuk anak sebesar kamu?" lanjut Arfan.
"Umm ..." Dygta terhenyak. Dia belum terbiasa dengan perasaan ini. Padahal dirinya sudah terbiasa berdekatan dengan Arfan selama sembilan tahun belakangan. Tapi perasan asing ini membuatnya harus beradaptasi lagi.
Gadis itu bergeser sedikit untuk memperlebar jarak mereka.
"Sekarang katakan, ada apa dengan kamu ini? sikapmu sangat aneh akhir-akhir ini?" Arfan tiba-tiba.
"Ap-apa?" Dygta tergagap. "Nggak ada apa-apa. " dia menggelengkan kepala.
"Om sudah menjaga kamu selama sembilan tahun. Dan selama itu, tidak pernah satu hari pun kamu bersikap seperti ini. Apa ada yang sedang kamu sembunyikan?" Arfan mencondongkan tubuhnya, membuat Dygta semakin merasa gugup. Sekali lagi dia bergeser hingga ke ujung kursi, yang membuatnya hampir terjungkal jika saja Arfan tak sigap memegangi lengan dan menariknya kembali.
"Hati-hati! dasar kamu ceroboh. Dari sekian lama, hanya kecerobohan ini saja yang tidak berubah." gerutu Arfan, lalu kembali menegakkan tubuhnya.
"Ng ...
Perasaan sialan ini, duh!
"Kakak Dita!" Amara berteriak dari dalam arena mandi bola. Membuat Dygta mendapatkan ide yang sangat cemerlang untuk menghindar.
"Mm ... a-aku mau nemenin Ara, deh. Om kalau mau keliling, sana. Biar adik-adik aku yang jagain." Dygta berujar.
"Tidak mungkin, sedikit saja mata ini lengah, kalian pasti melakukan kekacauan sebentar lagi." Arfan kembali menempelkan punggugnya pada sandaran kursi dengan tangan yang yang bersedekap.
"Ah, ya udah aku kesana dulu." Dygta menunjuk ke arah Amara yang masih melambaikan tangan kepadanya. Lalu segera berlari menghampiri gadis kecil itu.
"Hmm ... dia semakin mencurigakan." gumam Arfan. Namun tubuhnya menegang ketika ekor matanya menangkap suatu benda yang tertinggal di kursi.
Sebuah ponsel berwarna hitam milik Dygta yang ternyata gadis itu lupakan.
Arfan tertegun.
"Dia benar-benar ceroboh! benda sepenting ini ditinggalkan begitu saja?" dia meraih benda pipih itu, lalu memasukkannya ke dalam saku jas nya.
Dia kembali ingat perintah Satria.
Astaga! Apa aku benar-benar harus melakukan ini? batinnya, lalu dia kembali merogoh benda tersebut. Menimang-nimang, dan memutar-mutarnya ditangannya.
Dia juga kan punya privasi.
Hatinya ragu, tapi juga penasaran.
Akhirnya Arfan menyalakan ponsel milik Dygta, namun layarnya terkunci oleh kode berpola. Dia berpikir sebentar. Lalu menyentuh layar untuk membentuk pola pembuka kunci.
"Hmm ... sangat mudah ditebak." gumamnya lagi ketika dia berhasil membuka kunci layar dengan mudah.
"Baiklah, apa yang kamu punya disini?" Arfan membuka beberapa aplikasi untuk mencari sesuatu. Galeri, album, media sosial, tapi dia tak menemukan apapun. Bahkan didalam aplikasi paling tersembunyi sekalipun dirinya tak menemukan hal aneh. Hanya foto-foto biasa yang sering dimiliki seorang gadis remaja seumuran Dygta.
Juga beberapa foto keluarganya. Ibu, ayah dan adik-adiknya. Juga foto dirinya yang sedang menggendong Amara.
Arfan mengerutkan dahi.
"Kapan dia mengambil gambar ini?" Arfan mengklik fotonya bersama Amara. Lalu muncul beberapa foto lainnya juga.
Dahinya semakin berkerut keras ketika menemukan beberapa gambar dirinya dengan latar dan suasana yang berbeda. Mungkin puluhan gambar.
Arfan menahan napas ketika dia menemukan gambar dirinya dalam balutan jas berwarna abu-abu. Dan hanya itu sagu-sstunya foto pria dengan jas abu-abu.
Astaga! tidak mungkin!
Dan semakin banyak lagi foto yang bermunculan.
Dia mendongak. Menatap gadis itu yang sedang asyik bermain dengan putrinya di arena permainan.
Tidak mungkin yang dia maksud itu aku kan? batin Arfan terus bermonolog.
Bagaimana bisa? ini tidak mungkin. Dia sudah seperti ...
Arfan segera mengutak ngatik ponsel milik Dygta, mengaturnya sedemikian rupa hingga dalam sekejap mata, beberapa aplikasi pada benda tersebut tersambung dengan miliknya.
Lalu segera mematikan ponsel nya dan bersikap biasa kala gadis itu, juga Amara tampak menyudahi acara bermain mereka, yang kemudian keluar dari arena bermain.
"Mama belum beres ya ketemuan sama temannya?" Dygta kembali duduk di sisi kosong kursi yang di duduki Arfan.
Pria itu menggeleng pelan.
"Dimitri sama si kembar?"
Arfan menggeleng lagi.
"Ish, ... om mulai nyebelin. Udah bt ya?" Dygta mencibir.
Arfan tak menjawab, dia hanya menatap gadis itu dengan ekor matanya. Lalu menyerahkan ponsel milik Dygta.
"Lain kali jangan meninggalkan benda sepenting ini di sembarang tempat. Kamu akan sulit ditemukan."
Dygta membeku, seketika wajahnya memucat, lalu dia menelan ludahnya dengan susah payah.
Kamu tertangkap! batin Arfan.
Dygta segera meraih benda tersebut. Melirik sekilas ke arah Arfan, lalu menyalakan ponsel.
Masih terkunci.
Gadis itu membukanya dan memeriksa apakah ada yang aneh, namun tak dia temukan. Akhirnya Dygta memasukkan benda pipih tersebut ke saku belakang celananya.
"Om nggak buka hape aku kan?" tanya Dygta dengan curiga.
"Tidak. Untuk apa?" Arfan menggendikkan bahu.
"Bener juga. Lagian aku pola juga layarnya. Nggak mungkin bisa dibuka. " Dygta tergelak.
Arfan tak menyahut.
"Mau es klim." Amara menarik ujung pakaian Dygta.
"Apa? Ara mau es krim?" Dygta membungkuk.
"Hu'um, ..." gadis kecil itu mengangguk.
"Om, Ara mau es krim." Dygta menoleh ke arah Arfan.
"Sudah dengar." pria itu bangkit. "Kamu tunggu disini, awasi adik-adikmu." perintah Arfan seraya berjalan menuju stand es krim tak jauh dari mereka.
"Aku juga mau." ucap Dygta lagi, membuat pria itu berhenti berjalan, lalu menoleh dengan malas.
"Rasa stroberry vanillla, ya?" lanjut gadis itu, dengan cengiran khas nya.
Arfan hanya memutar bola matanya, jengah, lalu kembali melangkah menuju stand es krim sambil menggelengkan kepala.
Kenapa aku harus terjebak dengan gadis ini disini? batinnya.
***
Dua buah es krim dengan rasa yang sama Arfan serahkan kepada Dygta dan putrinya, yang segera menerima dengan girang. Dygta bahkan menepikan kedua tangannya dengan senyum semringah seakan telah mendapatkan hal yang paling diinginkannya di dunia.
Hah, dewasa apanya? Dia bahkan masih bersikap seperti balita hanya karena sebuah es krim? batin Arfan.
Lalu kedua anak perempuan di depannya mulai memakan makanan dingin berperisa manis tersebut.
"Dim juga mau...
"Aku juga ..
"Aku juga...
Tiga bocah lainnya datang tanpa diketahui. Berlari menghampiri mereka yang tengah asyik menikmati es krim dalam kedamaian.
Arfan menarik napas lalu menghembuskannya dengan cepat. Kemudian kembali mendatangi stand es krim untuk membeli tiga buah es krim dengan rasa yang sama pula.
Kenapa aku merasa jadi ayah tunggal dengan lima anak sekaligus? Bahkan anakku sendiri tidak pernah merepotkan seperti ini.
Dia melirik Amara yang melahap es krim miliknya dalam diam dan tenang, sementara tiga bocah laki-laki di sisi lainnya selalu meributkan hal tidak penting.
"Kenapa punya kak Dim lebih banyak?"
"Kenapa punya Daryl stroberynya sedikit?"
"Kenapa punya Darren Vanilla nya banyak?"
"Kenapa cone aku kecil? punya kamu lebih besar?"
Dan hal-hal tak penting lainnya, padahal segalanya Arfan beli dengan ukuran dan jumlah yang sama. Karena dia tahu tiga bocah ini akan selalu berdebat tentang masalah apapun.
Kemudian dia melirik gadis yang asyik melahap es krim sambil memainkan ponsel di tangannya.
Arfan kembali menghela napas,
Dia bahkan tidak peduli dengan sekelilingnya. Bagaimana aku bisa memalingkan perhatian darinya? batin Arfan lagi.
*
*
*
*
"Ayo kita pulang?" Sofia yang baru saja tiba.
"Sudah?" Arfan mendongak.
Sofia menganggukkan kepala, lalu pandangannya tertuju pada lima anak yang tengah menikmati es krim dan beberapa camilan dengan asyiknya.
"Ah, ... manis sekali. Kamu menjaga mereka dengan baik." Sofia menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya.
"Tidak salah suamiku menyuruh kamu menemani kami. Karena kamu memang sebaik itu." puji Sofia.
"Jangan berlebihan," sergah Arfan. "Aku hanya membuat mereka agar diam dan tidak banyak tingkah." katanya lagi.
"Hmmm ...Memang hanya kamu yang mengerti anak-anak selain aku dan papinya."
Arfan kembali memutar bola matanya.
Pujiannya mengandung modus tertentu. gumamnya dalam hati.
Arfan melihat jam di pengelangan tangannya. Hampir dua jam perempuan itu meninggalkan mereka di arena bermain hingga kini petang telah menjelang.
Pantas saja.
"Ayo, ayo kita pulang..." ucap Sofia yang menggerakkan tangannya untuk mengajak anak-anak keluar dari tempat itu. Menggiring mereka menuju lift yang kebetulan pintunya sudah terbuka.
"Sepertinya kamu harus membelikan sesuatu untuk suamimu agar saat tiba di rumah nanti dia tidak merajuk karena kalian pergi satu jam lebih dari yang dia ijinkan." Arfan mengingatkan saat mereka sudah berada di dalam lift.
"Aku sudah belikan dia hadiah." Sofia menepuk paper bag di tangannya.
"Kamu belikan apa? hati-hati, dia akan marah nanti." Arfan dengan sedikit ejekannya.
"Dia tidak akan marah."
"Yakin?"
"Hmmm ..." Sofia mengangguk.
"Kamu yang tanggung, ya? Aku tidak akan bisa membantu." kini mereka sudah tiba di tempat parkir hanya dalam beberapa menit.
"Diamlah, cepat kita masuk mobil dan pulang sebelum malam." ucap Sofia, yang kemudian masuk kedalaman mobil miliknya, bersama ketiga anak laki-lakinya.
Sementara Arfan masuk ke mobil yang dibawanya, bersama Dygta dan Amara yang sudah hampir tertidur di pelukan gadis itu.
*
*
*
*
Bersambung...
Masih puasa kan? semangat!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
qurro thul
sdh hapal sampai khatam 🤣
2023-10-16
0
Hearty 💕
Ketemu akhirnyA
2023-10-06
0
Suri Ptr Doank
mak othorku tersayang Q kembali lagi sama kang jahe🤣🥰
2023-06-28
0