*
*
Dygta sudah berada di bawah selimut, namun rasa kantuk tak kunjung mendatanginya. Dia hanya berguling-guling di tempat tidur tanpa tahu harus melakukan apa.
Beberapa hari ini dirinya memang mengalami sulit tidur, padahal biasanya jam malamnya normal-normal saja. Dia akan tertidur jika memang sudah waktunya untu tidur tanpa mengalami kesulitan sedikitpun.
Namun sudah beberapa hari hal ini agak sulit dilakukan. Pikirannya sering terganggu akhir-akhir ini.
"Aaaa, .... aku ini kenapa?" Dygta mengusak rambutnya dengan kasar. Lalu menyalakan lampu tidur yang terletak di samping ranjang. Lalu bangkit.
Ting!
Suaran notifikasi pesan di ponsel Dygta berbunyi nyaring. Gadis itu meraihnya lalu menyalakan ponselnya untuk melihat pesan.
Evan.
[Dygta?]
Dygta mendengus, lalu melempar ponselnya ke atas bantal.
Kenapa dia mengirim pesan malam-malam begini? batinnya.
Lalu kembali menjatuhkan dirinya ke atas tempat tidur.
Suara tanda pesan masuk berbunyi lagi.
[Dygta?] pesan dari Evan lagi.
[Apa Van?] akhirnya gadis itu memutuskan untuk menjawab pesan.
[Kamu belum tidur?] pesan dari Evan lagi.
[Kalau udah tidur nggak mungkin bales pesan kamu kan?] balas Dygta
Evan hanya mengirim emot senyum.
[Ada apa?] Dygta bertanya.
[Cuma mau ngobrol.] jawab Evan.
[Tiap hari ketemu di sekolah juga ngobrol?] balas Dygta.
[Beberapa hari ini nggak.]
Dygta terdiam.
[Dygta?] pesan dari Evan lagi.
Gadis itu menghembuskan napas kesal dan menyingkirkan ponsel agak jauh darinya, tak lagi berniat untuk membalas pesan dari teman sekelasnya itu.
Namun pikirannya malah mengembara pada seseorang yang berada jauh di sana.
"Ish, ... kenapa pikiran ini ngawur!" keluhnya ketika wajah Arfan yang hadir dalam ingatannya. Dia menepuk kepalanya beberapa kali.
Dygta bangkit lagi, lalu mengusap kasar wajahnya.
Sepertinya aku gila! batinnya.
"Oh, ... ya Tuhan! kenapa aku begini?" rengeknya pada dirinya sendiri. Lalu kembali menjatuhkan kepalanya ke atas tempat tidur, memegangi kepalanya sendiri.
"Dia itu om Arfan, Dygta! asistennya papi!" gumamnya.
Aku dari kecil selalu dengan dia, tapi kenapa sekarang ada rasa yang lain setiap kali melihat om Arfan?
Ponselnya berbunyi lagi dua kali, membuat Dygta kembali mendengus sebal.
Dia itu! kenapa selalu mengganggu? gerutunya, seraya kembali meraih ponsel yang tadi dia lempar. Lalu mengusap layar untuk membuka kunci, yang langsung masuk ke aplikasi pesan chat.
Matanya membulat sempurna ketika ada pesan yang masuk dari sebuah nomor yang tak dia sangka akan mengiriminya pesan di jam malam seperti itu.
[Dygta?] pesan dari Arfan.
Dygta merasakan jantungnya akan segera meledak ketika membaca pesan pertama.
Astaga!
[Dygta, kamu belum tidur?] satu pesan masuk lagi dari Arfan.
Dygta sampai menjatuhkan ponsel di atas wajahnya ketika membaca pesan kedua.
Ya Tuhan, ya Tuhan, bagaimana ini? gadis itu bangkit, lalu mengguncang-guncangkan ponselnya.
[Dygta!] pesan dari Arfan lagi.
Dygta menelan ludahnya dengan susah payah. Lalu mengetik balasan dan mengirimnya.
[Ya om?]
[Kamu belum tidur] Arfan segera membalas.
[Belum om.] jawab Dygta.
[Kenapa? ada masalah?] Arfan bertanya.
[Nggak.] Dygta membalas lagi.
[Terus kenapa belum tidur? ini sudah malam.]
Dygta tak membalas. Dia terdiam menatap layar ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Jantungnya bahkan berdegup dengan sangat kencangnya.
[Dygta!!] Arfan mulai kesal.
[Ya om?] Dygta kembali membalas dengan cepat.
[Cepat tidur!] balasan Arfan.
[Iya om.]
[Sekarang!] perintah pria itu, terlihat tegas.
Terbayang di kepala Dygta bagaimana ekspresi Arfan jika dia mengucapkan kata itu di depannya.
[Iya om.] balas Dygta lagi, kemudian keluar dari aplikasi pesan dan segera mematikan ponselnya. Seolah dia melakukannya secara otomatis setelah Arfan memerintahkan.
Dia pun segera kembali merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur seperti sebelumnya. Bergelung dibawah selimut dan mencoba memejamkan kedua matanya. Yang kemudian tiba-tiba terbuka lagi setelah dia menyadari sesuatu.
Ya Tuhan! aku memang sudah gila! gumamnya dalam hati.
*
*
*
Satria berdiri di balkon kamarnya, dengan secangkir kopi yang dibawakan Sofia beberapa menit yang lalu. Menikmati suasana malam yang cukup sunyi.
Menatap lampu kota yang berkelap-kelip dari kejauhan seperti hamparan bintang di langit kelam sana.
Sepasang tangan merayap menyelinap dari belakang, lalu melingkar di tubuhnya. Memeluknya dengan erat.
Satria tersenyum. Aroma manis dari tubuh istrinya menguar di indera penciumannya. Dia meletakkan cangkir kopi di meja, lalu menoleh.
"Terimakasih, sayang." Sofia berjinjit untuk mensejajari tinggi tubuh Satria, lalu mengecup pipi suaminya itu dengan lembut.
"Berterimakasih untuk apa?" Satria menyentuh lengan yang sedang melingkar di perutnya.
"Karena kamu sudah melakukan banyak hal hari ini." jawab Sofia yang setengah berbisik di telinga Satria, lalu kembali mengecup pipi suaminya hingga wajah tegas pria itu seketika merona.
"Misalnya?" dia melonggarkan lilitan tangan Sofia, lalu bergerak memutar tubuhnya. Kini mereka berhadapan.
Matanya membulat melihat penampilan istrinya yang mengenakan gaun tidur sutra tanpa lengan berwarna cream, dengan belahan dada yang cukup rendah. Membuat dua bulatan indah miliknya menyembul dari dalam.
Satria menelan ludah, tenggorokkannya tiba-tiba terasa kering.
"Pertama, kamu menghibur hati Dimitri, sehingga dia melupakan kekecewaannya setelah kalah pertandingan tadi siang." Sofia mengingat ketika suaminya itu berlari dari bangku penonton dan masuk ke lapangan untuk menemui putranya yang tengah menangisi kekalahannya di pertandingan.
"Lalu?" Satria memiringkan kepalanya, senyuman terus tersungging di bibirnya.
"Kedua, kamu membawa kami semua makan dan menghibur teman-temannya Dimitri. Dan itu membuat banyak orang tua bahagia hari ini." kemudian dia mengingat ketika suaminya itu memutuskan untuk menyewa sebuah foodcourt demi teman satu tim putranya, dan membuat kekecewaan anak-anak itu sirna seketika.
"Itu bukan apa-apa." Satria menggendikkan bahu. "Ketiga?"
Sofia tersenyum. "Kamu ayah yang hebat!"
Satria tergelak. "Aku memang hebat, kan?" katanya, dengan sombongnya.
Sofia menganggukkan kepala. "Iya, kamu hebat, dan sangat keren!" Sofia terlanjur memuji suaminya, sekalian saja terus menyanjungnya agar hatinya senang, begitu pikirnya.
"Ada lagi?" ucap pria itu kemudian.
"Mm ..." Sofia seperti berpikir.
"Masa cuma tiga?"
"Memangnya harus banyak?"
"Hmm ..."
"Apa ya?" Sofia berpikir keras. Dia harus segera menemukan hal lainnya untuk menyenangkan hati suaminya yang sedang narsis ini.
Satria terdiam mengulum senyum, menikmati pemandangan indah di depan matanya. Instrinya yang selalu terlihat menggemaskan dengan ekspresi bingung seperti itu.
Ditambah penampilannya malam ini yang terlihat mempesona. Maksudnya, baginya perempuan itu memang selalu terlihat mempesona setiap hari. Terutama ketika waktunya tidur. Dengan pakaian tidur yang terlihat menggoda, apalagi ketika dia sudah tak berpakaian. Membuat dadanya berdegup lebih kencang dari sebelumnya.
Satria dengan otak kotornya yang berputar mencari ide.
"Oh iya, ... kamu meluangkan banyak waktu hari ini. Meninggalkan pekerjaanmu yang begitu banyak demi menghadiri pertandingan Dimitri. Dan itu sangat berarti bagi dia, juga buat aku. Rasanya bahagia melihat putra kita juga bahagia. Terimakasih sayang." akhirnya perempuan itu menemukan senjata pamungkasnya.
Terbukti satria tersenyum lebar setelah mendengar kalimat terakhir yang dia ucapkan.
"Kamu selalu memiliki kata-kata yang indah untuk diucapkan. Dari mana semua itu berasal?" Satria menghapus jarak diantara mereka. Meraih pinggang ramping Sofia, lalu memeluknya dengan erat.
"Entahlah, itu muncul begitu saja jika kita berduaan seperti ini." jawab Sofia.
"Tapi kamu harus tahu, aku mengorbankan waktu berhargaku demi hari ini." Satria berujar.
"Ya, aku tahu. Banyak yang kamu korbankan demi satu hari bersama putramu." Sofia mengangguk.
"Dan harus ada kompensasi untuk itu." Satria berbisik di telinga Sofia.
"Ko-kompen-sasi?" tubuh perempuan itu menegang. Otaknya berputar cepat.
Satria tersenyum lalu mengangguk pelan.
"Kompensasi seperti apa?" Sofia mulai waspada.
Satria tersenyum.
"Anak-anak sudah tidur?" bisiknya, seraya melirik jam di pergelangan tangannya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam.
"Sudah dari tadi." jawab Sofia.
Satria terus tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya untuk meraih bibir sensual milik Sofia. Memagutnya dengan penuh perasaan.
Dadanya seketika bergemuruh dengan hasrat yang meningkat sejak beberapa saat yang lalu.
Dia mendorong Sofia masuk ke dalam kamar tanpa melepaskan tubuh perempuan itu dari pelukannya. Lalu menggiringnya ke tempat tidur mereka.
Dia mengungkung tubuh Sofia dibawahnya, yang sudah tak berpakaian seperti dirinya.
"Ah, ... sayang!" Sofia mengerang ketika sesuatu menerobos inti tubuhnya.
Satria menggigit bibirnya, merasakan miliknya yang di cengkeram kuat, seperti biasa.
Rasanya masih sama seperti saat mereka pertama kali melakukannya.
Hentakan dimulai dengan perlahan untuk menyesuaikan diri. Sofia kembali mengerang, dan mencengkeram kedua lengan suaminya dengan posesif. Yang terdengar erotis di telinga Satria.
Membuat pria itu tak bisa menahan diri. Lalu menambah temponya dengan segera hingga semuanya terjadi mengalir begitu saja.
Hasrat yang kian menggila di setiap hentakan, diiringi perasaan yang semakin besar di setiap detiknya. Segalanya selalu semakin indah setiap kali mereka bersama.
Dia bahkan lupa segalanya, melupakan dirinya sendiri dan segala yang telah terjadi di dunia. Dia bahkan lupa dengan usianya yang tak semuda dulu, tapi gairahnya masih tetap sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sofia selalu membuatnya merasa muda, entah seberapa banyak mereka melakukannya, rasanya masih tetap sama, dan semakin indah setiap harinya.
"Oh, sayang, ... "Sofia mengerang setelah bebrapa lama. Tangannya semakin kencang mencengkeram, lalu memeluk tubuh Satria dengan posesif.
Sesuatu dibawah sana juga mencengkeram semakin kuat. Lalu tubuh perempuan itu menegang seketika, diikuti lolongan terahan dari mulutnya.
Satria mempercepat hentakannya, dan segera menghujam keras ketika dia merasakan dirinya meledak, dengan sesuatu yang memancar dari dalam tubuhnya, lalu melebur menjadi satu dalam tubuh Sofia. Diikuti geraman rendah ketika dia menyurukkan wajahnya di belahan dada perempuan itu.
*
*
*
Bersambung ...
Astojim... papi! masih aja? hadeh ...😅😅😅
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-02-27
0
Linda yani
papi sama mami masih hot kalah anak muda😀😀wah dygta n hatinya lagi kesem sem sama om arfan
2022-09-28
0
Mam ann
itu ayahku kok ada di situ Thor km ambil ya fotonya nanti ibuku marah thor😢
2022-07-28
0