*
*
Dygta menelungkupkan wajahnya di meja kantin pada jam istirahat siang itu. Semangkuk mie goreng dan segelas jus mangga yang di pesannya tidak dia sentuh sedikitpun. Selera makannya sedang buruk hari ini.
Seseorang tanpa canggung menyesap jus mangga yang gelasnya sudah berembun itu. Dygta mengangkat kepalanya sebentar, kemudian dia kembali lagi ke posisinya yang semula.
"Kenapa sih dari pagi kayaknya kamu nggak bersemangat?" Vivian duduk di depan gadis itu. Meletakkan kotak makanan miliknya, lalu bersiap untuk menikmatinya.
Dygta tak menjawab. Namun dia kembali mengangkat kepala, lalu menopangnya dengan sebelah tangannya.
"Kamu pernah suka nggak sama cowok?" Dygta memulai percakapan.
Vivian menghentikan kegiatan makannya, lalu menatap wajah teman sekelasnya itu dengan kening berkerut. "Sering." jawabnya kemudian. Lalu wajahnya berubah ketika menyadari sesuatu. Dia tersenyum.
"Kamu lagi suka sama cowok ya?" ejeknya.
"Mungkin." jawab Dygta.
"Mungkin? kok gitu?" Vivian kembali mengerutkan dahi.
"Aku juga nggak yakin." Dygta menjawab lagi.
"Hmmm ..." Vivian menggumam. "Evan?" tanyanya, seraya melirik ke sisi lain kantin dimana pemuda yang dia maksud tengah berkumpul dengan teman satu genk nya. "Aku kira kamu nolak dia lagi?"
Dygta pun menoleh ke arah yang sama, lalu mereka kembali saling pandang. Kemudian Dygta menggeleng pelan. "bukan." katanya.
"Terus siapa?" Vivian kembali menyuapkan makanan ke mulutnya, lalu mengunyahnya dengan cepat.
Dygta tak ingin menjawab.
"Emh, ...rumit." gumam Vivian lagi.
"Memang rumit kalau ternyata perasaan ini benar-benar rasa suka. Duh, ..." Dygta menutup wajah dengan kedua tangannya.
"Kenapa memangnya?" Vivian kembali bertanya.
"Mungkin aku salah." jawab Dygta.
"Salahnya dimana?"
Dygta terdiam sebentar.
"Aku suka sama yang lebih tua." jawabnya, agak ragu.
Vivian hampir saja menyemburkan makanan yang ada di mulutnya, lalu gadis bersurai coklat itu terbatuk seketika. Kemudian dia menepuk-nepuk dadanya sendiri sekadar untuk melegakan perasaannya.
"Serius? uhuk uhuk... " dia masih terbatuk.
Dygta menggeser jus mangga miliknya yang tadi sudah di sesap terlebih dahulu oleh teman satu kelasnya itu. "Minumlah." katanya, kepada Vivian. Lalu gadis itu menyesapnya dengan cepat.
"Siapa?" Vivian mengusap mulut dengan punggung tangannya. "Guru? Atau anak kuliahan? " tanya Vivian kemudian.
Dygta menggeleng lemah. Dia tak berniat mengatakan apapun sebenarnya, bisa heboh seluruh sekolah jika saja dia mengatakan hal pribadi semacam ini terhadap Vivian. Gadis itu bisa saja menyebarkan hal itu diantara teman-teman yang lainnya, bukan?
Dygta bergidik.
*
*
"Sudah kamu pastikan semuanya aman?" Satria yang duduk di kursi kerjanya, setibanya dia dari meeting terakhir sore itu.
"Sudah pak. Koordinasi dengan kepala sekolah dan pembina ekstrakulikulernya sudah saya lakukan tadi." jawab Arfan, yang kemudian duduk di kursi di depan Satria. "tadi pagi beberapa orang kita juga sudah melakukan penyisiran di tempat camping. Dan dipastikan tempat itu aman." lanjutnya.
"Baguslah." Satria merebahkan punggungnya pada sandaran kursi. "Apa kamu pikir ini adalah hal yang baik? dengan membiarkan dia sendirian di luar sana?" pria itu berujar, pandangannya menerawang langit-langit di ruang kerjanya seolah hal itu dapat mengurangi kerisauan hatinya.
"Dia tidak sendirian, pak. Ada teman-reman sekelas, guru pendamping, juga staf dari cagar alam." tukas Arfan.
"Kamu tahu, aku selalu merasa khawatir jika dia berada jauh dari rumah. Seolah-olah dia berada dalam bahaya." Satria terkekeh. "Apa aku berlebihan? karena yang aku ingat, dia sama cerobohnya dengan ibunya. Tidak bisa lepas dari pengawasan sedikit saja, dia pasti akan mengalami sesuatu. Entah itu diganggu seseorang, atau hal lainnya." Satria mengingat beberapa kejadian ketika Dygta masih kecil. Saat gadis itu sering mengadu telah di ganggu teman sekelasnya. Atau terjadi sesuatu kepadanya.
Arfan menghirup napas dalam, "Dia sudah dewasa sekarang. Mungkin sesekali kita harus membiarkan dia melakukan apa yang di inginkannya. Memberinya sedikit kepercayaan agar dia terbiasa mandiri nantinya."
"Kamu tahu, sedikit kepercayaan berarti banyak hal untuk dia." Satria menyela.
"Ya, dan dia senang akan hal itu." Arfan mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Memeriksa pesan yang masuk, dan memeriksa nomor Dygta, kalau-kalau gadis itu sudah mengaktifkan lagi poselnya.
Namun keningnya berkerut ketika melihat keterangan dibawah nama kontak gadis itu yang masih tertulis aktif di waktu terakhir sebelum dia menjatuhkan ponsel dan menghancurkannya kemarin.
"Ada masalah?" Satria bangkit.
"Dygta belum mengaktifkan nomornya lagi. Atau dia memang belum mengaktifkan ponselnya?" Arfan menunjukkan layar ponselnya kepada Satria.
"Memangnya kenapa?" pria itu menatap layar ponsel Arfan.
"Memang dia tidak bilang jika ponselnya hancur kemarin siang?" tanya Arfan.
"Hancur?" ucap Satria, lebih terdengar seperti pertanyaan.
"Ya,... kemarin dia berebut dengan Dimitri, ..." jawab Arfan.
"Berebut? kenapa mereka berebut?"
"Dimitri memergoki kakaknya melihat foto laki-laki di ponselnya."
"Foto anak laki-laki?" Satria mencondongkan tubuh ke arah asistennya itu.
Arfan mengangguk.
"Siapa? teman sekelas?" tanya Satria lagi.
"Belum di ketahui pak, ponselnya jatuh sebelum saya lihat." Arfan menjawab.
"Jatuh? pendeknya rusak?"
"Hancur pak."
"Tapi dia belum mengatakan apapun soal ponselnya."
"Sudah saya belikan yang baru, pak." jawab Arfan.
"Hmmm ..."
"Apa dia sudah punya pacar sekarang?" Satria mulai penasaran.
"Belum, pak. Walau ada teman sekelasnya yang menyukai dia, tapi sejauh ini mereka masih biasa saja."
"Kamu yakin?"
"Yakin pak."
"Lalu foto siapa yang dia lihat di ponselnya?" Satria kembali merebahkan tubuhnya.
"Nanti kita cari tau lewat Dimitri." Arfan berujar, seraya bangkit dari tempat dia duduk.
"Kamu tahu, alarm bahaya di kepalaku ini seperti berbunyi ketika mendengar dia berhubungan dengan anak laki-laki." Satria kembali berucap.
"Belum, pak." sergah Arfan.
"Maksudku, dia sudah besar sekarang, dan mungkin sudah mulai memiliki rasa suka terhadap lawan jenis. Mungkin sebentar lagi dia akan punya pacar?"
Arfan terdiam.
"Mengapa hatiku rasanya seperti tidak rela begini? mengetahui fakta bahwa anak itu kini dewasa, dan akan bersama orang lain? maksudku, dia akan bersama orang asing yang entah akan memperlakukannya seperti apa. Aku yang membesarkan dia. Mencurahinya dengan kasih sayang penuh walau dia bukan anak kandungmu sendiri. Tapi aku menyayangi dia sama seperti adik-adiknya." Satria bicara panjang lebar.
"Sebagai ayah sambungnya, apa aku berlebihan?" dia menatap asistennya yang diam menyimak segala ucapannya.
Arfan menggeleng pelan. Dia pun merasakan hal yang sama. Mengetahui gadis itu sudah tak seperti anak umur 9 tahun yang selama ini dia jaga dengan penuh tanggung jawab, dan mendapati kenyataan bahwa Dygta kini sudah beranjak dewasa membuatnya merasakan sesuatu yang lain. Ada sudut hatinya yang tak rela gadis itu mengenal laki-laki selain dirinya dan Satria.
Ah, ... hal gila macam apa ini? Perasaannya sama seperti pria di hadapannya ini. Mungkin karena dirinya sudah mengenal gadis itu sejak kecil? Sehingga batinnya memang sudah tertambat kepadanya. Sama seperti Satria yang menyayanginya seperti anaknya sendiri?
Tubuh Arfan menegang.
Karena pada kenyataannya bukan itu yang dia rasakan kini.
Ada hal lain setiap kali dia mengingat Dygta.
Perasaan ini, ...
Dadanya berdegup lebih kencang dari biasanya.
"Kamu dengar Arfan?" suara Satria membuyarkan lamunannya.
"Ya pak?" Arfan menyahut.
"Pastikan saja semuanya aman untuk Dygta, jangan ada kesalahan." ucap Satria, yang terlihat menyalakan laptop, sepertinya pria itu akan kembali memulai pekerjaannya.
"Baik pak. Apa saya perlu mengirim seseorang untuk mendampingi Dygta?"
Satria terdiam sebentar, lalu menole ke arah asistennya tersebut.
"Dia akan marah jika tahu kamu melakukan itu." jawab Satria.
"Ya, ... memang. Tadi pagi dia sudah mengancam." Arfan terkekeh mengingat ekspresi gadis itu ketika hampir marah saat dirinya hanya memastikan masalah camping kepada kepala sekolah.
"Hmm, ... kamu tahu sendiri kan?"
"Iya pak."
"Lakukan saja yang terbaik. Jangan sampai dia tahu." ucap Satria kemudian.
"Baiklah." Arfan menganggukkan kepala. Lalu pergi setelah semuanya selesai dia sampaikan kepada atasannya itu.
*
*
*
Bersambung...
makasih genks, karena selalu mampir di cerita ini. Semoga kalian nggak bosan.
Biasa ya like komen sama hadiah nya. 😘😘😘
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
Susi Andriani
yg matang lebih menantang🤭🤭🤭
2024-08-20
0
Aprilia***
AQ jg lebih suka sama yg lebih tua ralat yg lebih dewasa🤭 buat aq punya pasangan yg lebih dewasa it nyaman dan bisa mengayomi to kenyataan dpat nya yg seumuran 😁😁😁
2022-01-18
2
Liiee
babang arfan puber kedua😄
2021-12-23
1