*
*
"Papa!" seorang bocah berusia tiga tahun berlari dari dalam rumah, menyambut kedatangan Arfan yang baru saja turun dari mobilnya pada hampir petang itu.
Rambut hitam ikalnya berhamburan diterpa angin sore yang berhembus dihalaman rumah.
Arfan membungkuk sambil merentangkan tangannya, menyambut putri kecilnya yang segera menghambur ke pelukannya.
"Hey sayang!" dia memeluk tubuh kecil Ara dengan erat. Menghirup aroma khas balita yang selalu dia rindukan.
"Hari ini Ara ngapain aja?" tanya Arfan, kepada sang putri, seraya berjalan masuk ke dalam rumah tanpa melepaskan gadis kecil itu dari pelukannya.
"Main sama suster." jawab bocah perempuan itu, yang juga tak melepaskan tangan kecilnya dari leher sang ayah.
"Main apa?"
"Rumah-rumahan, Barbie, pasir ..." celotehnya, dengan suara cadel khas balita.
Arfan terkekeh, lalu menciumi kepala bocah cantik itu.
Dia membawanya melewati tangga ke lantai dua rumah mereka.
"Papa ..." Ara berbisik.
"Ya sayang?" sahut Arfan.
"Lihat mama?" ucap bocah itu, telunjuknya mengarah pada pintu kamar di ujung lantai dua itu.
Arfan tertegun lalu menatap wajah polos putrinya.
"Ara mau lihat mama?" tanya nya.
Gadis kecil itu mengangguk.
"Sebentar aja ya?" ucap Arfan, dia berjalan menuju kamar di ujung tersebut.
Arfan perlahan membuka pintu kamar. Dengan pelan dan berhati-hati, seolah takut mengganggu penghuni di dalamnya.
"Mama?" Ara berbisik.
"Ssssttt, jangan berisik. Mama lagi bobo." bisik Arfan.
Bocah itu langsung menutup mulutnya, lalu berbisik di telinga Arfan, "Maaf." katanya.
Arfan tersenyum getir, seraya mengusap kepala putrinya dengan lembut.
"Udah ya? mamanya lagi istirahat." ujarnya, seraya mundur perlahan.
Ara mengangguk lagi.
Arfan tertegun sebentar, lalu menghela napas dalam dan pelan. Dia menatap sosok itu yang terbaring lemah di tempat tidur dengan bebebagai alat penyangga kehidupan yang menempel di tubuhnya.
Mytha, sang istri yang terbaring koma, satu Minggu pasca kelahiran putri mereka Amara Paramitha Sanjaya, dengan jalan Caesar tiga tahun lalu.
Anak yang mereka tunggu kehadirannya setelah enam tahun berumah tangga. Meski harus di tukar dengan nyawa Mitha yang hampir hilang. Namun tetap tak pernah menghilangkan rasa syukur dirinya, walaupun rasa sedih pula menghinggapi hati. Harus mengurus putri semata wayang mereka sendirian tanpa peran Mytha sejak bayi.
Arfan kembali menutup pintu dengan sangat hati-hati, seolah suara sekecil apapun dapat menganggu tidur panjang istrinya yang begitu lelap dan dalam.
"Papa mau mandi, Ara diem disini ya?" Arfan menurunkan putrinya di tempat tidur setelah mereka tiba di dalam kamar miliknya.
"Ya papa." jawab Ara, yang perhatiannya langsung tertuju pada ponsel milik ayahnya yang tergeletak di dekatnya.
Arfan tersenyum, lalu segera menghambur kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
***
Bocah itu tengah berceloteh riang di depan layar ponsel yang menyala ketika Arfan keluar dari kamar mandi setelah menuntaskan urusannya. Dengan bertelanjang dada, hanya mengenakan joggerpants berwarna hitam miliknya.
Ara berbicara dengan bahasa yang tak begitu pria itu mengerti. Diselingi tawa ceria sambil menunjuk-nunjuk layar ponsel milik ayahnya.
"Ara lagi apa?" Arfan mendekat.
"Video call." jawab gadis kecil itu, dengan logat cadel khas nya.
"Ara bisa?"
"Bisa." jawab Ara lagi.
"Video call siapa?"
"Kakak Dita."
"Kakak Dita?" Arfan mengerutkan dahi, dia mengingat nama kontak di ponselnya, namun tak ada satupun kontak dengan nama itu.
"Hum, ..." Ara mengangguk. "Kakak Dita." dia menunjukkan layar ponsel kepada ayahnya, yang menampilkan sambungan video call dengan nomor Dygta. Yang dengan serius nya juga menatap layar ketika Arfan mendekat.
Dygta menatap layar ponselnya dengan mulut menganga, ketika melihat tampilan pemilik nomor yang tengah bervideocall ria bersamanya.
Menatap asisten ayah sambungnya yang bertelanjang dada terpampang dilayar.
"Mm ... hai om?" katanya, yang tersadar. Melambaikan tangan dengan raut gugup.
"Hmm ...om kira siapa? Ara menyebut kamu kakak Dita." Arfan yang hampir mengenakan pakaian rumahannya.
"Eee ...." Dygta menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Aku kira om yang telfon. Taunya Ara. Hehe ..." Dygta terkekeh dengan kedua pipi yang merona.
Pemandangan di layar ponsel sungguh mengganggu konsentrasinya. Dada bidang, lengan kekar dan perut kotak-kotak. Ini pertama kalinya dia menatap tubuh shirtless seorang pria dewasa selain Satria. Itupun sudah jarang terjadi, ketika dirinya sudah beranjak dewasa seperti ini.
"Ng ... Ara sayang, udahan dulu ya? Kakak ada pr." Dygta mengalihkan perhatiannya ke sembarang arah.
"Hum?" bocah itu kembali menghadapkan layar ponsel dengan wajahnya.
"Dadah Ara!" Dygta melambaikan tangannya, lalu mengakhiri panggilan tanpa menunggu jawaban.
*
*
*
*
"Dygta!" seseorang memanggil gadis itu dari belakang, membuat dia menoleh.
"Hmm ..." dia menggumam.
"Kamu ikut?" seorang gadis sebayanya berlari menghampiri. Vivian.
"Apa?" Dygta mengerutkan dahi.
"Camping wekend ini? sebelum UTS." Vivian menunjukkan selembar famflet yang dia dapat dari majalah dinding di lorong sekolah.
"Ng ... mau sih, tapi aku belum ijin." mereka berjalan bersisian menuju kelas. "Kamu sendiri?"
"Ikut, dong. Pasti seru." jawab gadis itu.
"Hm ... aku nggak yakin kali ini di ijinin."
"Masih juga?" Vivian terkekeh. "Aneh banget?"
Dygta menggendikkan bahunya.
"Udah dewasa, tapi masih diperlakukan kayak anak TK!" cibirnya.
"Diamlah!" Dygta mengibaskan tangan kepada Vivian. Gadis itu tertawa mengejek, lalu berlari kedalam kelas.
"Hey!" seseorang menghadangnya diambang pintu kelas.
Pemuda yang juga masih sebaya dengannya. Evan.
"Apa lagi sih?" keluh gadis itu yang merasa perjalanannya terganggu.
"Obrolan kita belum selesai kemarin." Evan berujar.
"Obrolan yang mana?"
Evan melipat kedua tangan di dada. "Kamu pura-pura lupa?"
Dygta menghela napasnya, lalu mendorong tubuh pemuda itu. Dan segera masuk kedalam kelas.
"Dygta!" sergah Evan.
"Udah ah, ..."
"Kamu belum jawab aku kemarin?"
"Aku belum mau pacaran!" gadis itu setengah berteriak, membuat sebagian isi kelas menoleh ke arah mereka.
"Tapi ...
"Kalau itu yang mau kamu denger, aku jawab nih. Aku belum mau pacaran! aku nggak suka sama kamu!" ulang Dygta.
Evan terdiam dengan wajah memerah. Ini pertama kalinya seorang gadis menolak dirinya. Dari sekian nama gadis di sekolah itu yang pernah dia dekati baru Dygta yang menolak pernyataan cintanya.
"Serius?" Evan dengan rahang mengetat, menghalau rasa malu yang menyeruak. Seiring bisikan yang dia dengar terlontar dari teman sekelas mereka.
"Apa aku kelihatannya bercanda?" Dygta menunjuk wajahnya sendiri. "Aku nggak ada minat pacaran sekarang-sekarang ini. Ngerti nggak sih?" ucapnya.
Pemuda itu melengos, keluar dari kelas dengan rasa kesal yang amat besar.
*
*
*
"Apa ini?" Arfan meraih selembar kertas berwarna warni dari tangan Dygta, lalu membacanya dengan teliti.
"Camping?" tanyanya kemudian.
Dygta mengangguk.
"Acara apa?" Arfan seraya melepaskan kacamata baca nya.
"Refreshing sebelum UTS." jawab Dygta.
"Refreshing?" Arfan menatap gadis itu yang tersenyum lebar ke arahnya.
"Semua siswa ikut?" lanjutnya, menyelidik. Dia harus memastikan gadis itu tak sedang berbohong.
"Nggak." Dygta menggeleng pelan.
"Kenapa?"
"Cuma yang ikut ekstrakulikuler pecinta alam aja. Tapi kalau misalnya ada siswa diluar PA yang mau ikut juga boleh kayanya."
"Hmm ..." Arfan berpikir sejenak. "Tidak boleh."
"Om ..." Dygta mulai merengek.
"Tidak boleh. Papi kamu sudah pasti tidak akan mengijinkan." jelas Arfan.
"Om bantuin dong biar papi kasih ijin."
"Sudah pasti tidak akan memberi ijin."
"Yaah ...
"Mungkin kamu bisa minta mama mu untuk meminta ijin pak Satria." Arfan mulai melajukan mobilnya keluar dari area sekolah.
"Nggak mungkin. Mama udah pasti nggak akan kasih ijin kalau papi bilang gitu. Dan nggak akan bisa merubah itu." Dygta menempelkan punggungnya pada sandaran kursi sambil bersedekap.
Dia tengah berpikir.
"Itu kamu tahu?" Arfan yang fokus mengemudikan kendaraan beroda empat nya.
"Aneh banget deh, ikut ekstrakulikuler pecinta alam tapi nggak bisa ikut camping atau hiking?" gerutu Dygta.
"Siapa suruh?" sergah Arfan.
"Aku sukanya itu. Seru loh om!"
"Hmm ..." Arfan hanya menggumam.
"Kadang papi lebay, masih menganggap aku kayak anak TK! apa-apa dianggap bahaya." Dygta cemberut.
"Dia hanya terlalu menyayangi kamu."
Dygta memutar bola matanya, jengah.
"Om juga begitu sama Ara."
"Oh ya? om juga akan mengekang Ara kalau dia udah besar nanti?" gadis itu memiringkan kepalanya, menatap pria dewasa disamping yang tengah mengemudikan mobilnya membawa mereka menuju arah pulang. Sesuatu bergetar didalam hatinya.
"Bukan mengekang, itu melindungi." Arfan melirik sekilas.
"Itu ... mengekang namanya." dia terbata.
"Bukan, Dygta. Itu namanya melindungi. Kamu tahu pergaulan diluar sana seperti apa?"
"Aku udah dewasa, om."
"Tapi kamu tidak tahu seburuk apa pergaulan diluar sana."
"Ya nggak akan tahu, kan aku di kekang?" Dygta mendelik.
Arfan menarik napas dalam, lalu menghentikan laju mobil hitamnya saat melihat lampu lalu lintas di depan berubah merah.
"Bukan di kekang, tapi sedang dilindungi. Banyak bahaya diluar sana, dan kamu ceroboh, seperti mama mu." Arfan menoleh.
"Oh ya?"
Arfan mengangguk.
"Ah, ... pokoknya aku mau camping! om harus bantuin aku minta ijin sama papi. Kalau om yang bilang papi pasti percaya."
"Tidak bisa, Dygta."
"Ayolah om!"
"Tidak." Arfan menggelengkan kepala.
"Om, ..." Dygta memelas.
"Tidak bisa ..."
Gadis itu menatap nya dengan mata bulat yang berkaca-kaca. Persis seperti Sofia ketika sedang memohon kepadanya untuk diijinkan pergi ke suatu tempat tanpa sepengetahuan suaminya.
Hati Arfan sedikit terenyuh, tapi tidak! dia tak boleh mengambil resiko apapun. Bisa saja di tempat camping akan terjadi sesuatu yang tak diinginkan, sementara dirinya takan bisa mengawasi gadis itu dengan baik. Karena tidak mungkin juga dia mengikuti kegiatan camping dengan gadis itu. Akan kelihatan sangat aneh ketika dirinya mengawasi putri dari atasannya itu dengan begitu dekat. Walaupun memang tanggung jawab itu Satria bebankan kepadanya hingga Dygta benar-benar sudah dewasa kelak dan mampu bertanggung jawab dengan dirinya sendiri nanti.
"Om, .." Dygta menarik-narik ujung jas Arfan untuk memperngaruhi pria itu.
"Kamu tahu, kalau terjadi sesuatu om juga akan kena akibatnya." Arfan setelah berpikir beberapa saat.
"Om berlebihan! ini hanya camping di taman perkemahan. Bukan mendaki gunung Himalaya!" sergah Dygta.
Arfan menggelengkan kepalanya lagi. Gadis ini memang sama seperti ibunya. Sama-sama keras kepala.
"Om, ..." Dygta kembali menarik kain ujung jas Arfan. "Ya?"
"hhhh ...." Arfan menghembuskan napas, frustasi. "Baiklah, ..." akhirnya dia menyerah.
"Yes!" Dygta bertepuk tangan.
"Tapi kalau pak Satria benar-benar tidak memberi ijin kamu harus menurut ya?"
Dygta mengangguk, sambil tersenyum. "Kalau ternyata papi ngasih ijin?" tukasnya.
"Hhh ... kamu harus janji untuk bisa jaga diri dengan baik." Arfan menyentuk puncak kepala gadis itu yang tengah menatapnya. "Om pasti tidak akan bisa menjaga kamu seperti biasanya." katanya.
"Mm ... aku ... bukan anak TK, om!" Dygta mengingatkan. Mata bulatnya mengerjap-ngerjap pelan.
"Iya, ..." Arfan terkekeh, lalu mengacak rambut gadis itu. "Tapi buat om kamu masih seperti anak TK!" katanya lagi sambil tergelak, yang kemudian kembali pada kemudi di depannya. Menghidupkan mesin dan kembali memacu mesin beroda empatnya membelah jalanan ibu kota yang padat pada jam pulang kerja sore itu.
*
*
*
*
Bersambung ...
Iya, anak TK yang butuh bimbingan kan om?😂😂😂😝
Iike,
koment,
hadiah
😊😊😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
Eskael Evol
jangan² Evan akan balas sakit hatinya di tempat camping
2023-06-06
0
ayudesy subardo
Sembuhin Mitha ya kk otor, kasian kalo Mitha harus pergi 😢😢
2023-01-25
0
Caca 🌻
jangan lupa like komen gaess
2022-12-30
0