*
*
Satria segera masuk ke pinggir lapangan ketika melihat putranya tengah menangis sesenggukkan. Setelah di babak ke dua, tim Dimitri mengalami kekalahan dalam pertandingan sepak bola yang diikuti untuk pertama kalinya.
Pria itu berlutut untuk mensejajarkan tingginya dengan putranya, lalu meraih pundak kecil Dimitri untuk kemudian memeluknya.
"Its ok, son." bisiknya.
"Tapi, ... aku ... kalah." Dimitri terbata.
"No! kamu sudah bermain bagus." Satria membingkai wajah putranya yang basah karena air mata.
"Tapi tetap aja, aku nggak bisa bikin tim ku menang, Pi!" bocah itu masih terisak.
"Tidak apa-apa, ini pertandingan pertama kamu. Papi yakin di pertandingan berikutnya kamu pasti bisa bawa tim kamu menang."
Dimitri menatap wajah tegas ayahnya.
"Aku nggak bisa bikin papi bangga, aku malah bikin papi kecewa. Padahal ini pertama kalinya papi datang melihat aku bertanding." isaknya lagi.
Satria tersenyum sambil menggelengkan kepala. "No, papi tidak kecewa. Papi malah bangga dengan kamu." sergah Satria.
Dimitri terdiam. Isakkannya mulai berhenti.
"Kamu sudah bermain bagus, kamu hebat."
"Tapi aku kalah."
"Menang memang hal bagus, tapi itu bukan segalanya." jelas Satria. "I'm still proud of you. Menang atau kalah." katanya lagi.
Lalu Dimitri pun menyeka kedua matanya yang basah, kemudian menghambur ke pelukan ayahnya. Yang langsung disambut Satria dengan pelukan hangat untuk menenangkan putranya itu.
"Ayo kita traktir teman-temanmu makan?" tawar Satria, yang di amini oleh putranya.
Dan setelah mereka membereskan segala hal, Satria segera membawa rombongan tim sepak bola Dimitri, termasuk pelatih beserta orang tua dan wali mereka yang hadir pergi ke sebuah tempat makan yang cukup terkenal di kota Jakarta. Menyewa satu spot yang lumayan luas untuk dimasuki oleh lebih dari tiga puluh orang.
Dan senyuman ceria pun kembali menghiasi wajah Dimitri, dan anak lainnya yang merasa kecewa karena telah mengalami kekalahan di pertandingan pertama mereka hari itu.
*
*
*
Suasana perjalanan sore itu terasa hening. Selain karena Amara yang kembali terlelap dalam dekapan Dygta, juga tampaknya karena gadis itu sedang tak berselera bicara. Tidak seperti saat-saat sebelumnya ketika dia selalu cerewet membicarakan banyak hal.
"Ada apa dengan kamu ini? tidak biasanya perjalanan pulang sesepi ini." gerutu Arfan, yang menghentikan laju mobilnya ketika lampu merah menyala.
Dygta tak menjawab.
"Kamu kenapa Dygta?" tanyanya lagi.
"Hah? apa om?" gadis itu terperangah ketika Arfan menepuk lengannya.
"Kamu ini kenapa? tidak biasanya kamu pendiam seperti ini?"
"Mmm ...
"Ada masalah apa? om terbiasa mendengar kamu mengoceh." ujar Arfan lagi.
"Om bilang aku selalu terlalu banyak bicara?" jawab Dygta, yang mencoba menatap kembali pria di samping. Dan perasaan aneh itu datang lagi.
Ah, sialan!
"Kapan om bilang begitu?" Arfan menjengit.
"Waktu itu. Waktu om suruh aku minta diantar jemput pak Sam, ... waktu aku bilang nggak mau karena nggak ada temen ngobrol ... om bilang bukan mereka yang nggak bisa di ajak ngobrol, tapi aku yang terlalu banyak bicara."
Arfan terdiam.
"Tapi Ini rasanya aneh, ..." pria itu merebahkan kepala pada sandaran kursi. "Om sudah terbiasa mendengarkan kamu bicara banyak hal." dia terkekeh. Lalu kembali melajukan mobilnya begitu lampu hijau menyala.
"Ayolah, bicara lagi." ucap Arfan setelah beberapa saat.
"Bicara apa?" Dygta menoleh.
"Apa saja. Kamu selalu punya topik untuk dibicarakan."
Gadis itu terdiam.
"Dygta?" panggil Arfan, saat dia tak kunjung mendengar gadis itu bersuara seperti biasa.
"Hmmm ... kenapa jalannya macet ya?" akhirnya Dygta memulai pembicaraan.
Arfan tiba-tiba tertawa dengan keras. "Pertanyaan konyol! bukankah biasanya jalan ini macet setiap hari?"
Dygta mencebik. "Hampir sampai rumah, tapi macetnya bikin lama." lanjutnya, ketika dia menyadari jalanan yang mereka lewati sudah mendekati kediamannya.
"Hmm ..." Arfan bergumam.
"Eh, iya ..." gadis itu tiba-tiba teringat sesuatu.
"Apa?" Arfan menoleh.
"Om udah bilang belum sama papi?" Dygta memiringkan tubuhnya.
"Soal apa?"
"Ish, om ini pelupa!"
"Apa?"
"Soal camping."
"Camping?" Arfan mengerutkan dahi.
"Ish, ... beneran lupa ya? udah tua emang ..."
"Eh, jangan bawa-bawa umur ya!" sergah Arfan.
"Abisnya om pelupa!" rengek Dygta.
"Hmm ..." Arfan menggeram pelan.
"Pasti belum bilang ya?" dia kembali bersandar pada kursi.
"Soal apa?" Arfan kembali bertanya.
"om, iihh?!"
Arfan tertawa terbahak-bahak, merasa senang karena telah berhasil menggoda putri dari atasannya itu.
Dygta cemberut.
"Belum." ucap Arfan setelah puas tertawa.
Dygta mendelik.
"Mungkin papi kamu tetap tidak akan mengijinkan." lanjutnya.
"Yah, ..." Dygta dengan reaksi kecewa. "Bantuin lah, om! sekaliiiii ini aja." dia mengiba.
"Ada banyak hal yang pak Satria pertimbangkan. Begitu juga om. Kami hanya khawatir."
"Kami?" Dygta memiringkan kepala.
Arfan mengangguk. "Papi mu dan om khawatir."
"Ng ..." lagi-lagi perasaan itu merayapi hatinya.
"Kamu ini anak perempuan, akan selalu ada bahaya mengintai."
"Aku janji akan jaga diri, om." tukas Dygta.
Arfan terdiam.
"Om!" Dygta menarik ujung kemeja Arfan.
"Ditambah, ... kamu ceroboh. Om khawatir kamu akan membahayakan dirimu sendiri." pria itu menoleh kepada Dygta.
"Ah, ... om nggak asik!" dia kembali menghempaskan punggungnya pada sandaran kursi denga keras. Membuat balita dalam pangkuannya terbangun.
"Mama!" rengek Amara, yang terkejut.
"Aduh, ... maaf maaf. kakak bikin kamu kaget ya? maaf ..." Dygta segera menenangkan anak itu. Mengusap kepala dan membelai punggung Amara dengan lembut. Lalu kembali memeluk sambil menciumi kepalanya agar anak itu kembali tertidur.
Arfan menatap interaksi tersebut dengan kening berkerut. Kemudian tersenyum. Ada rasa haru juga bahagia, walaupun rasa sedih juga terselip di dalam hatinya.
Putri kecilnya yang belum pernah mendapatkan kasih sayang ibu secara langsung, dapat dengan mudahnya menempel kepada siapapun yang dekat dengannya. Terutama dengan gadis yang tangah memeluknya yang sudah dia kenal sejak bayi.
Sejak Mytha tak sadarkan diri setelah menjalani operasi Caesar tiga tahun yang lalu, Amara yang beberapa bulan dia titipkan di rumah Satria. Dibawah pengasuhan Sofia, sudah tentu akan terbiasa dengan kehadiran anggota keluarga atasannya itu. Ditambah Dygta yang selalu berada di dekatnya sejak Minggu pertama dia lahir, membuatnya merasa begitu dekat dengan gadis itu. Tidak heran jika Amara akan selalu menempel kepadanya.
Mobil yang mereka tumpangi memasuki pekarangan rumah besar milik Satria. Terlihat mobil milik atasannya itu sudah terparkir di halaman.
"Om mau mampir dulu?" Dygta ketika melihat Arfan membuka pintu di sisi kanannya.
"Ya, ada yang harus om bicarakan dengan papi kamu." jawab Arfan.
"Apa?".
"Urusan bisnis. Titip Ara sebentar ya?" Arfan melenggang memasuki rumah itu tanpa menoleh kebelakang.
Dygta mencibir.
***
Anak-anak tengah bermain di taman belakang rumah ketika Arfan keluar dari dalam rumah, setelah selesai membicarakan suatu hal bersama atasannya itu. Tak terkecuali putrinya yang tengah bermain ayunan bersama Dygta di teras.
"Sudah sore, Ara. Ayo kita pulang?" Arfan mengulurkan tangan ke arah putrinya.
Gadis kecil itu menggeleng.
"Sudah sore, besok kita kesini lagi." ulang Arfan.
"No, ... mau kakak Dita." jawab Amara, tetap menolak.
"Mungkin Ara mau nginap. Biarin aja lah. Obat sakit hati aku." Dygta seolah menyindir.
Arfan mengerutkan dahi.
"Ayo Ara, mama menunggu kita di rumah." Arfan mengingatkan.
Amara mendongak.
"Mama?" ucap gadis itu, menatap ayahnya dengan matanya yang bening.
"Iya. Mama menunggu Ara dirumah." Arfan mengulangi kata-katanya.
Gadis kecil itu turun dari ayunan, lalu berjalan menghampiri ayahnya.
Arfan segera menggandeng tangannya, lalu menarik putrinya itu untuk keluar dari kediaman Satria setelah berpamitan dengan seluruh penghuni rumah.
Arfan berhenti diambang pintu sebelum keluar dari rumah tersebut. Lalu berbalik.
"Hey, ..." panggilnya kepada Dygta yang masih duduk cemberut di ayunan.
Gadis itu mendongak.
"Pergi campingnya hati-hati. Kamu harus jaga diri!" katanya, lalu tersenyum.
"Maksud om?" Dygta bangkit dan turun dari ayunan.
"Kamu dapat ijin untuk pergi camping Minggu depan." jawab Arfan, dengan senyum lebar.
"Beneran?"
Arfan mengangguk.
"Astaga! makasih om." Dygta menghambur ke hadapn Arfan, lalu memeluk tubuh tinggi pria itu begitu saja.
"Ng ..." Arfan terhenyak. "Dygta?"
"Makasih om!" gadis itu melepaskan rangkulan tangannya dari tubuh Arfan. Lalu mendongak untuk menatap wajah asisten ayahnya itu dengan senyum sumringah di wajahnya.
"Makasih sekali lagi!" katanya, lalu kembali memeluk tubuh Arfan dengan erat. Kemudian melepaskannya lagi, lalu pergi meninggalkan Arfan yang tertegun di ambang pintu keluar.
Tanpa dia sadari, ada perasaan yang tengah porak poranda karena kelakuannya barusan.
*
*
*
Bersambung ...
Nah, nah ....
Seperti biasa genks, like koment dan hadiah nya selalu ditunggu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
Dewi Dewi
kangen kang jahe ama Digta nie. feb 2025 baca lagi /Grin/
2025-02-22
0
Nurul Ajha
2024 q baca lagi kk
2024-12-23
0
Denok Wibowo
wes oleng...oleng😁
2023-10-06
0