*
*
Arfan segera turun dan membukakan pintu mobil di bagian penumpang begitu mereka tiba di kediamannya, setelah sebelumnya pria itu menjemput kedua mertuanya di statsiun pagi-pagi sekali.
"Eyang?" suara kecil itu berteriak dari dalam rumah, lalu segera berlari menghampiri.
"Oalaaaahh, ... cucu eyang!" Aminah menyambut ketika cucunya itu menghambur ke dalam pelukannya.
Amara memeluk manja pundak perempuan berusia 70 tahun itu.
"Ara sudah mandi?" tanya Arfan yang menurunkan beberapa tas milik mertuanya dari dalam mobil, kemudian menyuruh dua asisten rumah tangganya untuk membawa tas-tas tersebut ke dalam rumah.
"Sudah pak. Tapi Ara tidak mau rambutnya saya ikat. Dia maunya bapak yang ikat." Sandra menyela.
"Hmm ..." Arfan memutar bola matanya lalu tertawa.
"Ayo, eyang yang ikat?" Aminah membawa gadis kecil itu kedalam rumah mengikuti suami dan menantunya yang sudah mendahuluinya.
"No, ... papa ikat." Amara menunjuk ke arah ayahnya.
"Sekarang ada eyang. Biar sama eyang ikat rambutnya ya?" bujuk Aminah.
"No!" Amara menggelengkan kepala. "Papaa ikat!" ulang anak itu.
"Baiklah, baiklah." Arfan meraih Amara dari dekapan sang nenek, lalu mendudukkannya di sofa setelah menerima sebuah sisir dan sebuah ikat rambut yang disodorkan oleh Sandra.
Dengan cekatan dia merapikan rambut putrinya, lalu mengikatnya seperti biasa. Arfan sudah terlatih melakukannya selama dua tahun belakangan. Keadaan Mytha yang masih belum siuman membuatnya mampu melakukan banyak hal yang tak biasa dilakukan oleh pria-pria pada umumnya.
Aminah dan Umar menatap kegiatan itu dalam diam. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak di dada. Mengingat pria itu membesarkan putrinya sendirian selama tiga tahun belakangan.
"Selesai, ..." ucap Arfan, setelah dia menyelesaikan pekerjaannya pada rambut panjang Amara. Membuat gadis kecil itu terlihat rapi dan cantik dengan dua kunciran di kepalanya.
"Sini, Ara sama eyang lagi?" Aminah merentangkan tangannya meminta sang cucu untuk datang kepadanya.
"Nah, Ara sama eyang ya? papa mau mandiin mama dulu." Arfan berujar.
Amara menurut, lalu turun dan segera menghampiri sang nenek yang duduk di sofa di depannya.
Tanpa banyak bicara, pria itu segera naik ke lantai dua. Menuju kamar di ujung tempat Mytha berbaring dalam tidur tenang nya.
"Hey sayang, ..." pria itu membuka pintu, lalu berjalan ke arah jendela, membuka tirai agar sinar matahari masuk dan menerangi kamar besar itu. "Ayah dan ibu baru saja sampai. Mungkin sebentar lagi mereka akan naik." ucap Arfan, berbicara seperti biasa.
Dia mengulurkan tangan untuk menyisir rambut hitam Mytha. Lalu menyentuh wajah tirus itu dengan punggung tangannya.
Arfan menarik napas dalam lalu bersiap membersihkan tubuh perempuan itu seperti yang selalu dia lakukan setiap hari. Sambil terus berbicara seolah perempuan itu mampu mendengarnya dan berharap dia akan merespon begitu dirinya selesai berbicara. Walaupun itu adalah sebuah kemustahilan, karena nyatanya Mytha tak pernah merespon sedikitpun.
****
Aminah membiarkan suaminya membawa Amara bermain di taman belakang setelah mereka beristirahat sebentar. Lalu naik ke lantai atas bermaksud mengunjungi putrinya yang sedang dalam perawatan.
Aminah mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka. Memperhatikan nenantunya yang sedang mengurus Mytha dengan telaten. Melakukan segala hal dengan teliti. Merawat perempuan itu seperti perawat profesional.
Aminah kembali menghela napas dalam ketika hatinya merasa terenyuh dengan sikap pria itu. Yang dengan setia mengurus Mytha dalam keadaan tak berdaya sama sekali. Rasa iba juga menyelinap bersamaan. Menantunya itu pastilah melewati masa ini dengan tidak mudah.
Memiliki pekerjaan yang luar biasa dengan jadwal yang padat dan tanggung jawab yang begitu besar di pundaknya, juga. Namun dia tak pernah membiarkan istrinya dirawat oleh orang lain.
Entah seberapa sibuk dirinya, Arfan selalu menyempatkan diri mengurus istri dan putrinya setiap pagi.
Aminah mengetuk pintu dengan pelan, lalu menyembulkan kepalanya sedikit di celah pintu.
Arfan menoleh setelah menyelesaikan pekerjaannya. Sekarang Mytha nampak lebih segar dan harum.
"Masuk, Bu." ucapnya saat melihat ibu mertuanya berada di ambang pintu.
Aminah segera masuk ke dalam ruangan besar itu. Berjalan mendekat ke arah tempat tidur dimana putrinya berbaring tak sadarkan diri.
"Mytha sudah cantik, kan?" Arfan berbicara dengan riang.
Aminah tak menjawab, hanya terus menatap wajah pucat putrinya yang tetap tak terusik.
"Kamu mengurus mereka dengan baik." Aminah berujar, lalu menoleh ke arah menantunya yang betah berdiri di samping tempat tidur itu.
"Sudah seharusnya, Bu."
"Sudah tiga tahun, Arfan." ucap Aminah setelah beberapa saat.
"Iya Bu."
Perempuan itu melirik ke layar monitor disamping tempat tidur sebagai penanda kehidupan di tubuh putrinya yang masih berlangsung.
"Kamu sudah bertahan selama ini. Kamu sudah berusaha keras." Aminah mengembalikan pandangannya kepada Arfan yang terdiam.
"Kamu melakukan semuanya sendiri. Mengurus Mytha dan membesarkan Ara."
Arfan terkekeh pelan. "Belum, Bu. Ara masih kecil." katanya. "Perjalanan saya masih jauh." jawab Arfan.
"Kami ikhlas, ..." ucap Aminah kemudian.
Arfan berpaling, "Maksud ibu?"
Aminah menatap wajah menantunya lekat-lekat.
"Ayah dan ibu sudah membicarakan ini. Kalau seandainya kamu mau menyerah, kami akan menerimanya dengan ikhlas. Kamu juga pantas bahagia."
Arfan mengerutkan dahi.
"Kamu selalu berusaha keras sejak kalian menikah. Memberikan lebih dari apa yang Mytha butuhkan. Mencintai dia sebesar yang kamu bisa. Tapi keadaan nya sekarang lain."
"Bu, ...
"Mungkin sudah tidak ada harapan. Mungkin sekarang saatnya kita harus menyerah dan memasrahkan segalanya kepada Tuhan."
"Bu!"
"Kita relakan saja Mytha, setidaknya kita tidak akan lagi melihat dia menderita seperti ini. Dan kamu bisa melanjutkan hidup."
"Kenapa ibu bicara seperti itu? Mytha anak ibu, apa ibu tidak percaya dia akan sadar dan sembuh suatu hari nanti? karena saya percaya dia akan bangun lagi nanti, dan kami akan membesarkan Ara bersama-sama seperti yang kami impikan selama ini." sergah Arfan.
"Arfan, ibu sedih melihat kamu seperti ini. Mengurus Ara sendirian, tanpa memikirkan diri kamu sendiri." Aminah dengan mata yang berkaca-kaca.
"Saya tidak sendirian, Bu. Banyak yang membantu. Ada pengasuhnya Ara, pegawai dirumah ini, juga keluarga pak Satria. Mereka selalu ada untuk kami."
"Tapi ...
"Lagi pula saya sudah terbiasa."
"Arfan, ...setidaknya pikirkan juga diri kamu sendiri." tukas Aminah.
"Saya bisa mengurus diri saya sendiri, Bu. Apa ibu tidak lihat? saya baik-baik saja." Arfan merentangkan kedua tangannya untuk menunjukkan kepada perempuan itu kalau dia memang baik-baik saja.
Aminah menarik napas pelan. Kembali menatap wajah pria itu dengan benar.
"Kamu tahu, dalam agama kita ... seorang laki-laki diperbolehkan memiliki lebih dari satu istri?" Aminah berbicara lagi.
Arfan semakin mengerutkan dahinya, kini dia mulai mengerti kemana arah pembicaraan ibu mertuanya ini.
"Ayah dan ibu merelakan jika seandainya kamu memiki niat untuk mencari istri lagi, nak." akhirnya kalimat itu keluar dari mulut Aminah.
Arfan menahan napasnya sejenak, lalu menghembuskannya lagi secara perlahan. Dia tak percaya dengan pendengarannya sendiri.
"Bu, ...
"Ayah dan ibu sepakat akan membawa Mytha pulang ke Jogja, dan mengurus dia disana. Agar kamu bisa meneruskan hidupmu, nak." sambung Umar, yang baru saja masuk dengan menggandeng tangan kecil Amara.
"Kalian ini ...
"Lanjutkanlah hidupmu, dan biarkan kami yang mengurus Mytha. Kamu juga punya hak untuk mendapatkan hidup yang lebih baik."
"Kenapa kalian bicara seperti itu? kalian orang tuanya Mytha, tapi kenapa kalian malah menyarankan hal seperti ini? kalian akan menyakiti Mytha jika dia tahu kedua orang tuanya malah menyuruh suaminya untuk menikah lagi." Arfan memelankan suaranya, namun nada marah tetap terdengar jelas disana.
"Kami hanya prihatin, kamu pria dewasa, dan sudah menikah. Tapi tiga tahun menunggu itu bukanlah hal yang mudah. Kami hanya ingin memberikan kesempatan kepadamu untuk memiliki rumah tangga yang normal seperti sebelumnya." Umar kembali menyela.
Arfan memejamkan matanya, lalu memutar tubuh seraya mengusap wajahnya dengan kasar.
"Itu bukan hal penting untuk sekarang ini. Prioritas saya adalah bagaimana mengurus Mytha hingga dia sembuh dan membesarkan Ara agar dia menjadi anak yang baik. Dan pernikahan dengan perempuan lain sepertinya bukan solusi yang benar."
"Tapi bagaimana jika ternyata Mytha tidak pernah sembuh? Bagaimana jika dia tak pernah bangun? apa kamu akan selamanya seperti ini?" Aminah menghampiri pria itu.
"Bu, ...
"Bagaimana jika dia tidak pernah sadar, apakah kamu akan menghabiskan seluruh hidupmu seperti ini?" sambung Aminah.
Arfan terdiam.
"Bagaiman jika dia tidak pernah sadar?" Aminah dengan suara pelan.
Arfan kembali memutar tubuh dan menatap kedua mertuanya dengan lekat.
"Kalian orang tuanya Mytha, seharusnya kalian mendukung saya dan menyemangati Mytha agar dia cepat sadar. Bukan malah menyarankan saya untuk mencari wanita lain."
"Arfan, kami ...
"Sudah, saya tidak mau lagi membahas hal semacam ini. Saya masih punya banyak urusan yang lebih penting dibandingkan hal ini." Arfan menggerakkan kakinya untuk keluar dari ruangan itu.
Namun dia berhenti sebentar, kemudian berbalik sebelum keluar. "Saya tidak akan menyerah sebelum semuanya memang benar-benar berakhir dengan sendirinya. Atau Mytha sendiri yang sudah menyerah. Dan sebelum tiba waktunya, saya akan tetap mempertahankan Mytha disini. Dan kalian tidak punya hak apapun terhadap istri saya." ucapnya, lalu dengan langkah lebarnya dia keluar meninggalkan kediaman miliknya. Dengan dada bergemuruh dan emosi yang hampir saja meledak di hadapan kedua mertuanya itu.
Dirinya tak percaya kedua orang tua istrinya bisa mengatakan hal semacam itu sementara putri mereka masih berada disana yang mungkin saja sedang berjuang antara hidup dan mati.
*
*
*
Bersambung ...
Hari ini waktunya vote gaess😉😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
ᗩGEᑎᑕY☘️Hearty 💕
Uh keren deh
2023-10-05
0
fifid dwi ariani
trussabar
2023-02-27
0
Linda yani
hanya om arfan deh ❤️❤️❤️
2022-09-28
0