*
*
Pertandingan baru saja akan dimuali ketika rombongan keluarga Nikolai tiba. Perhatian semua orang tentu saja tertuju kepada mereka. Terutama karena kehebohan yang tercipta setiap kali keluarga ini menghadiri acara sekolah, ataupun acara lainnya.
Penyebabnya apalagi jika bukan sinkembar Daryl dan Darren yang selalu membuat ulah dengan ke aktifan mereka berdua.
Dygta berhenti sebentar, lalu mundur dua langkah di belakang Arfan sambil menggandeng tangan Amara.
"Kenapa?" Arfan menoleh.
"Bisa nggak kalau kita nggak bareng mama sama papi?" bisik Dygta kepada Arfan.
"Memangnya kenapa!" Arfan mengerutkan dahi.
"Mereka selalu heboh, dan pasti akan selalu jadi pusat perhatian. aku nggak biasa."
Arfan terkekeh.
"Biasakanlah, Dygta. Papimu orang berpengaruh diantara orang-orang ini. Bukankah ini bagus untuk kamu?" ujar Arfan.
"Cih, bagus apanya? yang mereka lihat hanya papi punya kekuasaan, bukan karena menghargai kita."
"Setidaknya tidak akan ada yang menyepelekan kamu."
Dygta mencebik.
"Ayo!" Arfan meraih Amara untuk menggendongnya, kemudian menggenggam pergelangan tangan Dygta, lalu menariknya untuk mengejar kedua urang tua dan adiknya yang sudah terlebih dahulu mencapai bangku penonton.
"Apa yang ...." Dygta setengah berlari untuk mensejajari langkah pria tinggi yang kini tengah menggenggam tangannya.
Dimitri terlihat tengah melakukan pemanasan di pinggir lapangan, bersama dengan pemain lainnya. Anak laki-laki pertama Satria itu tampak menggemaskan dengan seragam sepak bola berwarna biru yang di kenakannya. Rambut coklat gelap nya yang sudah panjang tampak berkibar-kibar. Dia tampak mencolok diantara anak-anak lainnya. Tentu saja karena postur dan wajahnya yang berbeda dari anak seumurannya.
Dimitri Alexei Nikolai.
Anak tampan dengan mata gelap, rambut coklat gelap dengan kulit Kaukasia khas keturuna Eropa timur seperti ayahnya, Satria Nikolai Mahardika. Yang berpadu dengan keturunan eksotis berdarah Sunda dari Sofia Anna. Membuatnya tampak sempurna walau di usianya yang masih anak-anak.
"Dim!!" Sofia memanggil putranya.
Dimitri menoleh ketika mengenali suara dan panggilan khas ibunya, dia memutar bola matanya ketika Sofia melambaikan tangan.
Perempuan itu mengacungkan tangannya yang terkepal untuk memberi semangat kepada putranya yang akan bertanding di lapangan dalam beberapa menit lagi.
Terlihat teman di sampingnya menepuk punggungnya, Dimitri lalu tersenyum ketika melihat sang ayah yang juga ada di bangku penonton. Tak seperti biasanya ketika pria itu selalu tak bisa hadir di saat-saat penting dalam hidupnya. Kini Satria berada disana , bersama ibu dan saudara-saudaranya.
Satria pun melambai yang kemudian dibalas lambaian oleh Dimitri. Pria itu mengepalkan tangannya untuk memberikan semangat, yang seketika membuat dada anak 9 tahun itu berkobar.
Beberapa menit kemudian dua tim sepak bola antar sekolah ini memasuki lapangan. Dan di menit berikutnya stelah seremonial, pertandingan pun dimulai.
Pertandingan dimulai sengit dari awal. Dua tim saling mengejar memperebutkan bola untuk mencetak goal. Yang diikuti keriuhan tepuk tangan dan teriakan dari bangku penonton. Beberapa orang tua murid yang anaknya mengikuti pertandingan tentu saja memberi semangat sepenuhnya.
Tak terkecuali keluarga Satria. Semua orang ikut terlarut dalam euforia pertandingan yang cukup seru walaupun yang tengah bertanding di lapangan sana adalah anak-anak berusia kisaran 9 sampai 12 tahun. Tapi tak mengurangi keseruannya.
"Kamu lagi ada masalah?" Arfan yang memperhatikan Dygta yang tampak tak bersemangat.
"Hum? apa?!" gadis itu tergagap.
"Kamu tidak seperti biasanya. Apa ada masalah?" ulang Arfan.
"Aku nggak suka sepak bola." Dygta menopang dagu dengan tangan yang bertumpu di lututnya. Sementara tangan yang satunya memeluk Amara yang betah betgelayut kepadanya.
"Benarkah? bukannya dulu kamu paling suka sepak bola?" Arfan tergelak.
"Masa?" Dygta mengernyit.
"Iya. Kamu tidak ingat? kita pernah berdesak-desakkan di stadion waktu kamu meminta menonton piala Indonesia sepulang sekolah." jawab Arfan, mengingat masa dimana Dygta masih kecil. Banyak hal yang mereka lakukan bersama.
"Aku lupa waktu itu." Dygta menggaruk kepalanya yang tak gatal.
"Hmm ... " Arfan mencibir. "Kamu tidak ingat sering merengek kalau permintaanmu tidak om turuti?"
"Iyakah?"
Arfan mengangguk. "Yang paling sering adalah ketika musim sepak bola dimulai. Kamu akan sering meminta menonton pertandingan secara langsung di stadion."
Dygta terdiam. Itu beberapa tahun yang lalu kan? ketika dirinya masih anak-anak. Dia tertawa sendiri ketika ingat sering merepotkan Arfan ketika menginginkan sesuatu. Pria itu akan sangat sibuk untuk memenuhi segala keinginannya.
Dygta mendongak untuk menatap sosok itu dari dekat. Arfan yang sedang asyik menonton pertandingan di dalam lapangan sana.
Oh, ... mengapa perasaan aneh ini datang lagi? batinnya, ketika sesuatu berdesir lagi dalam hatinya setiap kali menatap sosok Arfan.
Ada apa denganku ini? gumamnya lagi, seraya memegangi dadanya yang berdegup gak karuan. Seolah benda dindalammya akan terlepas jika dia tak melakukannya.
Sial!
Dygta tersadar dari lamunannya ketika sebuah tangan kecil menggapai-gapai wajahnya. Dygta menunduk. Tampak Amara yang tengah meminta perhatiannya.
"Iya sayang?" Dygta mengelus kepala gadis kecil itu.
"Antuk." ucap Amara yang mengucak sebelah mata dengan punggung tangannya.
"Hah? kenapa?" Dygta mencondongkan tubuhnya ke arah anak kecil itu.
"La antuk." ulang Amara.
"Ara ngantuk?" tanya Dygta setelah memahami ucapan bocah itu.
"Hu'um .." Amara menganggukkan kepala sambil mengerucutkan bibirnya.
"Sini." Dygta mengulurkan tangannya untuk menggendong tubuh kecil Amara.
"Kenapa?" Arfan mengalihkan perhatian setelah ekor matanya menangkap pergerakkan di sampingnya.
"Ara ngantuk." jawab Dygta.
"iya kah?" pria itu melihat jam di pergelangan tangannya. "Memang jam tidurnya." gumam Arfan kemudian.
"Sini sama papa?" Arfan yang bermaksud merebut Amara yang mulai tertidur di pelukan Dygta.
"No!" tolak Amara, yang menepis tangannya.
"Sini, Ara bobonya sama papa." ulang Arfan.
"No! mau kakak Dita." ucap Amara yang menyurukkan wajahnya di dada Dygta.
"Biarin aja lah. Ara nya mau sama aku, om." sergah Dygta.
"Dia berat tahu!" tukas Arfan kemudian.
"Nggak, kalau lagi duduk gini."
"Nanti orang-orang menyangka dia anak kamu." bisik Arfan, berkelakar.
"Emangnya kenapa?" Dygta mengangkat kedua alisnya secara bersamaan.
"Nanti tidak ada yang naksir, ..." Arfan tergelak.
"Bagus lah." Dygta ikut tergelak.
"Apa?" Arfan kini mengerutkan dahi.
"Kan bagus kalau nggak ada yang naksir. Nggak akan ada yang godain." Dygta tertawa hingga kepalanya terdongak keatas.
"Kamu aneh."
"Ah, aku males meladeni orang yang naksir. Mereka suka lebay."
"Hmm? memangnya ada yang naksir?" Arfan penasaran.
"Ada." Dygta mengangguk.
"Siapa?"
"Ada teman sekelas. Baru aja Minggu lalu nembak. Sumpah, lebaynya minta ampun."
"Serius? kamu terima?" Arfan memiringkan kepalanya. Rasa ingin tahu menyeruak begitu saja.
"Nggak."
"Kenapa?"
"Aku nggak suka orangnya."
"Masa?!"
"Hu'um." Dygta mengangguk lagi, kini sambil mengerucutkan bibirnya. Lalu menoleh ke arah pria yang sedang menatapnya. Dan pandangan mereka beradu.
Deg!
Sesuatu seperti meledak di dalam dadanya.
Ish, ... perasaan bodoh ini! batinnya.
Gadis itu mengerjap, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Arfan menjengit. Kenapa dia itu? gumamnya dalam hati, menangkap gerakan aneh pada putri atasannya itu.
Sorak Sorai menyadarkan lamunan keduanya, semua orang berteriak ketika gawang tim Dimitri di bobol tim lawan. Beberapa orang tampak kecewa, namun mereka kembali berteriak untuk menyemangati hingga akhirnya peluit berbunyi tanda babak pertama berakhir.
Satria merangsek ke pagar pembatas ketika putranya yang agak murung berada di sekitar.
"Hey?" teriaknya kepada Dimitri, lalu menggerakkan tangannya memberi isyarat kepada putranya untuk mendekat.
"Aku kalah, pih!" bocah tampan itu hampir menangis.
"Belum! masih satu babak lagi, nak!"
"Tapi aku sudah kalah." ulang Dimitri
"Belum. Semangatlah! masih ada babak kedua. Kamu bisa melakukan yang lebih baik."
"Papi nggak marah?" Dimitri mendongak dengan mata berkaca-kaca.
"Kenapa harus marah? kamu bermain dengan baik!" ucap Satria, membesarkan hati putranya.
"Gimana kalau aku kalah setelah babak kedua nanti?"
"Tidak apa-apa. Yang penting kamu bermain dengan baik."
"Beneran?"
Satria mengangguk. "Sekarang, kembalilah kesana, bersama temanmu, dan bermainlah dengan baik. Buat papi bangga!" satria berujar.
"Baiklah."
Bocah itu kembali berlari menghampiri teman satu timnya yang akan kembali pada pertandingan setelah beberapa menit beristirahat.
*
*
*
Bersambung ...
Dimitri Alexei Nikolai
😂 anggap aja itu lagi pake seragam sepak bola🤣🤣
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 223 Episodes
Comments
Cici_sleman
Mahardika
2024-02-27
0
fifid dwi ariani
trus sukses
2023-02-27
0
Bzaa
kecilnya udah guanteng bgtu, apalagi gedenya.... gak kuku😊👍😘
2022-10-06
0