S A L L Y

S A L L Y

S A T U

Selasa, tepat 10 menit menjelang jam 12 siang. Roman berlari secepat kilat. Menghiraukan beberapa orang yang tertabrak olehnya. Menyebabkan beberapa tong sampah berserakan. Ia tetap berlari tanpa berhenti. Semua orang berlari panik. Semua orang menjerit dan berusaha menyelamatkan diri. Pekik histeris bersahutan diiringi bunyi sirine meraung-raung. Suasana sangat tidak terkendali.

Lima menit yang lalu, saat semua pekerja pergi mencari makan siang, gerombolan gengster terkenal itu kembali berulah. Kali ini dengan meledakkan bom dari sebuah truk di depan Bank Central.

 Tapi Roman tak mempedulikan semua itu. Saat ini fokus terbesarnya adalah menangkap seseorang yang berlari beberapa meter di depannya. Berulang kali Roman memperingatkannya untuk berhenti, tapi wanita itu tetap berlari cepat dengan sesekali melintasi halang rintang layaknya sedang parkur.

Sial! Roman sangat hafal dengan cara berlari wanita itu. Mengingatkannya pada beberapa tahun silam. Saat berangkat ataupun pulang sekolah, Roman selalu melakukan ini, --mengejar wanita itu.

Masih sangat segar dalam ingatannya, gadis dengan rambut kuncir kuda, tas punggung dan sepatu yang hampir tak layak pakai, ia selalu menantang Roman untuk berlomba lari. Kadang Roman bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang wanita berlari secepat itu? bahkan ketika ia belum makan siang.

Beberapa kali wanita itu menoleh kearahnya dengan senyum sinis. Tapi entah mengapa Roman sangat menyukai senyumannya. Senyum yang menggetarkan hati Roman.

“Kau masih saja berlari seperti kakek-kakek, Rom! Haha”

Teriakan Sally menyadarkan Roman dari sekejap lamunannya. Ya, namanya Sally. Sally Wilder. Roman sedikit melambatkan diri. Ia lantas mencoba mengingat sesuatu. Papan penunjuk jalan bertuliskan Road 6th. Jalan ini sebetulnya bukan jalan yang awam baginya. Bahkan sejak awal ia yakin bahwa Sally akan berlari menuju jalan ini. Menuju jalan kecil yang semakin lama semakin menyempit. 

Sally sengaja menggiring Roman untuk memasuki sebuah gang yang berakhir buntu ini. Roman melihat sekeliling. Tempat ini masih tetap sama. Sangat sepi dan sangat lembab. Gang ini hanya ditempati beberapa rumah kecil tak layak huni. Sangat kontras dengan himpitan gedung-gedung apartemen yang mengelilinginya. Road 6th kini hanya berisikan beberapa orang lanjut usia.

“Seharusnya kau berbelok ke kanan sebelum masuk gang ini, bukankah kita selalu begitu. Rumahmu disebelah sana Roman!”

Roman berhenti. Di depannya, Sally berdiri tepat di dinding paling ujung gang. Seperti yang Roman tahu, gang ini berakhir buntu.

“Kau tak bisa terus menerus berlari Sally, menyerahlah!” bujuk Roman dengan nafas tersengal. Kakinya berjalan pelan mendekati Sally sambil menodongkan pistol. Seolah ia tak ingin mangsanya kabur lagi, Roman ingin menjaga jarak sedekat mungkin.

Sally melepas ikat rambutnya lalu melepas masker wajahnya. Tangannya yang kotor mengelap wajah manisnya yang penuh dengan keringat. Roman hampir tak berkedip menatapnya.

Kali ini dia hanya berjarak 2 langkah dari Sally. Wanita ini tetap sama di mata Roman. Sangat mempesona. Walau dia harus dihadapkan pada kenyataan, Sally adalah anggota gengster yang baru saja meledakkan bom di depan Bank Central.

Roman mengatur nafasnya. Kaki dan hatinya sama-sama bergetar. Untunglah tangannya tak ikut bergerak. Tidak lucu rasanya kalau Sally tahu kalau ia sedang sangat gugup.

“Menyerahlah! Polisi di setiap sudut kota sudah mengawasimu. Kau dan teman-temanmu sudah tidak aman lagi. Kau menyerah atau kau akan terbunuh.” Roman mencoba mengintimidasi.

Sally tertawa renyah. “Lalu kenapa kau tidak menembakku sekarang, Pak Polisi?” sindirnya pelan. Seakan tak ingin orang-orang mendengar. Sally sangat paham bahwa orang-orang di daerah Road 6th tidak pernah menyukai polisi. Bagi warga Road 6th polisi seperti musuh yang membuat hidup mereka tidak nyaman. Ada dendam yang tidak bisa dimengerti. Sally begitu paham, karena Sally lahir di tempat ini.

Sally pernah menghabiskan waktu kecilnya hidup dengan sangat sederhana di gang ini. Jauh sebelum ayahnya menjadi mafia kaya raya seperti sekarang. Sally menatap rumah kecil yang dulu ia huni. Sesungging senyum tergambar di bibirnya yang berlipstik merah. Kenangan-kenangan indah kembali menyeruak kedalam otaknya. Membuat ia tiba-tiba merindukan seseorang. Vallery, ibunya.

"Kau lihat Rom! tidak banyak yang berubah. Rumahku ini mungkin sekarang menjadi rumah hantu yang ditinggali banyak kucing." 

Roman melihat ke arah rumah kecil tua yang dimaksud Sally. Rumah itu hanya berupa rumah petak mungil dengan 1 kamar tidur. Pagarnya sudah berkarat dan ditumbuhi tanaman liar. Bagian atapnya sudah roboh dan tiang penyangga pun miring beberapa derajat. Rumah ini sudah puluhan tahun ditinggalkan Sally dan tidak ada yang menempati setelahnya.

"Kenapa tidak kau tinggali saja? ahh.. aku lupa. Kau sekarang pasti sudah nyaman dengan rumah mewah di kawasan elit." Suara Roman terdengar menyindir.

Sally tersinggung mendengarnya. Ia berjalan mendekati Roman hingga keningnya hampir menyentuh ujung pistol Roman. Matanya yang tajam seolah tak takut peluru menembus dahinya. Ia berdiri tegap seolah menantang Roman.

"Percayalah Rom, aku lebih bahagia tinggal disini dengan sahabat laki-laki yang selalu kalah balap lari"

Roman terdiam dengan tetap menodongkan pistolnya. Tangannya sedikit bergetar. Hatinya apalagi. Roman mencoba meyakinkan dirinya untuk cepat membuat keputusan. Otaknya dengan keras menyuruhnya untuk menembak Sally, salah satu buronan gangster paling dicari polisi di kota ini. Menembaknya akan membuat Roman mendapat promosi naik jabatan.

Tapi perasaan Roman berkata lain, berkata untuk menurunkan pistolnya, menghampiri Sally dan memeluknya dengan erat. Sudut hati roman berteriak, memanggil cinta pertamanya. Namun entah kenapa bibir Roman tak pernah sanggup mengucap suka.

"Apa kau tak merindukanku?" tanya Sally dengan lembut. Roman mencari kesungguhan dibalik ucapan wanita ini. Namun mata Sally tidak berbohong. Ia sungguh-sungguh mengatakan yang sejujurnya.

Sungguh Roman ingin sekali membuang pistolnya dan mencium wanita itu. Merengkuh tubuhnya dan menikmati setiap kerinduan yang akan terbayar lunas hari ini. Tapi hal itu mustahil dilakukan. Sally bukan miliknya.

 

"Aku turut berduka untuk apa yang menimpa Benjamin."

Akhirnya Roman bersuara dengan getir. Membuat wajah Sally beringsut menjadi sedih. Dan sepertinya Roman menyesali apa yang baru saja ia ucapkan. Roman selalu tak bisa mengungkapkan isi perasaannya yang sesungguhnya.

"Aku akan menemukan orang yang membunuhnya." ujar Sally lirih. "Oleh karena itu ijinkan aku bebas terlebih dahulu, sahabatku!" bisik Sally tepat di  telinga kanan Roman. 

Roman yang masih terdiam, tak berdaya oleh rayuan, tanpa sadar membiarkan Sally pergi berlari dengan cepat. Sally mencoba menaiki atap rumah dengan melompat pagar.

Melihat Sally yang mencoba kabur, Roman secara tidak sengaja melepaskan tembakan. Peluru itu melaju lurus mengenai kibasan rambut Sally yang tertiup angin. Nyaris saja. Sally yang menyadari itu seketika menoleh dengan raut muka tidak percaya, lalu kembali turun menghampiri Roman.

“Kau serius ingin membunuhku?” tanya Sally sambil berjalan kembali ke arah Roman yang menggeleng pelan.

“Sally a..aku.. aku..  tidak bermaksud untuk..itu tadi begitu spontan....aku” Roman berbicara terbata-bata. 

Daaarrr... tiba-tiba terdengar suara letupan pistol. Roman memegang dadanya. Lalu terdengar lagi beberapa letupan, Roman jatuh tersungkur. Ia hanya melihat Sally berteriak sambil menghampirinya.

"ROMAAAAAAN!"

...***...

Terpopuler

Comments

Dianti Rahayu

Dianti Rahayu

aku suka dg gaya tulisanmu thor..
tdk berbelit belit...to the point

2023-02-06

0

Yeni siska

Yeni siska

wah baru bab awal udah menarik🥰

2022-09-19

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!