E N A M

Sally berulang kali melihat kaca spion. Dua mobil Hummer berwarna hitam membuntuti mobil Buggati Veyron merah Ken yang berjalan sedikit mengebut. Beberapa blok terlewati dan dua mobil tadi masih tetap saja membututi mereka. Sally tidak berani mengajak bicara. Ken nampak serius berkendara sambil sesekali bernyanyi lirih mengikuti alunan musik di dalam mobil.

Sally melihat tampilan Ken secara menyeluruh. Rambutnya yang panjang telah terpotong rapi sekarang. Tersisir rapi dan berwarna hitam gelap. Kumisnya terlihat begitu tipis dan jenggot yang biasanya dibiarkan tumbuh lebat terlihat baru saja dirapikan. Bau wangi maskulin tercium dari setelan Jas hitam yang ia kenakan.

“Kau terlihat tampan malam ini”

“Tidak perlu memujiku, kau masih belum kuampuni untuk kesalahanmu berhubungan dengan polisi itu” Jawab Ken dengan sedikit melirik ke arah spion. Sally terlihat manyun mendengar jawaban kakaknya itu.

“Aku mendekatinya karena aku mencari informasi tentang Tommy. Kalau tidak, kita tidak akan berada disini sekarang” Kilah Sally. Padahal ia mendapatkan informasi itu secara tak sengaja.

“Oh, apa kau perlu tidur dengannya selama dua hari untuk mendapatkan informasi kecil seperti itu? Menjijikkan sekali”

“Tidak hanya tentang Tommy, aku juga akhirnya tahu informasi tentang Benjamin”

Ken terhenyak. Sally menarik nafas dalam. Matanya mulai berkaca-kaca.

“Apa kakak yang membunuhnya?” tanya Sally dengan bibir bergetar. Ken terdiam.

“Aku tahu kalau Benjamin adalah seorang polisi, partner kerja Roman. Aku hanya tak menduga bahwa selama ini aku hanya dimanfaatkan.”

“Maafkan aku. Aku hanya ingin melindungimu” Ujar Ken dengan pelan. Sally memandangi raut muka Ken yang berubah menjadi sendu.

“Ayah mengetahui semuanya, bahwa Ben adalah seorang polisi. Dia menyamar untuk mencari informasi tentang keluarga kita. Ayah tak ingin kau terancam, jadi aku harus melenyapkan Ben”

Mulut Sally serasa tercekat. Tak mampu berkata apapun. Ia mulai menangis sesenggukan.

“Kau tahu, aku begitu gila ketika Ben mati. Aku berjanji akan membalaskan dendamnya. Dan..dan.. sekarang, tidak mungkin aku menyakitimu Kak. Kenapa kau harus membohongiku selama ini?”

Suara Sally semakin parau. Pikirannya sedang kalut. Ken menepikan mobilnya. Lalu mencoba meraih tubuh Sally. Dipeluknya dengan erat adik perempuannya itu. Diciumnya rambut Sally dengan lembut.

“Seharusnya aku jujur sejak awal kepadamu, tapi aku sangat tahu bagaimana rasanya kehilangan. Aku tidak ingin kau lebih bersedih lagi. Aku tahu, kau begitu mencintainya tapi dia adalah ancaman. Aku tak punya pilihan lain.”

Ken melepaskan pelukannya lalu meraih wajah Sally. Diusapnya air mata wanita itu.

“Kau boleh menghajarku nanti dirumah, tapi saat ini kumohon fokuslah untuk mencari Tommy. Aku tak akan tenang sampai ia ditemukan.” Lanjut Ken. Sally mengangguk, menghentikan tangisannya. Ken kembali melajukan mobilnya. Lebih cepat dari sebelumnya.

Dua mobil hitam itu masih membuntuti. Sally membuka tas kecilnya. Mengeluarkan dua anting permata dan mulai memasangkannya di kedua daun telinganya. Kedua anting itu bukan anting biasa, ada kamera pengintai didalamnya.

Malam ini baik Ken maupun Sally berdandan sangat formal. Mereka akan menghadiri sebuah pesta di wilayah timur kota. Ya, pesta dari keluarga Romusca. Rival dari Gregory Wilder. Berdasarkan rekaman CCTV dan informasi yang dikirim oleh mata-mata Ken di wilayah timur, besar kemungkinan Tommy berada di kediaman Vladimir Romusca.

“Kalian boleh berpencar sekarang. Bersiap pada posisi kalian masing-masing dan tunggu perintahku selanjutnya.” perintah Ken melalui speaker yang terpasang di bagian dalam kemejanya. Dua mobil Hummer hitam itu kemudian menghilang.

Mobil Ken mulai memelan ketika memasuki sebuah kompleks perumahan yang sangat mirip dengan Vollary Blue. Sekitar lima orang berbadan besar dan berpakaian rapi menghentikan mereka. Ken melihat Sally.

“Laki-laki tidak akan berani melihat pahamu jika melihat itu Sal” ujar Ken sambil melirik belahan dress hitam Sally yang tersibak. Sebuah pisau lipat terlihat menempel di stoking Sally. Sally sesegera menutupinya sesaat sebelum Ken membuka kaca mobil.

“Apakah anda diundang?” Tanya seorang penjaga ketika ia menghampiri Ken.

“Katakan saja kepada Boss-mu, aku adalah Kenneth Wilder”

Penjaga itu terkejut mendengar nama Ken. Dengan sedikit berlari dia menghampiri gerombolan teman-temannya. Lalu terlihat menghubungi seseorang. Sally melihat Ken dengan ragu. Ada perasaan gugup dari dalam hatinya. Ini seperti masuk ke kandang singa. Setelah ini jika ayah mereka tahu, mereka mungkin akan di gantung di gudang penyimpanan senjata.

Namun Ken terlihat tenang sambil sesekali membetulkan dasi nya yang juga berisikan kamera dan chip untuk memberitahukan lokasi mereka. Malam ini Ken lebih terlihat hendak pergi berkencan daripada menemui Boss mafia paling menyeramkan di wilayah Timur, Vladimir Romusca.

Penjaga itu kemudian berlari kembali menuju mobil Ken. Lalu mengisyaratkan kalau mereka bisa terus melaju. Ken terkekeh melihat ekspresi Sally yang mulai ketakutan. Dan Sally benar-benar tidak menyukai itu.

Mobil mereka memasuki sebuah rumah dengan gerbang setinggi tiga meter. Beberapa mobil mewah turut antri memasuki gerbang di belakang mereka. Para tamu datang yang datang terlihat sangat eksklusif. Tidak mengherankan. Memang beginilah kehidupan para mafia kelas atas. Sally terlihat beberapa kali berdecak kagum melihat besar dan megahnya rumah Vladimir Romusca.

Berbeda dengan rumah Greg yang terkesan gelap dan menakutkan, rumah Vlad lebih hangat dan penuh dengan benda-benda seni. Beberapa patung berparaskan dewa-dewi cerita Yunani kuno berjajar rapi di halaman depan.

“Wah.. mobil anda keren sekali Tuan! Seperti mobil remote control milik anak saya” Ujar seorang valley yang menghampiri Ken ketika ia membuka pintu mobil. Ken tersenyum tipis lalu memberikan kunci mobilnya.

“Kau bawa pulang saja dan ajak anakmu jalan-jalan dengan mobil ini.” kata Ken dengan ringan.

“Ya Tuhan, apa anda serius, Tuan? Lalu bagaimana anda pulang nanti?”

“Apa kau punya mobil yang bisa kupakai?”

“Saya tidak punya mobil, Tuan. Saya berpergian menggunakan trem”

“Baiklah, kalau begitu nanti aku akan pulang dengan naik Trem” kelakar Ken dengan menepuk pundak petugas valley itu.

Sally hanya tersenyum melihat tingkah kakaknya. Ken memang sangat baik hati dibalik posturnya yang menakutkan. Dia sangat suka dengan anak kecil dan begitu dermawan dengan orang miskin.

“Kau terlihat gentleman sekali malam ini, Kak. Apa kau sedang mabuk?” Tanya Sally sambil melingkarkan tangannya ke lengan Ken.

"Dia mata-mata yang kukirim kesini."

"Oh, jadi remote control adalah kodenya?"

Kakaknya itu tidak menjawab dan hanya tersenyum. Ia lalu mengajak Sally memasuki rumah.

Beberapa penjaga terlihat mengawasi Ken dan Sally sejak mereka meninggalkan mobil. Hingga seorang pria tampan menghampiri mereka dengan tergesa. Pria itu terlihat seumuran dengan Ken. Dengan memakai Tuxedo hitam dan gayanya yang flamboyan, dia menyambut Ken dengan uluran tangan.

“Ken Wilder! Wow!” Ucapnya setengah berteriak sehingga beberapa tamu undangan yang datang melihat kearah Ken dengan terkejut. Sontak tak beberapa lama terdengar kasak kusuk dan tatapan sinis dari seisi ruangan.

“Kuharap kau tak keberatan kalau aku datang ke pesta mewahmu ini, Johnny!” Ken tersenyum sinis sambil mengulurkan tangan. Pria itu menyambut uluran tangan Ken dengan percaya diri.

“Oh, aku sangat senang sekali kau mau datang kemari. Maafkan aku yang selalu lupa mengirim undangan, kawan lama”

Sally melihat dua pria yang sedang berjabat tangan itu dengan aneh. Sorot mata mereka sama-sama menyiratkan dendam dan benci. Jabatan tangan merekapun terlihat seperti adu panco. Remasan jemari yang sangat aneh untuk "kawan lama" yang bertemu kembali.

Tiba-tiba muncul seorang wanita cantik menghampiri mereka. Langkahnya tergesa dan wajahnya memucat ketika melihat Ken. Ken pun segera melepaskan jabat tangannya dengan Johnny. Matanya berbinar dan senyumnya tiba-tiba merekah. Sally menyerngitkan dahi melihat gelagat kakaknya itu.

“Kenny..”

“Hai Jully”

“Kenny??” Sally mengulang perkataan Jully, dengan nada setengah mengejek.

Mereka bertatap muka tanpa berbicara sepatah kata apapun setelah itu. Pria yang tadi dipanggil Johnny pun hanya diam melirik dengan penuh rasa cemburu. Sally merasa tak ubahnya seperti patung diantara drama cinta segitiga, ia kemudian berdehem pelan. Hal itu membuat wanita cantik tadi mengalihkan pandang ke arah Sally.

“Oh, dan ini adalah…”

“Sally Wilder” jawab Sally sambil mengulurkan tangannya. Wanita cantik berambut pirang tersebut membalas uluran tangan Sally dengan senyuman manis.

Sungguh cantik sekali wanita ini, batin Sally. Tapi wajahnya mengingatkan Sally akan sesuatu. Seperti bukan wajah orang asing. Hanya saja Sally masih belum yakin akan ingatannya.

“Oh, kau cantik sekali Sally. Aku Julianne Romusca. Panggil saja, Jully. Aku dan Ken adalah teman baik sewaktu kami kuliah” ujarnya sambil melihat Ken yang masih belum mengalihkan pandangannya.

Ken mengangguk dengan cepat. Senyumnya merekah. Sally menyipitkan matanya ke arah Ken yang terlihat terpesona sekali dengan Jully. Kakak ini memalukan, batin Sally. Sally menyentuhkan siku tangannya ke tangan Ken. Ken yang tersadar lalu mengenalkan Sally kepada laki laki tampan di depannya.

“Ini Johannson Sebastian, aku memanggilnya Johnny, Little Jonny….” Ken tersenyum mengejek.

“Ah itu nama lamaku, sekarang orang-orang memanggilku Sebastian Romusca” Sebastian memotong ucapan Ken dengan sinis. “Aku suami Jully." Sebastian mengerlingkan matanya.

Sally menjabat tangan Sebastian dengan ragu. Ekspresi wajah Ken berubah 180 derajat. Wajahnya mulai tidak seramah tadi. Sally menggaruk rambutnya yang sebenarnya tidak gatal. Entah kenapa ia merasa aneh dengan gelagat ketiga orang ini. Seperti ada sesuatu yang tidak baik terjadi di masa lalu mereka.

Sebastian dan Jully mempersilahkan Ken dan Sally untuk menikmati jamuan. Para tamu nampak kembali normal. Mereka menuju ke meja Bar. Sally memesan cocktail. Ken menikmati segelas Martini dengan sesekali mengawasi seisi ruangan.

“Jadi apa maksud dari sebutan “Kenny”? Apa itu semacam panggilan sayang?” Tanya Sally setengah menggoda. Ken tidak menjawab, hanya pipinya tiba-tiba merona dan terlihat sedang menahan senyum.

“Ah baiklah, Aku akan berkeliling rumah saja” ujar Sally.

“Hey, berhati-hatilah!” pesan Ken ketika Sally mulai melangkah pergi. Sally menaikkan kedua alisnya. Ken melihat adiknya hingga menghilang dibalik ruangan sambil sesekali melihat beberapa penjaga yang sedari tadi mengawasi mereka.

Sally berkeliling ke berbagai sudut ruang di dalam rumah. Mencoba untuk mencari sesuatu. Atau seseorang lebih tepatnya. Ya, Sally dan Ken memang sengaja datang ke pesta di rumah Romusca untuk mencari Tommy. Setelah beberapa informasi yang mereka dapatkan, semua petunjuk mengarah kepada Vladimir Romusca.

Sally dengan langkah perlahan menyusuri lorong yang penuh dengan foto-foto keluarga. Foto-foto itu lebih di dominasi foto Jully saat kecil hingga dewasa. Hingga Sally berhenti pada sebuah foto yang berbeda dari lainnya. Foto seorang balita dengan baju biru bermotif kotak-kotak. Ia duduk dipangkuan seorang wanita bermata biru dan rambutnya ikal berwarna coklat. Ada sebuah tulisan dibagian bawah foto. My Prince in his 2nd birthday.

Sally melanjutkan langkahnya. Hingga ia memasuki sebuah ruangan sepi berisi banyak lukisan. Seperti sebuah galeri seni. Sally tak pernah memahami seni lukis. Itu adalah pekerjaan Tommy. Tommy sangat menyukai lukisan. Setiap hari adalah hari melukis bagi Tommy.

Langkah Sally terhenti di depan sebuah lukisan besar yang terpampang tepat di tengah galeri. Gambar seekor elang bertarung dengan seekor serigala.

“Menurutmu siapa yang akan menang antara elang dan serigala?"

Sally menoleh ke arah sumber suara. Seorang pria paruh baya dengan rambut panjang berwarna putih mendatangi Sally. Pria tua itu membawa tongkat kecil yang digenggamnya diantara lengannya. Langkah kakinya begitu pelan namun tegas. Senyumnya terasa sangat dingin di mata Sally. Hanya saja, dari wajahnya yang begitu mirip dengan Jully, Sally bisa menebak dengan mudah bahwa lelaki tua di depannya adalah Vladimir Romusca.

“Saya rasa keduanya mempunyai peluang yang sama untuk menang, juga peluang yang sama untuk kalah. Kita tidak akan tahu bagaimana akhirnya jika tidak melihat langsung bagaimana itu terjadi”

“Lalu bagaimana kalau aku memaksa untuk tahu seperti apa akhirnya?”

“Kenapa tidak anda tanyakan saja kepada pelukisnya?”

“Ide yang menarik. Mungkin sebelum dia mati, seharusnya aku bertanya bagaimana akhir dari pertarungan ini”

Sally terdiam sesaat setelah mendengar jawaban Vlad. Tiba-tiba saja ia berpikir tentang hal yang tidak ia inginkan. Senyuman dingin Vlad membuat Sally bergidik ngeri. Entah kenapa hati Sally menjadi tidak karuan.

“Mati?” Tanya Sally dengan lirih.

Vlad menghampiri Sally. Mendekatkan tubuhnya untuk menggapai wajah Sally. Jemari tangan Vlad menyentuh lembut pipi Sally. Bibir Sally bergetar. Ada rasa yang membuat dia tidak bisa bergerak. Otaknya menyuruh untuk mencari tahu siapa pelukis lukisan elang serigala ini. Dan entah kenapa kedua matanya tiba-tiba melihat bagian ujung bawah frame lukisan. Sebuah nama tertulis kecil di sebuah kertas seukuran kartu nama.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!