T U J U H B E L A S

Kobaran api telah selesai dipadamkan. Namun beberapa petugas masih berjaga-jaga disekitar lokasi peledakan. Roman masih duduk lunglai di pinggir jalan sembari memutar-mutar ponselnya yang tidak bisa menyala. Baterai ponsel Roman habis dan ia tak bisa melakukan apapun selain menunggu evakuasi petugas.

Habb datang menghampiri Roman dengan tergopoh-gopoh. Dengan menggunakan Coat panjang khasnya, ia berjongkok memandang wajah Roman.

“Kau tak apa-apa?” Tanya Habb dengan mimik khawatir. Roman menggeleng pelan. Ia lantas menatap wajah Habb,

“Bagaimana kau tahu aku ada disini?” tanyanya curiga.

“Aku mendengar ada ledakan disini, dan kukira itu adalah perbuatan keluarga Wilder. Jadi aku langsung menuju kemari, aku baru mengetahui kalau kau juga ada disini” Kilahnya.

Roman mencium aroma tubuh Habb yang sangat bau tembakau. Tidak mengherankan karena Habb sangat menyukai cerutu. Namun, aroma ini sangat menyengat. Roman melirik Coat Habb yang sedikit terbuka, sebuah pistol terselip dibelakang kemejanya.

Seorang petugas menghampiri Roman dan Habb, Roman segera berdiri karena ia memang sedang menunggu hasil penyisiran.

“Kami tidak menemukan korban perempuan. Hanya ada satu korban laki-laki dan sudah teridentifikasi bahwa itu adalah penjaga toko. Tidak ada korban lain selain dia.”

“Apa kau benar-benar yakin?” Tanya Habb memastikan. Roman segera melirik Habb, mengapa ia begitu ingin memastikan? Ia sedang memastikan apa ada korban perempuan? Apakah Habb adalah…

“Lalu bagaimana dengan pesananku tadi?” Tanya Roman kepada petugas itu.

“Pesanan?” Tanya Habb penasaran.

“Petugas lain masih mencarinya”

“Baiklah, terima kasih. Kau bisa melanjutkan pekerjaanmu” perintah Roman, petugas itu lantas pergi setelah memberi hormat.

“Apa maksudnya pesanan?” Habb masih penasaran dengan kata “pesanan” yang tidak dijelaskan oleh Roman. Roman hanya tersenyum lalu berjalan meninggalkan Habb.

“Oh iya Habb, besok aku akan masuk kerja” teriak Roman dengan masih berjalan menjauhi atasannya itu.

“Bukankah kau masih cuti? Kenapa terburu-buru?”

Roman menggeleng sambil melambaikan tangan, “Aku bosan dirumah!”

...***...

Keesokan harinya, Roman datang sangat pagi sekali. Beberapa rekannya yang bertugas malam bahkan belum menyelesaikan shift kerjanya. Roman membuka laptop dan mulai memindahkan file-file penting kedalam sebuah flasdisk. Selagi menunggu semua file tersalin, Roman beralih menuju meja kerja Habb. Ia mencoba membuka laptop milik atasannya itu.

Jam menunjukkan pukul 05.30. Mata Roman terlihat lelah karena tidak tidur semalaman. Ia masih belum bisa menghubungi Sally. Setelah ia berhasil menghidupkan ponselnya, giliran ponsel Sally yang tidak dapat dihubungi. Namun satu hal yang masih membuat Roman lega adalah Sally tidak ditemukan tewas dalam ledakan kemarin. Entah ia berada dimana, yang pasti dia masih hidup.

Roman kembali fokus dengan pekerjaannya. Kali ini ia harus berpacu dengan waktu sebelum Habb datang ke kantor. Emma datang menghampiri Roman dengan tergopoh-gopoh. Ia lantas menyerahkan belasan lembar kertas berisikan catatan panggilan dan lokasi.

“Kau harus membayarku dengan tiket opera paling mahal untuk pekerjaan ini” canda Emma ketika ia memberikan tumpukan kertas itu kepada Roman.

“Akan kuberikan satu bulan gajiku untukmu” Roman tersenyum menggoda. Emma hanya tertawa.

“Kau semakin sombong setelah berkencan dengan anak Wilder”

Emma adalah rekan satu angkatan Roman. Wanita berambut pendek itu juga bekerja di divisi yang sama dengannya. Sama seperti halnya Benjamin, Emma juga teman dekat Roman. Emma sangat lihai meretas data dan Ia salah satu andalan di tim Cyber Crime.

“Jadi selama ini Habb menyadap semua panggilanmu. Dan dia juga melacak lokasimu. Kau sebaiknya mengganti ponsel dan nomor teleponmu Rom”

Roman mengangguk sembari membaca data yang diberikan Emma. Tidak salah lagi, pria yang semalam beradu tembakan dengan Roman adalah Habb. Dan mungkin Habb juga yang merencanakan pengeboman.

“Kau serius akan melawan atasanmu sendiri?” Tanya Emma ragu-ragu. Roman hanya terdiam, namun ia yakin bahwa jawaban dari pertanyaan Emma adalah Iya.

“Emma, apa kau pernah melihat Habb membawa dokumen-dokumen usang?”

Emma mencoba mengingat sesuatu, “Ah, seperti nya aku pernah melihatnya membawa kardus dan membawanya ke tempat pemusnahan file-file lama. Entah sepenting apa kasus yang ada di kardus itu, namun Habb biasanya menyuruh rekan-rekan lain yang melakukannya. Aku rasa itu benar-benar kasus penting hingga ia harus memusnahkan file-file itu sendiri”

Emma menepuk punggung Roman, “Lakukan yang menurutmu benar, aku akan sepenuhnya mendukungmu. Namun berhati-hatilah, jangan sampai berakhir seperti Benjamin” Roman melirik wanita itu lalu mengerlingkan mata.

“Emma, kau sudah menemukan Sally?”

“Ah iya aku lupa, kalau kulacak nomor ponselnya, ia berada di kawasan hutan pinus di daerah selatan. Kau harus kesana untuk memastikannya.”

“Kurasa ia berada di rumah persembunyian Kenneth Wilder”

“Kenapa? Nyalimu menciut?” goda Emma melihat Roman seperti ragu-ragu.

“Emma, kau yakin aku akan selamat jika aku mendatangi rumah mereka?”

Emma terbahak-bahak hingga beberapa orang yang melintas berhenti dan melihatnya. Roman menutup mulut sahabatnya itu.

“Ckck.. kalau kau begitu pengecut kenapa berani mengencani seorang mafia? Ah kau ini!” Emma memukul lengan Roman. Roman meringis kesakitan sembari mengusap lengannya.

Tiba-tiba ponsel Emma berdering. Ia menunjukkan layar ponselnya kearah Roman. Nama Habb tertulis disana. Roman memberi kode untuk Emma segera menjawabnya. Emma menyalakan mode speaker.

“Siap kapten!”

“Emma, Kau dikantor? Aku membutuhkanmu untuk mencari seseorang”

“Ah iya, aku bekerja shift malam. Jadi aku masih di kantor. Siapa yang harus kucari kapten?”

“Jullianne Romusca” jawab Habb. Roman dan Emma saling berpandangan.

“Siap, akan aku cari sekarang juga”

“Baiklah cepat beritahu aku kalau kau sudah menemukannya”

Habb menutup teleponnya. Emma segera menuju ruang kerjanya sedangkan Roman sesegera mungkin menyelesaikan pekerjaannya menyalin file file penting Habb. Tidak butuh lama bagi mereka berdua untuk menyelesaikan tugasnya.

...***...

Sinar matahari menerobos dengan lembut dibalik pohon-pohon pinus yang tinggi menjulang. Bau tanah dan daun basah menyegarkan pagi Jully hari ini. Derap langkahnya seolah terdengar sangat keras karena hutan ini begitu hening. Hanya terdengar sayup-sayup suara burung dan serangga hutan.

Langkah kaki Jully akhirnya terhenti di pinggir sebuah danau. Danau yang tak begitu luas namun sangat indah karena dikelilingi oleh hutan pinus. Beberapa angsa berwajah putih kecil berenang dipinggir danau tanpa merasa terusik oleh kehadiran Jully.

Jully tersenyum bahagia. Ia tak pernah melihat pemandangan secantik ini sebelumnya. Begitu damainya berada di tempat ini, pikir Jully. Sejenak, ia bahkan melupakan segala masalah yang sedang ia hadapi. Jully memejamkan mata, untuk sesaat ia bersyukur kepada Tuhan.

“Terima kasih karena telah menyelamatkan Sally” terdengar suara dari samping Jully. Ia segera menoleh dan mendapati Ken telah berada disampingnya.

“Kau mengikutiku?” Tanya Jully dengan senyuman manisnya.

“Aku pikir kau akan kabur, jadi aku mengikutimu” jawab Ken dengan malu-malu.

“Kupikir inilah tempat terbaik untukku tinggal” sahut Jully dengan menarik nafas panjang.

Ken menatap wajah cantik mantan kekasihnya. Wajah Jully sama bersinarnya dengan matahari, selalu bisa menghangatkan hati Ken. Lelaki berbadan besar itu telah bertahun-tahun mencintai Jully, walau kisah cinta mereka tak lagi berlanjut namun hati Ken masih tetap mencintai Jully. Ia bahkan tak mampu melukai Jully sedikitpun walau wanita itu pernah mencoba membunuhnya.

Jully adalah cinta pertama Ken. Mereka bertemu ketika masih kecil dan besar dengan saling menyimpan perasaan. Ketika itu, mereka pernah berpacaran secara diam-diam. Namun, Vladimir mengetahui hubungan itu dan akhirnya menikahkan Jully dengan seorang anak dari pengusaha terkenal di Kota Metro, Johanson Sebastian.

Hubungan Ken dan Jully pun harus kandas, dan itu menimbulkan patah hati yang luar biasa untuk Ken. Ia bahkan belum bisa mengganti nama Jully dengan nama wanita manapun di hatinya. Jully adalah satu-satunya yang mampu menjinakkan monster keluarga Wilder itu.

“Kau masih disakiti oleh Sebastian?” Tanya Ken dengan suara sangat pelan.

“Kau tak perlu khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri”

“Dia masih sering memukulmu?”

Jully tersenyum, “Aku sudah mulai terbiasa”

Ken merasa kesal dengan jawaban Jully. Tangannya menggenggam dengan geram. Ingin rasanya menghajar Sebastian saat ini juga. Jully menyadari bahwa Ken masih mencintainya. Namun, iapun tak mampu berbuat apa-apa. Keluarga mereka tak mungkin bersatu. Cinta mereka tak mungkin bisa dipersatukan.

“Kenny..” Jully beralih menghadap Ken. Laki laki itu menatap wajah Jully dengan serius.

“Maafkan aku” ujar Jully dengan lembut lalu ia pun mencium Ken.

Ken terkejut dan masih diam merasakan lembut bibir Jully menempel di bibirnya. Tangan Jully meraih kedua pipi Ken, seolah menyuruhnya untuk mendekat. Ken meraih pinggang Jully dan mulai memeluk tubuh wanita itu.

Dua manusia yang cintanya tak direstui itu akhirnya larut dalam perasaan masing-masing. Air mata Jully menetes melalui tepi kelopak matanya. Ia begitu bahagia dan sedih dalam waktu yang bersamaan.

Mereka berciuman cukup lama hingga tiba-tiba terdengar suara tembakan dari kejauhan. Jully memekik pelan dan Ken segera melindungi kekasihnya.

Sally tiba-tiba muncul dari balik pohon, dengan membawa senapan laras panjang untuk berburu. Ken menghembuskan nafas lega.

“Ah aku minta maaf, aku pikir tadi aku melihat serigala tapi ternyata hanya semak belukar” tukas Sally sembari mengunyah permen karet. Membuat Ken menjadi semakin kesal.

“Jadi kau berburu serigala di pagi hari? Sejak kapan kau punya hobi aneh seperti itu?” Tanya Ken dengan nada jengkel.

“Oh aku pikir pergi berburu sama seperti olahraga. Aku harus rajin berolah raga, bukan?” jawab Sally tanpa merasa bersalah.

Jully tertawa, “Baiklah, aku akan menyiapkan sarapan untuk kalian. Silahkan berburu bersama” Jully melangkah pergi meninggalkan kakak beradik itu.

Ken menghampiri Sally, lalu menyentik dahinya. Sally meringis kesakitan.

“Aku hanya mengingatkanmu, dia istri seseorang”

Ken pergi tanpa menjawab sepatah katapun.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!