Jullianne berdiri dengan gamang di depan pintu kamar. Ia mengetuk pintu dengan perlahan. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Ia beberapa kali menggigit bibirnya. Jullianne Romusca sedang gugup segugup-gugupnya.
Pintu itu terbuka perlahan. Wajah Ken menyembul diiringi senyumnya yang terkembang manis. Jullianne masuk dengan ragu-ragu. Pintu ditutup kembali.
"Ada apa?" tanya Ken dengan sopan. "Apa kamar yang kusediakan tidak nyaman untukmu?"
"Tidak..tidak.. Kamar itu bahkan terlalu mewah untukku. Aku hanya ingin bicara denganmu, di kamarmu"
Ken tersenyum.
"Kita bisa bicara di sofa" Jullianne menunjuk sebuah sofa di depan ranjang. Ken menurut.
"Aku tadi bicara dengan Sally tentang Benjamin. Apa kau tahu kalau dia adalah adikku?"
"Benjamin? Tidak mungkin. Aku telah menyelidiki latar belakang pria itu. Dia lahir dan tumbuh di panti asuhan . Ibunya bekerja di yayasan lalu menikah dengan seorang jaksa. Dimitri, kau pasti tahu jaksa Dimitri bukan?"
Jullianne terdiam. Apa benar yang disampaikan Ken dan Sally kepadanya. Lalu bagaimana Benjamin mempunyai tato yang sama dengannya?
"Apakah ini rekayasa Sebastian dan Habb?" gumamnya pelan.
Ken mendengarkan Julliane. Ia masih menunggu apa yang akan disampaikan wanita itu. Jullianne nampak berpikir dan mulai menyimpulkan sesuatu.
"Aku akan mengambil Wine sebentar" ucap Ken sambil berdiri dari duduknya. Jullianne tiba-tiba berlutut di depan Ken. Membuat pria itu kebingungan.
"Apa yang kau lakukan?" tanyanya sambil mencoba mengangkat tubuh Jullianne namun wanita itu bersikeras untuk berlutut di depannya.
"Maafkan aku Ken. Ini semua karena kebodohanku. Adikmu meninggal karena kebodohanku."
Kenneth menyerngitkan keningnya.
"Kala itu aku mendapatkan informasi dari Habb bahwa adikku yang hilang telah ditemukan. Ia telah tewas ditangan mu. Aku sendiri melihat mayat Benjamin di rumah sakit dan ia memiliki tanda yang sama denganku"
"Jadi itu yang membuat kalian membunuh adikku?" tanya Ken dengan datar. Jullianne mengangguk dengan rasa bersalah.
"Kau benar-benar telah dibodohi suamimu dan antek-anteknya"
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Kepala Roman menyembul dari balik pintu. Ia nampak terkejut melihat pemandangan di hadapannya. Jully sedang berlutut tepat di depan Ken yang sedang berdiri menatap Roman.
"O..ow.. maafkan aku, kukira kau sedang sendirian Kakak ipar."
"Ada apa?" tanya Ken dengan geram.
"Aku telah mendapatkan jawabannya."
"Sekarang?"
"Kau bilang aku harus bekerja sekarang?"
Ken menatap Jully, "Aku keluar sebentar. Tunggulah disini, kita masih perlu bicara."
Jully mengangguk pasrah. Ken berjalan keluar kamar diiringi senyum nyengir Roman yang menggodanya. Pintu kamar ditutup dan Ken segera memiting kepala Roman dan menariknya berjalan menjauhi kamar. Roman berteriak kesakitan.
"Kalau itu bukan informasi penting, akan kuhabisi kau sekarang juga." ucap Ken sembari melepaskan Roman.
"Kau tak memperbolehkanku bertemu dengan Sally, kau sendiri berduaan dengan wanita itu." Roman meregangkan kepalanya.
"Cepat katakan apa yang kau dapat?"
"Kau tahu ada gerakan bawah tanah bernama Oak Woods?"
Ken menggeleng pelan.
"Organisasi ini mulai dibentuk 5 tahun yang lalu dengan hanya beranggotakan 10 orang. Dan sekarang anggota mereka menjadi 1000 orang."
Ken tersenyum sinis.
"Jangan jumawa dulu! Aku tahu kau punya banyak anggota. Tapi apakah kau yakin kelompok gangster-gangster kecil dibawah mu itu akan setia kepadamu? Jika saja 10 kelompok gangster kecil mengkhianatimu, bukankah anggota mafia Wilder berkurang banyak? Kau dan Romusca mempunyai jumlah anggota yang sama besar. Namun bagaimana jika Oak Woods bergabung dengan Romusca? Kau akan kalah telak, Kenneth Wilder."
"Kau dapat informasi itu darimana?"
Roman menunjukkan ponselnya kepada Ken. Pria itu mulai membaca file yang berisi anggota kelompok Oak Woods. Mata Ken mulai serius ketika ia tahu beberapa anggotanya ada yang menjadi kelompok Oak Woods.
"Temanku meretas laptop Habb dan mendapatkan semua itu."
"Habb? Polisi sialan itu?"
"Habb adalah salah satu petinggi kelompok Oak Woods. Dan tebak siapa ketuanya?"
"Sebastian Romusca." jawab Ken. Roman menjentikkan jari. Menyetujui jawaban Ken.
"Ini bagian pentingnya. Kau bertanya kenapa Sally diincar oleh mereka? jawabannya karena Sally adalah penerus satu-satunya klan Wilder yang masih hidup. Maaf, kalau aku lancang bicara seperti ini tapi.."
"Aku tahu, aku hanya anak angkat" Ken memotong ucapan Roman. Namun ia masih terlihat santai mengatakannya. Padahal Roman telah menyiapkan kata-kata yang sedikit bersimpati.
"Tommy telah tewas. Jika Sally juga tewas, Gregory tua bukanlah sesuatu yang serius. Mereka bisa dengan mudah menyingkirkannya. Jika Gregory bisa ditumbangkan, kau pun bukan lagi ancaman. Bagi mereka, kau bukan siapa-siapa, kau hanya boneka Gregory. Beberapa ketua gengster telah setuju untuk bergabung dengan Oak Woods jika Gregory bisa ditumbangkan."
Ken membanting ponsel dengan geram. Amarahnya kini seolah berada diujung kepala. Roman menghela nafas panjang. Ponselnya remuk berkeping-keping. Namun ia tak mungkin marah. Melihat ekspresi Ken yang berapi-api, lebih baik ia mengalah dengan diam saja. Luka di wajahnya masih terasa perih, ia tidak mau menambah luka baru lagi.
"Kau selidiki siapa Habb sebenarnya. Kenapa ia berambisi menumbangkan keluargaku. Bajingan itu akan kusingkirkan lebih dulu."
Roman mengangguk. Ken berbalik menuju kamarnya. Namun sebelum jauh, Roman kembali berbicara.
"Kau sebaiknya berhati-hati dengan wanita itu. Dia mungkin dalam misi mengambil chip yang kau ambil dari Bank Central. Kudengar, Vladimir sedang mencari chip itu."
Ken berhenti sejenak, "Aku tahu."
...***...
Jully bergerak dengan cepat membuka laci demi laci. Membuka seluruh isi lemari. Ia telah mencari hampir di setiap sudut kamar Ken, namun ia masih belum menemukan chip yang ia cari.
Apakah Ken membawanya?
Pandangannya kini beralih pada sebuah pigora yang terletak di meja samping ranjang. Di dalamnya ada foto Ken beserta kedua adiknya. Mereka saling merangkul dan tersenyum lebar. Hati Jully menjadi sedih. Kematian Tommy adalah sebuah kesalahan besar.
Jika Benjamin bukan adikku, berarti Habb telah memalsukan identitas Benjamin. Apakah ia bekerja sama dengan Sebastian? Apakah mereka sengaja memantik peperangan antar dua kelompok mafia besar ini?
Lalu apa sebenarnya tujuan mereka?
Pintu terbuka, membuyarkan lamunan Jully yang seketika langsung meletakkan pigora itu ke tempatnya.
"Kau mencari ini?" tanya Ken dengan tangan menunjukkan sebuah flashdisk. Jully tak menjawab. Rencananya sudah diketahui Ken. Ia tak bisa mengelak lagi. Ia lantas mengangguk.
"Aku akan memberikannya kepadamu tapi kau harus menukarnya dengan sesuatu"
"Apa?"
"Dirimu." jawab Ken dengan tegas. Jully terkejut.
"Kenny..." gumamnya.
Ken mengunci pintu. Ia lalu berjalan pelan menuju Jully yang tak berkedip menatapnya. Jully melangkah mundur hingga kakinya menyentuh ranjang. Tersudut. Jully tak bisa berkutik, sedang Ken masih berjalan ke arahnya dengan tatapan mata yang tak bisa diartikan Jully.
Ken berhenti tepat di depan Jully. Mungkin hanya berjarak satu rengkuhan tangan.
"Berpisah lah dengan Sebastian dan menikah denganku."
Jullianne terhenyak, jantungnya serasa berhenti berdetak. Ken mengatakan itu tanpa sedikitpun ragu dalam hatinya. Jully berulang kali menelan ludahnya. Ia tak tahu harus mengatakan apa.
"Kenny.."
"Aku tahu kau mencintaiku. Ayo menikah!"
"Ayahku.."
"Ayahku pun juga tak akan setuju. Ayahku tak akan mengampuni perbuatan kalian setelah membunuh Tommy. Menikahlah denganku atau kau tak akan bertemu dengan ayahmu selama-lamanya."
Ken mengeluarkan pistol dari balik kaosnya.
"Kau tak mungkin bisa membunuhku." ucap Jully dengan sinis. Ken membalas ucapan itu dengan tembakan yang melesat tepat di samping Jully.
Jully terbelalak tak percaya Ken mengancamnya semudah itu.
"Kenny.." bentaknya. Ken kembali menembak, kali ini mengenai lampu. Seketika kamar gelap gulita.
"Kenneth Wilder, kau benar-benar..." Jully benar-benar geram. Kali ini ia melempar bantal ke arah Ken. Pria itu menangkisnya dengan cekatan. Ia lempar kembali ke arah Jully.
Jully menyerang Ken, ia berusaha merebut pistol yang dipegang laki-laki itu. Tak berhasil, Ken mengangkat tinggi-tinggi pistolnya. Jully tak hilang akal, disikutnya wajah Ken dan menendang perut Ken dengan keras.
Berhasil, Ken membungkuk kesakitan. Pistol Ken terlempar jauh. Jully berlari mengambilnya, namun melompat sambil meraih kaki Jully. Ken berhasil menarik kaki wanita itu. Keduanya jatuh tersungkur.
Jully mencoba melepaskan diri, namun tangan Ken dengan erat memegang kakinya. Di tengah gelap ia masih bisa melihat pistol yang tergelatak tak jauh lagi. Jully masih belum menyerah, ia mencoba menggapai pistol yang hanya beberapa sentimeter di depan tangannya walau tubuh Ken mulai merangkak menindih tubuhnya.
...Dapat!...
Jully menodongkan pistol tepat disaat Ken hendak mengambilnya. Mata mereka beradu. Tak ada suara lain selain nafas terengah diantara keduanya. Ujung pistol itu menempel tepat di dahi Ken. Pria itu menahan tubuhnya, karena Jully berada tepat di bawahnya.
"Tembaklah!" ucap Ken sembari memegang tangan Jully yang gemetar.
"Kau pikir aku tak berani untuk menembakmu?"
"Maka dari itu tembaklah."
Mata Jully mulai berair. Ia tak bisa melakukannya. Jully menggeleng pelan. Ken mengambil pistol lalu di membuangnya. Ia tak bisa lagi menahan diri. Diciumnya Jully yang tampaknya juga ingin melakukan hal yang sama.
Ciuman itu semakin memanas. Membuat mereka ingin melakukan lebih dari itu. Jully membuka kaos Ken dengan kasar. Jemari Ken pun tak mau kalah, ia mulai membuka kancing baju Jully satu persatu.
Namun tiba-tiba pintu kamar didobrak dari luar. Nampak tiga orang masuk dengan panik.
"Sally, nyalakan senter!" perintah Serge.
Sally menyalakan senter dari ponselnya. Kali ini cahaya senter tepat menyinari Ken dan Jully yang masih berada diatas lantai.
Serge, Roman dan Sally masing-masing melongo melihat pemandangan di depan mereka.
"Maaf Boss.. kami mendengar suara tembakan jadi kami pikir kau dalam bahaya. Kami mendobrak masuk tanpa pikir panjang." Serge memalingkan kepalanya. Ia merasa tak enak hati dengan Ken.
"Wah..gaya bercinta kalian menyeramkan juga ya!" seloroh Roman sembari melihat isi ruangan yang berantakan.
Sally tak bereaksi. Ia lantas keluar kamar tanpa mengatakan sepatah katapun. Roman menyusul di belakangnya. Ken dan Jully tak berkata apapun. Mereka pun juga masih di posisi yang sama.
"Saya keluar Boss"
"Serge.." panggil Ken dengan pelan.
"Ya Boss?"
"Kondisikan mereka berdua!"
"Baik Boss!"
Serge menutup pintu kamar.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments