S E M B I L A N B E L A S

Seorang pria tua duduk diatas kursi roda di dalam sebuah kamar naratama hotel mewah. Matanya menerawang jauh melihat deburan ombak melalui jendela kaca berukuran besar. Pemandangan menakjubkan yang hanya bisa dilihat dari hotel terbaik di Utara Kota, Rousanda Hotel. Hotel bintang lima yang dimiliki oleh Vladimir Romusca.

Pria tua itu menyesap cerutu, di sesekali nafasnya yang mulai diselingi batuk kering. Badannya yang kurus tinggi sekarang nampak sedikit bungkuk karena usia. Pria tua itu terkenal dengan perawakannya yang mirip seperti vampire. Kulit putih pucat dengan sorot mata yang tajam. Rambutnya panjang sebahu dan selalu dikuncir rapi. Rambutnya kini berwarna perak mengkilat, menandakan usianya tak lagi muda. Dialah Vladimir Romusca.

Vladimir atau yang paling sering dipanggil Vlad, adalah mafia paling berbahaya dan disegani di wilayah Timur dan Utara Kota Metro. Bisnisnya hampir menguasai kedua wilayah itu. Semua pengusaha di wilayah itu hampir dipastikan akan berlomba-lomba bekerja sama dengan Vlad karena bisa dipastikan usahanya akan sukses besar dan bebas dari ancaman kompetitornya.

Pintu kamar terdengar diketuk, lalu dua lelaki masuk menghampiri Vlad.

“Kami mencoba mencari keberadaan Jully, namun ia masih belum bisa ditemukan” Ujar Sebastian dengan terbata-bata.

“Ponselnya kami temukan di terowongan menuju Pusat Kota, kurasa Jully sengaja membuangnya.” Tambah Habb.

“Bagaimana dengan mobil yang ia gunakan?”

“Ia menggunakan Mercedes hitam dan menggunakan sopir. Namun, kami tidak bisa melacaknya. Bahkan CCTV jalan tidak menangkap gambar mereka” terang Habb.

Vladimir terdiam, lalu tersenyum tanpa sepengetahuan Sebastian dan Habb. Walau ia mengkhawatirkan anak sulungnya

itu, namun ia sangat yakin Jully sedang menjalankan tugas yang ia berikan. Mengambil File Dimitri dari Kenneth Wilder.

...***...

Roman menatap wajah Sally yang menemaninya disisi ranjang. Wanita itu menatapnya dengan wajah khawatir. Sedangkan Serge sedang membersihkan darah yang mengalir di wajah Roman.

“Wajahmu berlumuran darah tapi kau masih terlihat tampan” ujar Serge. Roman tersenyum.

“Mungkin karena itu dia masih membiarkanku hidup”

Sally mencubit tangan Roman yang masih bisa bercanda di suasana seperti ini. Serge hanya menggeleng pelan. Sebagai sahabat dan orang yang paling lama menemani Kenneth Wilder, ia begitu paham watak dan karakter laki-laki itu.

Ken adalah orang yang begitu keras di luar namun sesungguhnya memiliki hati yang sangat lembut. Apalagi jika itu menyangkut keluarganya, terutama Sally, adik satu-satunya yang kini ia miliki. Setelah Tommy meninggal, ia semakin khawatir dengan adik perempuannya itu.

“Kau sangat beruntung Roman. Aku rasa, kau berhasil mengambil sedikit hatinya.” Serge tersenyum diikuti tatapan lembut Sally yang seolah membenarkan kata-kata Serge. Kali ini Roman hanya terdiam, karena ia melihat kesungguhan didalam perkataan Serge.

“Aku bahkan tidak punya sedikitpun hati padanya” terdengar suara dari ujung pintu. Mereka bertiga kompak melihat kearah sumber suara. Ken berdiri sambil menyilangkan tangan didepan dadanya.

“Cepat selesaikan, aku mau bicara dengan pengecut ini”

Serge menutup luka Roman dengan kapas dan plester. Lalu sesegera mungkin mengemasi peralatan medisnya dan keluar dari kamar. Sally terlihat masih duduk disamping Roman.

“Kau juga keluar. Aku hanya akan bicara empat mata dengan kekasihmu itu” perintah Ken.

Sally manyun dan meninggalkan kamar dengan wajah sebal. Ken menutup pintu kamar dan menghampiri Roman. Roman hanya terdiam dan tak berani menatap wajah Ken.

“Kau tahu pelakunya?” Tanya Ken memulai pembicaraan. Roman mengangguk.

“Kau tahu kenapa ia mengincar Sally?” tanyanya lagi.

“Aku sedang menyelidikinya”

“Kuberi waktu dua hari untuk menemukan jawabannya”

“Kenapa harus dua hari?”

“Karena setelah itu aku akan membunuhnya. Tapi sebelum itu, aku ingin tahu alasan pasti kenapa dia mengincar adikku”

Roman melongo, lebih tepatnya terkejut, mendengar Ken berbicara dengan santainya akan membunuh Habb. Lehernya bergidik ngeri, ia teringat nasib Benjamin.

Apakah nanti Ken juga akan membunuhku? Apakah ini hanya sekedar pemanasan untuknya?pikir Roman.

“Baiklah, aku akan mulai bekerja besok”

“Sekarang! Kau bisa menggunakan apapun yang kau butuhkan dirumah ini.”

“Sekarang? Lukaku bahkan baru selesai diplester. Dan, aku sangat merindukan Sally, aku ingin mengobrol dengannya sebentar, kumohon!”

“Kau ini!” Bentak Ken dengan keras, “Kau tahu, Romusca bisa sewaktu-waktu menyerangku disini dan kau masih mengulur waktu?”

“Lalu kau sendiri, apa yang kau lakukan dengan Jullianne Romusca? Kenapa ia ada disini? Apa kau menculiknya?” Tanya Roman penasaran.

Ken hanya terdiam. Namun sorot matanya seolah ingin memukul mulut cerewet Roman. Tiba-tiba Roman menutup mulutnya dengan satu tangan—dan dengan ekspresi kaget,

“Jangan-jangan kau mau balas dendam dengan apa yang dilakukan Vladimir terhadap Tommy? Tapi bukankah Jullianne adalah mantan kekasihmu? Kau masih akan membunuhnya juga?”

“Oh, kau juga mulai menyelidiki keluarga Romusca?”

“Em.. ya. Semenjak aku tahu bahwa Habb berniat jahat kepada Sally dan hubungannya dengan Sebastian Romusca, aku mulai mempelajari keluarga Romusca. Kenapa mereka tiba-tiba menyerang keluargamu dan motif dibalik Habb mau bekerjasama dengan mereka”

“Selidiki itu secepat mungkin dan beritahu aku secepatnya”

“Kenapa aku harus memberitahumu?”

“Kau mau mati?”

Roman membuang nafas kesal, “Kenapa kalian suka sekali mengancam orang untuk mati? Itu melanggar hukum”

“Kalau aku diajarkan untuk patuh kepada hukum, aku akan jadi polisi. Bukan menjadi mafia”

“Baiklah..baiklah Kakak Ipar, aku akan melakukannya”

“Kau panggil aku apa?”

“Kakak ipar, hehehe” jawab Roman cengengesan.

“Bahkan Benjamin pun tak pernah memanggilku seperti itu”

“Lantas dia memanggilmu apa?”

“Tuan Muda Ken”

Roman menahan tawa namun Ken terlanjur melihatnya. Tak ayal pukulan yang tertahan sedari tadi akhirnya mendarat juga di wajah Roman. Darah segar kembali mengalir dari ujung bibirnya. Roman menyesapnya perlahan.

"Baiklah Tuan Muda."

Ken keluar kamar dengan sesungging senyum puas di wajahnya. Sepertinya ia sangat puas mengerjai Roman malam ini.

...***...

Jully mengulurkan cangkir berisi coklat panas kepada Sally yang sedang duduk melamun di pinggir kolam renang. Sally menerimanya tanpa mengucapkan terima kasih. Ia masih terdiam dan memainkan kakinya di dalam air kolam. Sebagian celananya basah namun ia masih tak bergeming. Jully kemudian duduk disamping Sally, melakukan hal yang sama.

“Aku tahu kau masih marah kepadaku”

“Jauhi kakakku! Kau sudah bersuami. Sampai kapan kau akan memanfaatkan hatinya? Beberapa bulan lalu kau mencoba membunuh kakakku dan hari ini kau menciumnya?”

“Bukankah kadang kita ingin membunuh orang yang kita cintai?” Jully tersenyum.

“Cepatlah pulang, sebelum ayahmu berpikir kalau kakakku menculik anak perempuannya. Suamimu pasti mencarimu, sekalipun ia tak mencintaimu tapi kau masih istrinya. Atau kau sengaja ingin memantik perang kembali?”

“Perang mafia akan memakan banyak korban dan bencana. Aku tak ingin hal itu terjadi. Selama gencatan senjata ini, kita hidup dalam damai sendiri-sendiri”

“Sayangnya kedamaian itu mungkin tak akan lama lagi. Ayahku tak mungkin berdiam diri untuk apa yang ayahmu lakukan kepada Tommy. Dan Benjamin, dia bukanlah adikmu yang sesungguhnya.”

Jully terhenyak. Ia lalu menatap Sally, mencari penjelasan lebih dalam lagi tentang apa yang baru saja ia ucapkan. Namun Sally masih santai menikmati coklat panasnya. Ia sibuk meniup uap coklat panas yang terasa sangat hangat menyentuh ujung hidungnya.

“Namun Benjamin memiliki ciri yang sama dengan adikku. Ia memiliki bekas luka yang sama denganku” Jully membuka dua kacing atas kemejanya, lalu menunjukkan bagian belakang bahunya. Sally melihat bekas luka yang lebih mirip seperti tato itu. Ia lalu merabanya.

“Benjamin tidak punya bekas luka seperti ini’

“Jangan mengelak. Aku melihatnya sendiri, dia memiliki tanda yang sama denganku”

“Jully, aku adalah istrinya. Aku hafal setiap inci bagian tubuhnya. Dan Benjamin sama sekali tidak mempunyai bekas luka seperti ini. Sebentar, bagaimana kau tahu kalau Ben punya tanda lahir sepertimu?”

Jully mengedipkan mata. Nada suara dan pandangan Sally menunjukkan kesungguhan. Ia tak terlihat seperti sedang mengelak.

“Setelah Benjamin ditemukan tewas, Habb mengirimkan foto-fotonya kepada kami. Sebelum kau menemui Ben di Rumah Sakit, kami telah melihat mayatnya terlebih dahulu. Kami memeriksa dada kirinya dan ia mempunyai tanda yang sama denganku. Ayahku sudah memastikannya.”

Sally masih terdiam. Ia berpikir dengan keras. Ia sangat yakin Benjamin tidak memiliki bekas luka seperti Jully namun kenapa tiba-tiba ia mempunyai itu? Sally sekali lagi melihat bahu Jully. Bekas luka ini seperti tattoo, namun bukan. Bekas luka ini seperti cap dari besi panas. Dan tiba-tiba ia teringat sesuatu.

“Siapa nama asli adikmu?”

“Romeo Romusca”

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!