T U J U H

Musik orchestra mengalun lembut. Beberapa orang nampak begitu sangat menikmati. Beberapa diantaranya bahkan berdansa. Ken menghampiri Jully yang berdiri sendirian. Wanita lembut bermata biru itu terlihat paling mempesona diantara para tamu yang lainnya.

Jully begitu anggun memakai gaun putih bertaburan batu permata. Membuat kecantikannya semakin terpancar. Rambut pirangnya yang terurai berombak serta bibirnya yang melengkung sempurna itu begitu memukau dengan lipstik merah yang membuat detak jantung Ken berdetak lebih cepat daripada sebelumnya.

Jully sadar bahwa Ken akan menghampirinya. Tangannya dengan sigap mengambil segelas Wine yang dibawa oleh pelayan yang melewatinya. Ken menerima Wine pemberian Jully dengan wajah merona. Mereka hanya saling melihat tanpa berbicara. Seolah mata mereka telah saling mengungkapkan isi hati yang mereka rasakan.

“Kau terlihat lebih tampan dari sepuluh tahun yang lalu”

Ken tersipu malu mendengar pujian Jully. Jantungnya serasa akan meledak. Pipinya berangsur memerah seperti tomat. Hal ini sangat langka terjadi pada lelaki yang terbiasa kasar sepertinya. Syukurlah tidak ada Sally disini, gumam Ken dalam hati. Kalau tidak ia bisa muntah mendengarnya.

Ken mengajak Jully untuk berdansa tetapi Jully menolaknya dengan halus.

“Maaf aku tidak bisa…” Matanya tertuju pada Sebastian yang melihatnya dengan tajam dari kejauhan. Melihat gelagat Jully yang ketakutan membuat Ken mengerti. Dia pun sedikit menjaga jarak dari Jully.

“Kau masih saja secantik duapuluh tahun yang lalu. Sewaktu kau masih suka bermain dengan rok bunga-bungamu dan rambut berkepang. Eh mana ponimu yang dulu? Bukannya kau selalu takut memperlihatkan dahimu yang lebar itu”

Jully terbahak mendengar cerita Ken tentang masa kecilnya. Apalagi tentang dahinya yang lebar. Ken menyibak beberapa helai rambut Jully yang menutupi dahinya. Sekejap Jully menampik tangan Ken. Tapi terlanjur Ken melihat sesuatu di keningnya.

“Si brengsek itu menyakitimu? Dia masih suka memukulimu?"

Jully hanya terdiam dengan mengangguk. Matanya tiba-tiba berair. Suasana pun berubah. Hati Ken begitu panas melihat wajah Jully yang begitu ketakutan. Amarahnya semakin tak terkendali ketika sekali lagi melihat kening Jully yang membiru dan luka yang belum sepenuhnya kering.

Ken menatap Sebastian, tangannya mengepal dengan geram. Sebastian membalas tatapan Ken dengan dingin, lalu berlalu pergi.

Jully mengajak Ken untuk menjauh dari kerumunan. Dengan setengah berlari Jully menggenggam tangan Ken dengan erat. Mereka berhenti di salah satu koridor sepi. Jauh dari jangkauan mata Sebastian dan orang orang. Jully memeluk tubuh Ken setelah itu. Dengan menangis sesenggukan, Jully mencurahkan perasaan rindunya kepada Ken.

“Aku selalu berharap, bahwa aku tidak terlahir dari keluarga Romusca dan kau juga bukan bagian dari keluarga Wilder. Sehingga kita bisa bersama. Aku masih mencintaimu, Kenny” Jully bicara terbata-bata diantara tangisannya yang semakin menderu ketika Ken membalas pelukannya dengan erat.

Tak ada yang bisa Ken katakan lagi. Matanya mulai berair dan tangannya semakin erat mendekap tubuh Jully. Malam itu, dua manusia yang cintanya tak direstui oleh keegoisan tahta, sedang menikmati kerinduan yang tak pernah tersalurkan.

...***...

Mata Sally mulai buram karena air matanya mengalir perlahan. Bibirnya bergetar dengan cepat. Jantungnya apalagi. Nafasnya begitu tersengal walau Sally hanya berdiri tanpa melakukan apa-apa. Tangannya dengan gemetar meraih kertas bertuliskan nama Thommy. Sekali lagi diejanya sebuah tulisan dalam kartu itu, T.H.O.M.A.S W.I.L.D.E.R.

Vlad berjalan menuju sebuah lemari kayu bercat coklat tua berukuran 3 x 3 meter. Sally mengambil belatinya dengan perlahan, lalu mengikuti arah Vlad berjalan dengan menyembunyikan kedua tangannya dibelakang punggung. Vlad berdiri di samping lemari kayu itu. Dengan wajah dingin, dia menekan sebuah tombol yang membuat lemari itu terbelah menjadi dua.

Ternyata lemari itu adalah sebuah pintu menuju sebuah ruangan yang isinya masih belum terlihat oleh Sally. Ruangan itu nampak gelap dan sangat dingin. Tak lama kemudian kepulan asap keluar dari ruangan itu. Sally yang berdiri tepat di depan lemari bergidik kedinginan. Ini adalah ruangan pendingin, pikir Sally.

Vlad masih belum mengucapkan sepatah kata apapun. Matanya masih melihat Sally dengan dingin. Sally mencoba menahan diri untuk tidak melangkah masuk. Sally melirik Vlad seolah menyuruh pria itu untuk bicara. Sorot mata Sally mulai tidak ramah. Dan Vlad hanya tertawa sinis.

“Mungkin kau mau bertanya kepada pelukisnya sendiri bagaimana akhir dari perkelahian elang dan serigala” Ujar Vlad disambut dengan lampu yang tiba-tiba menyala terang dari dalam ruangan pendingin.

Sesosok laki-laki sedang tergantung pada seutas tali yang mengikat kedua tangannya. Wajahnya menunduk dan tetesan darah yang telah membeku menggenang dibawahnya. Sally tak sanggup untuk menahan tangisnya. Sosok laki-laki berbadan kurus dengan rambut ikal panjangnya itu adalah Tommy. Badannya yang tak terbungkus sehelai pakaian pun itu penuh dengan luka lebam dan cambuk. Wajah tampannya tak utuh lagi.

“Sebetulnya aku ingin berbaik hati mengirimnya ke Vallery Blue, tapi kau dan kakakmu sudah menjemputnya terlebih dahulu. Oh, aku juga sudah menyiapkan peti mati untuknya, jadi kau tak perlu repot-repot untuk membeli yang baru. Anggap saja ini hadiahku untuk Ayahmu” Vlad berbalik badan menunjukkan sebuah peti mati yang terletak di samping lemari.

Dengan cepat Sally menghampiri Vlad dan menghujamkan belati tepat di perut Vlad. Vlad yang tak sempat mengantisipasi kemudian jatuh roboh dengan darah mengalir deras dari perutnya. Sally memukul tengkuk leher Vlad dengan tongkatnya. Vlad tersungkur tak sadarkan diri.

“Serge, selamatkan aku!” perintah Sally dengan terbata-bata melalui jam tangannya. Sally mencabut belatinya dan mengambil tongkat kecil milik Vlad. Ia lantas mengambil sebuah kursi sebagai alas untuk meraih ikatan tangan Tommy. Dilepaskannya dengan cepat tali yang membalut tangan adiknya itu dengan belati. Tubuh Tommy terjatuh bersama Sally yang tak kuat menopang tubuh adiknya.

Tak lama kemudian dua mobil Hummer hitam menerobos masuk dengan menabrak tembok. Beberapa lukisan dan barang-barang galeri berhamburan tak karuan. Lima orang turun dari mobil dan membantu Sally menaikkan tubuh Tommy kedalam mobil. Beberapa anak buah Romusca mulai datang dan menembaki gerombolan Sally dengan membabi buta.

Ken yang tak jauh berada dari ruang galeri mendengar kegaduhan.

“Sally….” gumamnya panik lalu dengan cepat berlari menuju galeri. Suara tembakan semakin bergemuruh. Langkah Ken terhadang oleh Sebastian yang tiba-tiba muncul dan memukulnya dari belakang. Ken dan Sebastian saling menghantam satu sama lain.

Ken mendominasi perkelahian. Tidak lagi diragukan, Ken mempunyai keahlian bela diri yang luar biasa. Ditambah postur tubuhnya yang sangat kekar dan kuat. Mustahil ada orang yang menang berduel tangan kosong dengannya. Tubuh Sebastian jatuh tersungkur ketika mendapat pukulan telak dari Ken. Ken lantas memukulinya dengan beringas.

Jully yang datang tanpa diketahui Ken, menodongkan pistol kearah Ken. Ujung pistol itu terlihat bergetar karena tangannya yang gemetar memegang senjata. Jully tak punya pilihan lain, dia harus menembak Ken sebelum Sebastian mati ditangan laki-laki itu.

“Kakak!...” teriak Sally dari kejauhan diiringi lemparan belati yang tepat mengenai tangan kanan Jully. Pistolnya terjatuh di lantai hingga membuat Ken tersadar bahwa Jully hendak menembaknya. Jully memegangi tangannya yang meneteskan darah segar.

Ken menghentikan pukulannya. Untuk beberapa saat terdiam memandang Jully dengan setengah tidak percaya. Ada perasaan sedih yang tersirat di wajahnya. Ia lantas berdiri dan berlari menuju Sally yang menyuruhnya untuk bergegas pergi.

Sebastian yang masih mempunyai sedikit tenaga, bergegas bangun dan mengambil pistol Jully yang terjatuh di lantai. Ia membidik Ken yang masih berlari menuju Sally. Sally yang mengetahui itu berlari cepat ke arah Ken dengan mengulurkan tangan. Ken yang bingung dengan maksud Sally tetap berlari untuk menggapai tangan adiknya.

Ternyata salah, Sally tak bermaksud mengulurkan tangannya. Sally sengaja mengulurkan tangan untuk mendorong Ken hingga Ken terjatuh dan peluru yang di tembakkan Sebastian melesat mengenai Sally yang berdiri melindungi Ken.

Sally roboh tepat di depan mata Ken. Ken berteriak panik. Tapi Sally masih sanggup bangun kembali. Peluru Sebastian hanya mengenai bahu kanannya. Ken membantu adiknya berlari menuju mobil hitam yang menunggu mereka. Desing peluru mengikuti langkah mereka menaiki mobil dengan segenap tenaga.

Dua mobil hitam itu terus melaju kencang menembus gerbang dengan diiringi deru tembakan anak buah Romusca. Sally dan Ken merasa aman. Peluru-peluru itu tak akan mampu menembus kaca mobil mereka.

Ken memang telah merencanakannya dengan matang. Tidak mungkin mereka memasuki sarang Romusca hanya dengan tangan kosong. Segala persiapan dan perlengkapan telah diperhitungkan sebelumnya. Kaca mobil anti peluru dan baja tebal yang terpasang membingkai body depan mobil, membuatnya kuat menabrak dinding rumah Romusca.

Delapan orang ikut dalam aksi malam itu.

Serge –salah satu anak buah Ken- melihat luka Sally. Diambilnya sebuah kotak berisikan obat-obatan. Sally sempat menjauh ketika Serge berniat menyuntikkan obat bius.

“Ayolah Nona, peluru itu harus cepat diambil” ujarnya sambil menarik tangan Sally.

Sally yang awalnya ragu akhirnya menurut juga. Ken meraih tubuh Sally, dipeluknya dengan erat adiknya yang takut dengan jarum suntik itu. Sally memejamkan mata dalam dekapan kakaknya. Ken menangis pelan. Terdengar suara isak tangisnya walau begitu sangat lirih. Sally pun ikut menangis sesenggukan. Teringat tentang Tommy.

“Maafkan aku Sal, kau hampir saja terbunuh karenaku” Ken mencium kepala Sally dengan penuh penyesalan. Sally hanya diam tak mampu bicara.

“Apa yang sebenarnya terjadi? Apa kau menemukan Tommy?” Tanya Ken dengan sedikit nada ragu dalam suaranya. Serge melirik Sally. Mayat Tommy berada di mobil lain dan Ken masih belum tahu bahwa Tommy telah mati.

Sally tidak menjawab, ia hanya semakin keras menangis. Ken menyerngitkan dahi.

“Sally, apa kau menemukannya?”

Sally masih terdiam membisu. Ken melirik Serge yang pura-pura tidak mendengar dengan sibuk menjahit luka Sally. Ken menunggu Serge menyelesaikan jahitannya. Serge yang ketakutan tak bisa lagi menyembunyikan wajahnya.

“Tommy.. Tommy.. Tommy sudah meninggal, Boss! Jasadnya telah kami bawa dari rumah Vlad.” Serge menjawab dengan terbata-bata. Ken terperanjat. Serge yang merupakan tangan kanannya tak mungkin membohonginya. Serge hanya menunduk, tidak berani menatap wajah Ken yang memerah menahan amarah dan kesedihan.

Ken menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Tak lama kemudian ia menangis dengan sesenggukan. Sally tak pernah melihat kakaknya menangis seperti itu. Tak ada yang berani berbicara, tak ada suara apapun di dalam mobil selain isak tangis Ken yang semakin menjadi.

Mobil melaju dengan cepat menuju Vollary Blue. Hujan tiba-tiba turun dengan lebat. Seolah ikut merasakan kesedihan yang dirasakan Wilder bersaudara. Malam ini, adalah saat ketika Ken merasa gagal menjalankan tugasnya sebagai kakak. Malam ini, ia bahkan tidak ingin dipanggil kakak. Sally memeluknya dengan erat. Mencoba untuk menguatkan kakaknya.

“Aku kakak yang tidak berguna.”

Ken semakin keras menangis. Semua orang menangis malam itu. Semua merasa kehilangan seorang Tommy Wilder.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!