S E M B I L A N

Cahaya bulan nampak lebih terang dari malam sebelumnya. Purnama utuh menyinari sebuah bayangan yang berjalan gontai memasuki sebuah pemakaman umum. Suara gesekan sepatu boots dengan daun-daun kering menjadi satu-satunya bunyi diantara pekatnya malam.

Sampailah bayangan itu pada sebuah makam dengan batu nisan bertuliskan R.I.P Benjamin Larfant. Sally berdiri dengan pandangan dingin. Tiga tahun sudah makam ini ada. Dan Sally tidak merasa takut walaupun ia sendirian. Kesedihannya mengalahkan rasa takutnya. Setetes air mata jatuh dipipinya. Sally mengusapnya dengan punggung tangannya.

“Ben, Aku sudah tahu semuanya. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku sangat...” Sally tak kuasa meneruskan kalimatnya. Air matanya semakin deras membasahi wajahnya.

Beberapa suara burung hantu menemani kesendirian Sally. Angin semilir menambah dingin malam ini. Sally mengeluarkan sebuah cincin dari saku jaketnya. Dilihatnya untuk beberapa saat. Lalu diletakkannya diatas batu nisan Ben. Sally menarik nafas panjang. Mencoba untuk membuang kenangan-kenangan indah tentang cincin itu. Kenangan tentang pernikahannya, tentang perjuangan Ben mendapatkannya, tentang kisah cinta terlarang mereka.

“Kau sudah mati Ben…. sampai detik ini aku masih belum mengerti kenapa kau tega melakukan itu. Tommy meninggal satu bulan yang lalu, Apa kau tahu itu? Kau pasti tahu segalanya, bukan? Dan saat itu juga aku sadar bahwa duniaku begitu berbeda. Aku tidak bisa mempercayai orang lain dengan begitu saja. Orang sepertiku tidak mungkin hidup dalam kenyamanan. Dan harusnya aku menyadari itu saat aku bertemu denganmu. Beristirahatlah dengan tenang, aku akan melupakanmu”

Sally melangkah mundur. Melihat makam Ben untuk terakhir kalinya lalu berjalan menuju mobil yang tak jauh terparkir. Serge menunggu di dalam mobil dengan waspada. Setelah Tommy tiada, pengawasan terhadap Sally semakin diperketat. Kemanapun Sally pergi, Serge akan selalu menemani.

“Kita pulang sekarang?” Tanya Serge sesaat setelah Sally masuk mobil.

“Antar aku ke apartemen Roman”

“Tapi..”

“Serge, tunggu saja aku dibawah. Aku tidak akan lama.”

Mobil melaju dengan cepat menuju apartemen Roman. Serge tidak berbicara sepatah katapun sepanjang perjalanan. Matanya hanya terfokus untuk mengemudi dan memperhatikan Sally yang dari tadi menyiapkan senjata. Mobil berhenti tepat di depan apartemen Roman.

“Serge, menurutmu apa aku lebih keren dari ayah dan kakakku?” Tanya Sally sambil mengeluarkan sebuah pena dari dalam saku jaketnya. Serge menggeleng pelan. Matanya menyerngit.

“Hey, Apa yang dilakukan kakak disana?” jerit Sally tiba-tiba sambil menunjuk arah luar. Spontan Serge menoleh mengikuti arah telunjuk Sally. Dengan cepat Sally menancapkan pena yang dipegangnya tadi ke leher Serge. Serge yang terlambat menyadari hanya bisa memegangi lehernya dan tak lama kemudian terkulai lemas karena pengaruh bius. Sally tersenyum melihat biusnya beraksi dengan cepat. Kini ia akan bebas menemui Roman tanpa bayang-bayang Serge.

“Maafkan aku Serge. Kau akan terbangun esok hari, dan selama itu biarkan aku menyelesaikan tugasku sendirian. Selamat mimpi indah!”

...***...

Alunan musik Jazz mengalun pelan di dalam kamar Roman. Roman duduk terpekur diatas ranjang dengan beberapa kali menatap layar ponselnya. Dalam pikirannya ia terbayang tentang Sally. Antara rindu dan kecemasan.

“Roman…”

Seketika Roman melihat ke arah suara. Sally tengah berdiri di depan pintu kamar Roman. Seperti mimpi, beberapa kali Roman mengusap matanya. Ia tak percaya Sally benar-benar berada tepat di depannya. Sally datang menghampirinya yang masih tertegun tak bergerak.

“Bagaimana kau bisa masuk?” Roman bernafas lega karena ia masih bisa menggunakan logikanya saat ini. Sally tersenyum sambil menunjukkan sebuah kunci. Roman melongo.

“Maaf aku menduplikasi kunci apartemenmu ketika kau tidak dirumah” jawab Sally dengan tersenyum.

Roman tertegun. Saat ini juga ia tersadar bahwa ia benar-benar dimanfaatkan. Ia mengamati Sally dengan teliti. Mencoba untuk mencari senjatanya. Roman merasa tak berdaya. Dia hanya sedang menggunakan T-shirt dan celana pendek untuk tidur, tanpa senjata, dan di depannya berdiri seorang mafia yang mungkin saja akan membunuhnya malam ini. Ah, Roman yakin Sally pasti menyimpan pistol yang sudah dipersiapkan. Atau belati, ya..belati. Wanita ini sangat suka menggunakan benda itu.

Sally membuang kunci duplikat, lalu membuka jaket kulitnya. Roman masih belum bisa berkata lega walau kini Sally hanya mengenakan kaos tipis berwarna putih. Dan Roman masih bisa melihat bahwa dibalik kaos itu tidak terselip satupun pistol ataupun pisau. Dia mungkin saja menyimpan senjata rahasia di celananya atau di bagian tubuhnya yang lain. Senjata keluarga Wilder terkenal sangat canggih dan tidak biasa. Tidak heran, karena itu adalah bisnis mereka.

Sally melepas sepatu bootsnya lalu meletakkannya di samping ranjang. Roman sedikit melirik, memastikan tidak ada apapun didalamnya. Gerak-gerik Roman rupanya diawasi oleh Sally. Ia lantas tertawa melihat wajah gugup Roman.

“Kau baik-baik saja Roman? Kenapa wajahmu pucat sekali?”

Roman tidak menjawab. Hanya mengedipkan mata penuh tanda tanya. Sally meraih wajah Roman lalu menciumnya. Tak berselang lama Sally kembali menarik tubuhnya, ia merasa tak mendapat respon dari Roman.

“Baiklah, aku pulang” ujar Sally dengan geram. Seketika Roman menarik tangannya lalu mendekap tubuh Sally. Sally tersenyum menang. Roman tak mungkin membiarkannya berlalu begitu saja.

“Maafkan aku, aku hanya gugup”

“Apa kau masih mencintaiku, Rom?”

Roman mencium bibir Sally. Sally mulai membuka kaos Roman dengan cepat. Roman lalu mendorong tubuh Sally untuk terlentang di atas ranjang. Kedua tangan Roman pun mulai menggerayangi tubuh Sally. Dia harus memastikan bahwa Sally benar-benar tidak bersenjata. Harus. Disituasi seperti ini, ia tak boleh percaya kepada siapapun, termasuk Sally yang tiba-tiba saja mengajaknya bercinta.

All clear. Tidak perlu takut, Rom. Sally murni ingin bercinta denganmu, pikir Roman di otaknya.

Tapi kenapa ia tiba-tiba ingin bercinta denganku? Hati Roman sungguh tak tenang.

Mereka masih menggelora. Sally memutar badannya. Beralih berada diatas tubuh Roman. Membuat Roman sedikit menahan nafasnya. Otaknya berpikir keras untuk tidak cepat terlena.

Tangan Sally menyentuh dada bidang Roman. Entah kenapa batin Roman mengatakan, Sally sedang meraba titik terlemahnya untuk –mungkin saja- menancapkan benda tajam di daerah itu. Sentuhan Sally terasa menyeramkan malam ini. Belaian itu berlanjut pelan menuju perut, lalu beralih ke bagian yang membuat Roman tiba-tiba memegang tangan Sally dengan erat. Sally terkejut.

“Kenapa Rom?” Tanya Sally. Roman tersenyum kecut. Entah kenapa nalurinya sangat kuat untuk mengakhiri apa yang mereka lakukan saat ini.

“Aku hanya waspada. Jika tiba-tiba..”

“Jika apa?”

“Kau mungkin akan membunuhku” jawab Roman dengan jujur. Sally tertawa terbahak. Lalu melihat mata Roman dengan tajam.

“Ya.” jawabnya diikuti dengan senyuman paling seram yang pernah Roman lihat dari seorang Sally. Wanita itu tiba-tiba mengeluarkan belati tipis dari dalam saku celananya.

O, ****! umpat Roman dalam pikirannya.

Roman segera menangkisnya, belati itupun terjatuh di lantai. Sally yang marah memukul wajah Roman berulang kali. Roman berusaha memegang tangan Sally, tapi pukulan Sally ternyata cukup kuat.

“Kau jahat Roman” Seru Sally diiringi pukulan entah keberapa yang mendarat di wajah Roman yang terlihat sudah sedikit berdarah.

Sally menghentikan pukulannya. Roman masih terlentang tak bergerak. Ia tak sekalipun membalas. Mulutnya seperti terkunci melihat Sally yang mulai menangis duduk diatas perutnya.

“Kenapa kau membohongiku? Kau bilang aku adalah sahabatmu. Kenapa kau tak bilang bahwa Ben adalah polisi. Sama sepertimu. Kenapa kau tak bilang kepadaku yang sebenarnya? Kenapa kau diam saja melihatku menikah dengannya? Kau tahu bagaimana beratnya kujalani hidup tiga tahun ini? apa kau tahu aku begitu menderita?”

Roman menarik nafas panjang. Mencoba mengingat-ingat hari apa ini. Ingin rasanya ia mencatatnya sebagai hari terburuk di sepanjang hidupnya. Entah seperti apa wujud wajah Roman saat ini. Yang Roman tahu, mungkin hidungnya sudah bengkok beberapa derajat ke arah kanan.

“Ben dalam tugas rahasia untuk mengawasi keluargamu. Dan ia melakukannya dengan baik. Mungkin terlalu baik hingga dia bisa membuatmu jatuh cinta kepadanya. Aku tak mungkin memberitahumu tentang ini Sally. Itu akan membahayakan Ben dalam tugasnya.”

“Aku tidak menyangka, sungguh, kalian memanfaatkanku untuk menjatuhkan keluargaku. Seharusnya sejak awal aku memang tidak mempercayaimu Rom” Sally tersenyum sinis.

“Kau ingin menangkapku sekarang? Lakukanlah! Tidak perlu berpura-pura mencintaiku, ingin menikah denganku, lalu memanfaatkanku untuk menghancurkan keluargaku”

“Hey.. siapa yang memanfaatkan siapa? Kau yang dengan sengaja datang ke apartemenku, menggodaku, memanfaatkanku untuk mencari informasi tentang Tommy. Kau yang mempermainkan perasaanku Sally” sahut Roman dengan nada meninggi.

“Aku tidak sengaja menemukannya dan aku tidak mempermainkanmu Roman” Sally membela diri.

“Omong kosong! Aku lah yang seharusnya tidak mempercayai mafia sepertimu. Hidupmu hanya tentang membunuh dan menyakiti orang lain, kan?”

Sally terdiam. Roman menyadari kata-katanya mungkin terlalu berlebihan. Untuk sesaat, ingin rasanya ia mencabut kata-kata itu kembali.

“Kalau kau masih mau membunuhku, silahkan saja. Aku tidak mungkin melawanmu.” Roman meraih kedua tangan Sally.

Sally terkejut mendengar ucapan itu. Ia menatap Roman, Ia merasakan sesuatu yang lain dari dalam hatinya. Ia lalu turun dari ranjang dan mengambil belatinya yang terjatuh. Roman terkejut. Ia tak menyangka bahwa Sally menganggap gurauannya adalah hal yang serius.

Sally kembali menghampiri Roman, lantas duduk di tepi ranjang. Ia Menyerahkan belatinya. Roman segera mengambilnya tanpa banyak bicara. Sebelum Sally berubah pikiran dan menjadi berbahaya, lebih baik aku yang memegangnya, pikir Roman.

“Tommy telah mati. Ben telah mati. Ibuku juga. Semua orang yang kucintai mati karena kehidupan keluargaku. Aku adalah orang jahat, semua orang di kota ini menginginkanku mati. Lebih baik kau yang membunuhku Rom. Kau mungkin akan mendapatkan promosi jabatan setelah berhasil melakukannya”

Roman terdiam. Menganggap Sally mungkin saja sedang depresi karena baru saja kehilangan Tommy. Dalam lubuk hati Roman, ia merasa kasihan dengan wanita itu.

Semenjak kecil hidupnya sangat keras. Lahir dari keluarga yang awalnya sangat kesusahan secara ekonomi. Lalu menjadi sangat kaya dan berpengaruh, tapi mempunyai banyak musuh. Setiap hari ia harus mempertaruhkan hidupnya untuk menghindari musuh-musuh ayahnya. Sally hampir tidak pernah mempunyai kehidupan normal.

Hampir tidak ada pembicaraan selama beberapa menit. Dua orang itu hanya saling menatap satu sama lain.

“Pergilah! Hubungan kita tidak mungkin berhasil Sal” ujar Roman memecah keheningan.

Sally terhenyak. Ada bagian di sudut hatinya yang terasa sakit ketika mendengar Roman bicara seperti itu.

“Kita lupakan apa yang sudah terjadi diantara kita. Aku tak akan mengganggumu lagi”

Sally mendengarkan dengan serius ucapan Roman. Raut wajahnya terlihat sedih. Roman menyerngitkan dahi mencari kesungguhan dibalik wajah sedih itu. Ia benar-benar tidak ingin terperdaya lagi.

“Kau serius mengatakannya?” Tanya Sally datar.

Roman mengangguk. Sally tersenyum getir. Ia tidak paham dengan apa yang harus ia katakan, yang pasti, hatinya sakit sekali melihat anggukan pria itu. Sally berusaha menahan agar air matanya tidak jatuh. Hingga tiba-tiba terdengar sebuah suara dari ujung pintu. Seseorang bertepuk tangan dengan pelan.

“Kenapa kau selalu tiba-tiba muncul disaat kami sedang bercinta?” seloroh Roman diiringi lirikan mata tidak senang Sally. Ken hanya tertawa sambil mengeluarkan apel dari dalam saku jasnya. Ia kemudian meminta belati yang dipegang Roman.

"Bercinta? bukankah kau baru saja mengakhiri hubunganmu?"

“Bagaimana kakak tahu aku ada disini?”

Ken tidak menjawab. Ia hanya berkonsentrasi mengupas apel yang dipegangnya. Dipotongnya beberapa bagian lalu diberikan kepada adiknya. Sally menerimanya dengan bingung.

“Makanlah! Buah apel bagus untuk wanita hamil” ujar Ken dengan santai, lalu memakan sisa apel lainnya.

“Apa maksudmu?” tanya Roman dengan cepat. Ken melihat Roman lalu memberikan kembali belati Sally. Roman menerimanya dengan penuh tanda tanya.

“Ini! Kau bisa membunuh buronan dan anakmu sekaligus, Pak Polisi” Ken tersenyum sinis. Sally tiba-tiba berdiri dan menarik tangan Ken.

“Ayo kita pulang Kak!” Ajaknya. Ken menahan langkahnya, lalu melihat wajah Sally.

“Hey, Kenapa kau menangis?” Tanya Ken.

“Apa yang dilakukan bajingan ini kepadamu?” lanjut Ken. Roman masih terdiam menyerngitkan dahi. Bajingan katanya, umpat Roman.

Roman segera berdiri dan menghentikan langkah Sally.

"Jelaskan apa yang terjadi?" tanyanya.

"Kita lupakan apa yang sudah terjadi diantara kita, bukankah kau bilang begitu" jawab Sally mengulang perkataan Roman.

"Sally, kumohon! Benarkah apa yang dibicarakan si Troll ini?"

Ken mendengus kesal. Sally tak menyahut, tangannya menarik Ken untuk segera keluar dari kamar Roman.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!