D U A B E L A S

Ruangan ini masih sama. Roman melihat sekeliling kamar berukuran 4 x 4 meter itu. Beberapa foto ketika ia masih bersekolah terpajang dengan rapi. Beberapa piala dan penghargaan ketika masih ikut tim Baseball sekolah. Poster lambang polisi terpampang di sudut ruangan. Roman memang bercita-cita menjadi polisi sejak kecil. Sejak ia mengetahui bahwa kedua orang tuanya dibunuh oleh penjahat, ia sangat ingin menjadi polisi.

Roman tersenyum puas mengingat cita-citanya yang menjadi kenyataan. Terselip sedikit kebanggaan dihatinya. Ia harus berjuang dengan keras untuk mewujudkannya. Semenjak kecil ia hidup sederhana dengan Nenek Shia. Ia tidak datang dari keluarga kaya raya. Nenek Shia bekerja sebagai penjaga tiket kereta api. Kakeknya telah meninggal. Ia hanya hidup berdua dengan neneknya.

Nenek Shia datang menghampiri Roman yang sedang asyik melihat foto-foto di dinding. Wanita tua itu membawakan secangkir coklat panas dan sepiring sandwich. Roman terlihat sumringah ketika tahu ada sepiring sandwich di depan matanya. Dengan cepat ia mencomot dan memakannya dengan lahap.

“Kau ini masih saja seperti anak kecil. Apa kau sudah punya kekasih?”

Roman tersenyum sambil menggeleng. Mulutnya terlalu penuh untuk berbicara.

“Apa kau masih ingat dengan Sally?” Tanya Nenek Shia tiba-tiba.

Roman berhenti mengecap makanannya begitu mendengar nama itu. Dia melihat nenek Shia dengan serius. Tak mampu bicara, ia pun hanya mengangguk.

“Seminggu yang lalu dia datang kemari. Aku sempat tidak mengenalinya karena ia bertambah cantik sekarang. Dia masih riang seperti masa kecilnya. Ia membawakanku roti dan keju lalu memintaku untuk membuatkannya sandwich. Katanya ia merindukanmu.” Nenek Shia bercerita dengan sangat manis.

Membuat Roman menjadi –tiba-tiba saja- merindukan wanita itu.

“..dia.. dia hanya bicara hal itu?” Tanya Roman penasaran. Nenek Shia mengangguk pelan.

“Dia memintaku untuk bercerita tentang masa lalumu, tentang kehidupanmu setelah dia tidak lagi tinggal di Road 6th dan dia juga meminta foto masa kecilmu”

“Untuk apa?”

Nenek Shia mengangkat bahu. Memberikan tanda bahwa ia tidak mengerti kenapa Sally melakukan itu.

“Apa kau masih menyukainya?” Tanya Nenek Shia sembari tersenyum. Roman menggeleng dengan cepat. Ia tersenyum masam. Nenek Shia menyadari kegelisahan cucunya itu, ia mengusap bahu Roman dengan lembut,

“Baiklah, kau butuh istirahat. Tidurlah cepat, wajahmu terlihat lelah sekali.” Nenek Shia pergi meninggalkan Roman yang masih berdiri dengan gamang. Ia bahkan tidak bernafsu lagi untuk menghabiskan sisa sandwichnya.

“Rom..”

“Ya?” Roman menoleh kearah nenek Shia yang berdiri di depan pintu.

“Mungkin dia benar-benar menyukaimu. Coba pikirkan itu” Ucap Nenek Shia sambil menutup pintu.

Roman hanya terdiam. Pikirannya mengambang entah kemana. Saran dari neneknya benar-benar tidak membantu. Ia semakin tidak bisa berpikir dengan jernih. Apa bedanya dengan tidak mengambil cuti kalau ia masih belum bisa tenang, pikir Roman.

Roman mengambil ponsel dari saku celananya. Satu email dari kantornya masuk. Berkas yang dimintanya kepada Emma telah dikirim. Roman membacanya dengan seksama. Sejak awal ia memang tidak pernah memeriksa dengan lengkap berkas Vladimir Romusca. Habb tidak pernah menyuruhnya untuk itu. Ia selalu berkilah bahwa keluarga Wilder-lah yang harus selalu diwaspadai.

Roman menyerngitkan dahi membaca laporan tentang Sebastian Romusca. Ia teringat dengan seseorang yang bertemu dengan Habb tadi siang. Roman membuka galeri di ponselnya. Tadi ia sempat memfoto mereka. Tepat. Ini adalah pria yang ditemui Habb di kedai kopi tadi siang.

Jadi Habb bekerja untuk keluarga Romusca, pikir Roman. Ia masih belum percaya bahwa Habb, polisi dan rekan kerjanya yang cukup senior, adalah seorang penghianat. Ia begitu kesal telah mendengarkan segala perintah Habb selama ini. Habb tak ubahnya dengan polisi-polisi korup yang mudah dibeli dengan uang. Roman harus melakukan sesuatu. Dia harus membongkar kedok Habb selama ini.

Dan Habb, adalah orang yang mengetahui tentang kematian Tommy. Ia menjadi bagian dari pembunuhan Thomas Wilder. Ini kasus yang serius. Tommy bukanlah seorang buronan. Ia sama sekali tidak memiliki catatan kriminal. Ia hanya anak dari seorang Wilder yang tidak peduli dengan dunia keluarganya.

Lalu kenapa harus Tommy yang dibunuh? Apakah Habb memang sengaja untuk memantik perang diantara kedua kelompok itu? Untuk apa?

Roman terdiam memikirkan segala kemungkinan. Ia masih harus mengumpulkan beberapa fakta tentang keterlibatan Habb dalam pembunuhan Tommy dan hubungannya dengan Sebastian Romusca.

Tiba-tiba pintu kamar Roman terketuk. Nenek Shia kemudian muncul dari balik pintu. Ia tersenyum lebar, “Coba tebak siapa yang datang?”

Sally muncul dari balik punggung Nenek Shia. Roman terkejut mendapati wanita itu muncul lagi di depan matanya.

“Nenek, aku lelah sekali. Aku sedang tidak ingin menerima tamu” jawab Roman dengan ketus. Nenek Shia terlihat bingung dengan ekspresi tidak senang Roman. Sally menunduk sedih. Roman memalingkan badan. Berpura-pura tak peduli.

“Masuklah!” perintah Nenek Shia dengan suara pelan. Sally menggeleng tidak berani. Tapi seketika itu nenek Shia mendorongnya masuk ke dalam kamar hingga Sally terhuyung dan terjatuh di lantai. Roman menoleh dengan cepat. Secepat nenek Shia mengunci pintu dari luar.

Sally berdiri perlahan tanpa melihat Roman yang terlihat tidak menyukai kejadian yang baru saja terjadi. Roman menyilangkan kedua tangannya menunggu Sally membuka mulutnya. Tatapan matanya tidak ramah, membuat Sally menjadi tidak nyaman. Ia lantas menghampiri Roman.

“Aku hanya ingin bilang kalau aku tidak bisa berhenti memikirkanmu beberapa hari ini. Aku ingin minta maaf karena berniat membunuhmu malam itu. Aku dipenuhi oleh amarah hingga aku terlalu gegabah. Maafkan aku, dan oleh karena itu..”

Sally menarik nafas panjang. Roman masih belum bereaksi.

“…aku tidak akan mengganggumu lagi. Aku akan pergi.”

“Oh, Kau mau pergi jauh? Kemana? Melarikan diri dari catatan kriminalmu yang banyak itu?”

Pertanyaan-pertanyaan Roman terdengar sinis.

“Baiklah, pergi saja! Lagipula percuma juga aku memburu mafia sepertimu. Ketika kau ditangkap, ayahmu akan melakukan apapun untuk mengeluarkanmu. Membayar jaksa, membayar hakim, bahkan menteri pun sanggup ia beli. Jadi kurasa, aku sedang membuang waktu untuk menyelidiki keluarga kalian.”

Roman memalingkan badan dari pandangan Sally.

“Kunci cadangan ada di laci sebelah ranjang. Kau bisa keluar sekarang. Pergilah!”

Roman bicara dengan nada bergetar. Sally menunduk lesu. Air matanya keluar dengan tiba-tiba. Entah kenapa ia merasa sangat sedih mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Roman. Bukan hanya karena Roman adalah sahabatnya, tapi ada perasaan lain yang lebih dari kehilangan seorang sahabat. Seperti perasaan sakit ketika Ben meninggalkannya.

Sally beralih mengambil kunci cadangan. Roman masih berdiri memalingkan badan tanpa sedetikpun melihat Sally. Ia malah berjalan menjauh menuju jendela kamarnya. Dibukanya korden yang menutupi jendela kaca berukuran satu meter itu. Matanya menatap keluar dengan sayu.

Sally membuka pintu dengan perlahan. Roman mencoba untuk menahan kepalanya untuk tidak menoleh walau hatinya sangat ingin melakukan itu.

Sally mengelus perutnya. Ia lantas berbalik dan menghampiri Roman. Ia memeluk Roman dari belakang. Pelukan yang sangat erat diiringi isak tangis yang tertahan.

“Apa kau sudah tidak ingin hidup denganku, Rom?”

“Kenapa kau tiba-tiba jadi cengeng?” jawab Roman.

Sally melepaskan pelukannya. Langkahnya mundur kebelakang dengan gontai. Entah kenapa jawaban Roman seperti timah panas menghujam jantungnya.

Roman masih belum mengalihkan pandangannya. Ia masih segan untuk menatap Sally. Sally berlari keluar dengan menangis. Hatinya begitu hancur hingga ia pun tak sempat mengatakan apa-apa.

Roman masih terdiam diujung jendela. Matanya lurus menatap jalan di depan rumahnya. Sally terlihat membuka pagar dan segera masuk ke dalam mobilnya. Ia lantas memacu mobil sedan berwarna putih itu. Tanpa ia sadari, dua mobil hitam yang parkir tak jauh dari mobilnya, mengikutinya.

Roman masih memperhatikan dari atas. Dua mobil hitam yang mengikuti Sally terlihat mencurigakan. Seketika ia teringat obrolan Habb dan Sebastian di kedai kopi. Tanpa banyak waktu, Roman langsung berlari menyambar kunci mobilnya. Ia berlari menuruni tangga hingga Nenek Shia terkejut.

"Kau mau kemana?"

Roman tak menjawab. Ia segera membuka pintu dan melompati pagar. Nenek Shia menyusul hingga di depan pintu.

Kenapa tadi kau mengusirnya kalau sekarang berlari mengejarnya? gumam Nenek Shia.

Mobil Roman melaju kencang. Mencoba untuk mengejar mobil Sally yang tak kalah kencang.

Kenapa perempuan ini pergi sendirian?

Dua mobil hitam misterius itu tetap mengikuti Sally. Roman mencoba untuk menelepon ponsel Sally, namun sepertinya ia tak menjawab. Hingga pada akhirnya Sally berbelok menuju terowongan. Roman bertanya-tanya kemana sebetulnya Sally akan pergi. Terowongan ini menuju ke arah timur kota. Yang artinya itu adalah wilayah kekuasaan Vladimir Romusca.

Dua mobil hitam itu melaju kencang membuntuti Sally. Hingga pada akhirnya dua orang bersenjata keluar dari jendela mobil dan mulai menembaki mobil Sally.

Sial! Roman mengumpat.

Mobil Sally masih melaju walau sepertinya oleng karena roda belakangnya terkena tembakan. Orang orang bersenjata itu masih memberondong mobil Sally dengan tembakan. Roman menancap gas penuh. Akhirnya ia bisa mencapai mobil hitam yang paling belakang. Ditabraknya dengan keras hingga mobil itu terpelanting menabrak tembok pembatas terowongan.

Pemburu Sally mulai menyadari bahwa Roman mengganggu pekerjaan mereka. Kali ini mereka berganti menembaki mobil Roman. Roman cukup ahli menyetir, tak ada satupun peluru yang mengenai mobilnya.

Ditengah kejar kejaran tiga mobil itu, Sally tiba-tiba mengerem. Hingga mobil penembak itu menabrak bagian belakang mobil Sally. Roman dengan sigap mengerem dan menghindari tabrakan beruntun. Sally keluar dari mobil sambil membawa senjata laras panjang.

Wanita itu lantas memborbardir mobil misterius itu hingga kaca depannya pecah. Dua orang yang berada di dalam mobil pun tak luput dari peluru. Mereka tewas ditempat.

Roman hanya melongo dari dalam mobil. Sally membuka pintu mobil hitam itu. Seperti mencari sesuatu. Diambilnya ponsel kedua laki laki yang tewas tertembak senapan Sally.

Roman keluar dari mobilnya dan meraih tubuh Sally. Dipeluknya wanita itu. Sally tak bergerak sedikitpun. Ia hanya merasakan kekhawatiran Roman dalam dirinya.

"Maafkan aku" ucap Roman dengan sedikit terisak.

"Kenapa kau tiba-tiba jadi cengeng?" Sally menyindir Roman dengan pertanyaannya. Roman melepaskan pelukannya. Menyadari bahwa Sally sedang menyinggung perlakuannya.

"Hiduplah bersamaku" pinta Roman.

Sally terdiam. Darah menetes dari keningnya bersamaan dengan air mata harunya. Dibuangnya senjata yang dipegangnya dan tangannya meraih wajah Roman. Diciumnya pria itu. Roman terlihat shock namun hatinya bahagia. Hujan tiba-tiba turun. Membuat suasana menjadi begitu hangat.

...***...

Terpopuler

Comments

Dianti Rahayu

Dianti Rahayu

dramatisnya dapet banget..
novel ini meski singkat, tapi seluruh cerita dikemas dg baik dan pas.

2023-02-07

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!