Sally berlari menghampiri Roman yang jatuh tersungkur di jalan. Namun sebelum ia mendapatkan tubuh Roman, seseorang terlebih dahulu meraih tubuhnya. Sally menatap orang itu, Ken Wilder. Ken yang jauh lebih tinggi dan lebih kekar tidak bisa membuat Sally bergerak lebih jauh selain menjerit.
"Kakak, kau tak perlu menembak Roman. Dia sahabatku" teriak Sally dalam tangisnya. Ken tak bergeming. Dia tetap menyeret Sally untuk sesegera mungkin pergi dari Road 6th.
Roman sama sekali tidak bergerak. Wajahnya terjerembab di paving jalan. Tidak ada seorangpun yang menolong. Tidak ada seorangpun yang berani keluar. Sally melihat Roman untuk terakhir kalinya sebelum ia dipaksa masuk ke dalam mobil van oleh Ken.
Rasanya seperti beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Road 6th untuk ikut tinggal di rumah Ayahnya. Tapi kali ini Roman tidak melambaikan tangan. Ia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal. Roman tersungkur dengan darah menggenangi tubuhnya. Roman mati?
Di dalam mobil, tidak ada satupun yang berbicara. Hanya isak tangis Sally yang begitu pelan. Ken yang duduk di sebelah bangku sopir melihat adiknya dengan geram.
"Hentikan tangisanmu! Sejak kapan seorang mafia menangisi seorang polisi?"
"Kau tidak perlu melakukan itu. Kenapa kau menembak Roman?"
"Dia hampir membunuhmu, bodoh! Aku berusaha melindungimu dan sekarang kau menangisinya seakan ia adalah pahlawanmu yang kutembak mati."
Suara Ken semakin meninggi. Sally terdiam. Tidak ada lagi suara setelah itu. Sally hanya memandang jendela sembari terisak. Dalam hatinya ia berdoa agar ada yang menolong Roman. Ia lalu mengambil ponsel dari dalam tas yang ada di dalam mobil.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Ken penasaran.
"Menelepon Ambulans" jawab Sally tanpa mempedulikan tatapan marah kakaknya. Ken segera mengambil ponsel Sally dan membantingnya.
"Kau gila? kau ingin polisi melacakmu?"
"Lalu bagaimana dengan Roman?"
Ken hanya terdiam, ia hanya malas meladeni adiknya. Mobilpun masih melaju. Hanya ada lima orang di dalam van. Tiga diantaranya adalah anak buah Ken. Mereka pun hanya terdiam melihat Kakak adik itu berdebat. Bukan ide bagus untuk ikut berbicara ketika nada suara Ken sudah meninggi.
Laki laki -yang lebih mirip monster- itu sangat ditakuti oleh anggota gangster lainnya. Bukan hanya karena dia adalah anak tertua dari Gregory Wilder. Mafia terkenal di kota ini. Tapi karena Ken memang begitu menyeramkan. Dia sangat ahli menggunakan senjata. Mempunyai ilmu bela diri yang bagus serta mendapatkan pengetahuan tentang perang dari beberapa veteran militer. Dia tidak terkalahkan.
Tidak mengejutkan juga, karena apapun bisa dilakukan oleh anak seorang Gregory Wilder. Sebenarnya bisa dengan mudah menebak siapa otak dibalik pengeboman ini. Polisi-polisi pun tahu bahwa nama Greg ada dibalik semua -atau paling tidak hampir kebanyakan- perampokan dan perdagangan ilegal yang marak terjadi di Kota.
Tapi hubungan Greg yang baik dengan pejabat pemerintah serta petinggi-petinggi polisi yang korup, menjadikan dia begitu mudah lolos dari semua kejahatan yang ia lakukan. Dunia semakin mudah dikuasai jika ada banyak uang. Polisi-polisi kecil yang bekerja mati-matian menangkap para penjahat itu hanyalah kedok untuk menutupi kebusukan para petingginya.
Ken dan gangsternya adalah sekumpulan pencuri elit yang mempunyai "hobi" merampok karya seni berharga atau perhiasan super mahal. Anak-anak nakal ini adalah anak dari mafia terkenal Gregory Wilder. Tak seorangpun bisa menyentuh mereka karena ayah mereka yang berpengaruh. Kenapa itu hanya sebatas "hobi"? Karena mereka sudah sangat kaya raya.
Mobil van melaju dengan cepat menuju pinggiran kota. Menuju sebuah perumahan elit bernama Vollary Blue. Sampai di depan gerbang, sebuah mobil sedan mewah menjemput mereka. Ken dan Sally beralih menggunakan mobil itu. Sedang yang lainnya pergi memutar arah dengan mobil van. Selalu seperti itu.
Keluarga Wilder mempunyai perusahaan property serta Big boss di perusahaan telekomunikasi dan media. Mereka juga mempunyai perkebunan anggur dan peternakan kuda. Selain itu Gregory adalah pebisnis yang sangat handal. Tak terkecuali bisnis penjualan senjata dan obat-obatan ilegal. Namun ia bukanlah satu-satunya konglomerat di Kota, ia mempunyai pesaing yang juga sangat tersohor, Vladimir Romusca.
Beberapa tahun yang lalu terjadi perang diantara para mafia, dan entah kenapa diadakan gencatan senjata. Greg dan Vlad lalu mengadakan perjanjian untuk membagi wilayah kota. Bagian barat dan selatan adalah milik Greg. Sedang timur dan utara adalah milik Vlad. Pusat Kota adalah wilayah bebas bagi keduanya. Yang artinya, baik bagi anggota Vlad maupun Greg bisa melakukan transaksi maupun kejahatan disana. Selama, mereka tidak menyakiti satu sama lain.
Mobil sedan mewah itu melaju pelan. Membawa Sally dan Ken menuju rumah mereka. Agar terkesan normal dan elegan, mereka harus berganti penampilan. Tujuannya pasti, hanya untuk mengelabuhi tetangga mereka. Walaupun Sally yakin, tidak ada seorangpun yang tahu.
Vollary Blue seperti pemakaman umum. Sangat sepi dan hanya dihuni orang-orang kaya yang tak pernah bertegur sapa selain jika ada pesta. Mereka sangat tidak ramah dan penuh dengan sandiwara. Bagi Sally, mereka lebih mirip vampir daripada manusia.
Gerbang besi setinggi 3 meter bercat hitam legam dengan logo huruf W besar, terbuka dengan pelan. Dua orang penjaga keluar lalu memeriksa sekeliling. Beberapa saat kemudian mobil melaju kembali, mengitari halaman luas dengan kolam air mancur di tengahnya. Terdapat patung serigala merah berukuran besar ditengah kolam.
Tiga orang tukang kebun terlihat sedang mengecat kembali dinding-dinding kolam air mancur yang mulai pudar. Sally melihat iba. Pasti sangat membosankan mengecat dinding dengan warna yang tak pernah berubah sejak puluhan tahun yang lalu.
Mobil berhenti tepat di depan rumah bergaya gothic. Bukan seperti kastil vampir tapi lebih mirip seperti rumah seseorang yang tidak ramah. Dan kalau tidak salah, Greg memang bukan orang yang ramah. Dia jarang sekali tersenyum.
Sally keluar mobil dengan gontai ketika seorang pelayan -lebih tepatnya seorang bodyguard- membukakan pintu mobil. Ken berjalan di belakangnya dengan penuh kekesalan. Beberapa orang nampak bingung dengan wajah Sally dan Ken. Menimbang bahwa mereka baru saja sukses membuat kericuhan di Bank Central, seharusnya mereka nampak gembira. Namun, dua bersaudara ini bahkan tidak tersenyum sejak turun dari mobil.
Tak berselang lama seorang laki-laki memasuki ruang tengah. Suara langkah kakinya terdengar berdecit keras karena bergesekan dengan lantai kayu mahagoni. Semua orang membungkuk pelan ketika laki-laki itu berjalan menyambut kedua anaknya dengan tergesa. Melihat mata Sally yang basah, segera ia memeluk putri satu-satunya itu.
"Kenneth Wilder! Apa yang kau lakukan hingga adikmu menangis?" Ken belum menjawab. Hanya melihat Sally dengan penuh geram. Ken sadar ketika ayahnya menyebut namanya dengan begitu lengkap, pertanda ia sedang sangat marah.
"Aku hanya membentaknya ketika dia hampir saja tertinggal masuk ke dalam mobil." jawab Ken berbohong. Greg akan lebih marah lagi jika tahu yang sebenarnya bahwa Sally hampir mati tertembak oleh seorang polisi.
Greg menyerngitkan dahinya. Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu hanya melirik Sally.
"Ayah, aku tidak apa-apa." Sally melepaskan pelukan Ayahnya.
Meyakinkan laki-laki berusia 60 tahun itu untuk tidak lagi memarahi Kakaknya. Greg masih terlihat ragu. Sally bukan type wanita yang mudah menangis hanya karena masalah seperti itu. Apalagi ini bukan aksi pertamanya. Sally sangat lihai melarikan diri. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi senyum Sally melelehkan keraguan Greg. Senyum yang sama persis dengan senyum almarhum istrinya, Vollary.
"Lain kali kau harus berhati hati Sayang, aku tidak ingin kau terluka sedikitpun. Dan kau Ken, tugasmu seumur hidup adalah melindungi adikmu." Ken mengangguk.
"Baiklah, aku harus mengurus sesuatu. Ngomong-ngomong, kalian membuat kericuhan lagi? Apalagi ini?"
Ken dan Sally tak menjawab. Mereka hanya menunduk.
"Kita bicarakan nanti. Aku pergi dulu, kalian makanlah!"
Greg berlalu pergi meninggalkan kedua anaknya yang masih menunggu bayangan Ayahnya benar benar lenyap dari ruang tengah. Seorang pelayan datang, mengisyaratkan bahwa makan siang sudah terhidang. Tapi baik Ken maupun Sally sudah kehilangan nafsu makan.
Ken melihat Sally yang masih tertunduk lesu.
"Kau lihat? Ayah bahkan tidak mengkhawatirkan ku sama sekali." ujar Ken dengan parau. Seperti sangat kecewa.
Sally menengadah. Terlihat mata Ken berkaca kaca. Sally menjadi merasa bersalah karenanya. Kenneth adalah kakak yang sangat melindungi adik-adiknya. Ken adalah tempat pertama bagi Sally untuk mencari perlindungan. Ken pula yang mengajarinya cara berlari dan melompati halang rintang. Ken yang mengajari Sally bagaimana cara membela diri ataupun meloloskan diri.
Sewaktu sekolah, tidak ada seorang pun yang berani menyentuh Sally karena Ken begitu protektif. Dengan postur tubuh yang tinggi dan besar, rambut ikal berwarna coklat yang terburai sebahu, juga wajahnya yang kharismatik, membuat Ken begitu ditakuti. Bahkan hingga kini. Ken adalah sosok pria superior yang selalu dibanggakan Greg dan adik-adiknya.
"Tapi karena tugasku seumur hidup adalah untuk melindungimu, Tuan putri yang cantik, aku anggap itu bagian dari resiko pekerjaan" Ujarnya sambil mengusap pelan kepala Sally.
Sally terhenyak tapi tak bisa mengucap sepatah katapun. Ia masih memikirkan Roman. Rasanya masih sangat menakutkan mengingat ketika Roman jatuh tersungkur terkena tembakan Ken.
"Ah..kau masih memikirkan pria itu?"
Sally tak menjawab. Ia pun menarik tangan kakaknya menuju ruang makan.
"Baiklah, ayo kita makan saja" ujar Ken menjawab pertanyaannya sendiri.
"Dimana Tommy?" Sally melihat sekeliling. Biasanya adiknya akan tiba-tiba muncul sesaat setelah ia pulang. Namun sepertinya ia tak melihat ada Tommy dirumah.
"Mungkin ia sedang pergi. Sampai kapan kau terus menganggapnya seperti anak kecil? Biarlah dia bermain diluar." jawab Ken sambil menimang-nimang sebuah chip yang telah ia ambil dari Bank.
"Apa yang membuat Kakak ingin mengambil chip itu? Aku pikir kakak berniat merampok perhiasan atau barang seni lainnya"
Ken tertawa dengan lantang. Ia lalu melirik Sally dengan nakal, "Aku sudah sangat kaya raya. Aku tidak butuh uang. Aku hanya mengambil mengambil chip ini."
"Lalu?"
"Chip ini adalah rahasia besar yang nilainya milyaran dollar"
Sally menyerngitkan dahi. Ia masih belum mengerti apa yang direncanakan Kakaknya dengan chip itu.
"Ah sudahlah! Aku akan mencari Tommy"
...***...
✅catatan author.
Bagi yang masih bingung, tetap baca terus ya..nanti kebingungan kalian akan terjawab di episode episode selanjutnya.
selamat membaca. ❤️
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments