T I G A

Sally menatap nanar asap yang mengepul dari cangkir kopi di depannya. Hujan masih turun walau rintik-rintik. Hanya ada lima orang pengunjung di Cafe ini. Semuanya laki-laki kecuali Sally. Dua orang duduk di depan mini bar, sisanya duduk sendiri-sendiri di dekat pintu masuk. Sally sendiri memilih duduk di pojok Cafe di samping jendela.

Cuaca malam ini begitu dingin hingga Sally sengaja tidak melepas coat yang dikenakannya. Sally termasuk jenis manusia yang tidak tahan udara dingin.

Seorang wanita berbadan tambun datang menghampiri Sally. Dia membawa piring berisi Samosa. Ia adalah pemilik Cafe, Miss Rossy, begitu ia dipanggil. Dia sudah mengenal Sally berpuluh tahun lamanya. Miss Rossy juga adalah teman sekolah Vollary, Ibu Sally.

"Aku rasa kau harus memakan sesuatu, Sayang!" Ujarnya lembut. Sally melihatnya lalu tersenyum. Caranya menyuruh Sally makan tidak berubah sejak dulu.

"Aku sangat beruntung, hari ini kau memasak Samosa. Sungguh sesuatu yang langka bisa mendapatkan makanan ini di Cafe mu, Miss Rossy"

"Kau harus sering berkunjung kesini. Oh ya, Kudengar Tommy..."

"Tommy baik-baik saja" Sally memotong dengan cepat ucapan Miss Rossy.

"Begitukah? Aku juga berharap semua pemberitaan di televisi itu tak benar."

"Oh ya Miss, Boleh aku minta segelas air putih?"

Miss Rossy mengangguk lalu segera pergi meninggalkan wanita bermata coklat itu. Sally menyuapkan beberapa Samosa yang disajikan Miss Rossy di mulutnya. Rasanya begitu enak atau mungkin Sally memang benar-benar lapar, sehingga tidak lebih dari lima menit sepiring Samosa itu telah habis dilahapnya.

Sally sedang membersihkan sisa Samosa di jarinya ketika tiba-tiba seorang laki-laki berdiri di depannya. Sally memicingkan mata berusaha mengenali wajah laki-laki itu. Jenggot dan kumisnya begitu tebal hingga Sally bahkan nyaris tak mengenalinya. Laki-laki itu lantas duduk di depan Sally. Melepaskan Coat-nya dan memanggil Miss Rossy.

"Expresso, double shot. Kalau bisa tolong beri sedikit kayu manis. Apa kau punya Sandwich? Aku pesan satu, dan jangan pakai tomat. Oh ya, segelas air putih"

Miss Rossy mengangguk lalu pergi. Sally masih belum berkedip melihat pria itu. Bukan karena dia terlihat tampan –dan sebenarnya memang tampan- atau senyumnya yang begitu menawan, tapi Sally benar-benar tidak percaya pria itu hadir di depannya.

"Kau.. kau..Bagaimana kau masih hidup?" tanya Sally dengan terbata-bata.

"Apa kau ingin aku mati?" suaranya terdengar lebih berat dan pelan.

"Roman, apa benar ini kau?" tanya Sally sekali lagi. Roman tertawa terbahak. Membuat beberapa pengunjung menoleh kearahnya.

Sally segera bangkit dari tempat duduknya, menghampiri dan meraih tubuh Roman. Ia lalu memeluknya dengan erat. Roman yang kaget hanya bisa menepuk lembut punggung Sally. Mencium aroma rambutnya yang lembut. Dan merasakan hangat tubuhnya. Sangat menyenangkan rasanya tahu bahwa Sally mengkhawatirkannya.

"Aku sangat menghawatirkanmu, Rom. Aku pikir kau telah mati setelah kakak menembakmu. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kucintai lagi."

Roman terdiam. Menghentikan tepukan lembutnya. Hatinya tak karuan. Di satu sisi dia bahagia Sally menganggapnya sebagai orang yang dicintai, di sisi lainnya Roman merasa bahwa Sally masih belum bisa melupakan Ben.

Lagi? Apa dia benar-benar mengatakan ‘lagi..’? Apa dia serius dengan kata itu?

Roman menggumam dalam hati. Dan kali ini, rasa cemburu Roman yang menang. Roman tidak ingin menjadi orang nomor dua. Apalagi menjadi pengganti orang yang sudah mati. Dia melepas pelukan Sally dengan pelan. Sally tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Dia kembali duduk dengan kaku.

"Kau masih belum merelakan kepergian Ben?"tanya Roman datar.

"Ya. Setelah hampir 3 tahun sejak dia ditemukan tewas, aku masih ingin menemukan pembunuhnya"

Roman tak bereaksi. Roman cemburu dan marah. Pandangan Sally masih menelanjangi Roman. Seolah masih belum percaya bahwa lelaki tampan ini masih hidup. Tapi kenapa sejak kali pertama bertemu sampai hari ini pun Roman masih menanyakan perihal Ben. Padahal suaminya itu telah meninggal 3 tahun yang lalu.

“Ngomong-ngomong Bagaimana kau tahu bahwa ini aku, Sal?”

“Iya, meskipun mataku agak sedikit terganggu karena rambutmu yang acak-acakan dan wajahmu yang terlihat lebih dewasa dengan kumis dan jenggotmu itu, aku masih hafal dengan gaya tertawamu. Lagipula manusia mana yang malam hari memakan sandwich kalau bukan kau, Rom. Eh ngomong-ngomong sejak kapan kau menumbuhkan kumis dan jenggot? Bukankah kau sangat rapi?”

“Well, Aku mendapat promosi. Aku ditugaskan di reserse kriminal khusus saat ini. Aku diperbolehkan berpenampilan apa saja untuk menyamar. Terima kasih kepada kakakmu yang menembakku waktu itu. Tanpanya aku tak akan mendapat posisi ini”

Sekali lagi Roman tergelak dan Sally hanya menggigit ujung bibirnya. Dia masih belum percaya bahwa Roman masih hidup. Ada hal yang masih mengganjal pikirannya.

"Apa kau ragu?" tanya Roman.

"Ah tidak. Selamat atas promosi yang kau dapatkan. Kau ingin menangkap ku malam ini?"

Roman menggeleng.

"Apa kau sengaja mengikutiku?" Sally mengangkat satu alisnya. Bukankah terlalu kebetulan mereka bertemu di cafe malam hari yang dingin seperti ini.

"Ya, aku melihatmu keluar dari galeri seni Bach lalu kau kesini. Apa yang kau lakukan disana?"

"Aku hanya melihat-lihat lukisan. Salah satu lukisan Tommy ada disana"

Mendengar jawaban itu, Roman menatap Sally dengan serius.

"Kenapa? Apa kau menuduhku mencuri barang seni disana? Itu galeri seni milik ayahku."

"Kau sudah sangat kaya raya untuk menjadi pencuri. Lalu kenapa kemarin kau membuat ricuh Bank Central? Apa yang kau ambil dari sana?"

"Apa kau punya bukti aku mengambil sesuatu?"

Roman terdiam.

"Ah aku lupa. Kau hampir menembakku kala itu"

"Aku tak bermaksud melakukannya."

"Tak apa. Itu memang tugasmu."

Roman menelan ludah. Wanita di depannya saat ini adalah seseorang yang ada di dalam daftar tugasnya. Nama Sally ada di daftar penjahat yang harus diselidiki Roman, setelah Kenneth Wilder tentunya.

Namun ia masih juga terjebak pada perasaan yang ia miliki terhadap Sally. Sally adalah cinta pertamanya. Yang walaupun berulang kali ia mencoba untuk melupakannya, tetap saja nama wanita itu begitu nyaman mengendap di hatinya. Bahkan ia masih gugup ketika melihat wajah Sally, kapanpun ia menatap matanya.

"Ngomong-ngomong, kau masih tinggal dengan nenekmu?" Sally membuka Coat yang dipakainya.

"Tidak. Aku menyewa apartemen sendiri."

"Apa aku boleh kesana?"

"Tidak. Aku tak akan mengijinkan mu masuk."

Sally tertawa. Malam ini mereka asyik mengobrol dan menikmati waktu mengenang masa lalu.

...***...

Esok harinya.

Roman mengintip keluar jendela. Hujan turun cukup deras dan angin bertiup cukup kencang. Dilihatnya jam menunjukkan pukul 10 malam. Roman mengambil ponselnya. Membalas beberapa pesan yang belum sempat ia baca. Sebenarnya malam ini Roman berjanji untuk datang menemui Nenek Shia. Tapi melihat cuaca yang tidak memungkinkan, Roman terpaksa membatalkannya.

Roman beralih menatap laptopnya. Terpampang foto Thomas Wilder atau yang sering dipanggil Tommy. Bungsu Gregory Wilder yang menghilang sejak 3 bulan yang lalu. Tepat ketika ada pengeboman oleh gerombolan Kenneth. Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang tahu dimana ia berada.

Tommy masih berusia 20 tahun. Dia adalah mahasiswa jurusan sejarah seni yang pendiam. Tommy memang berbeda dengan kedua kakaknya. Tommy sama sekali tidak tertarik dengan dunia mafia atau bisnis ayahnya yang lain. Dia tak pernah sekalipun terlibat dalam kejahatan yang dilakukan oleh kelompok ayahnya.

Tommy mewarisi paras ibunya. Rambutnya ikal berwarna coklat keemasan. Matanya hijau dan memiliki senyum yang mempesona. Tommy memiliki sifat yang lembut, sangat menyukai seni hingga Greg membuatkannya Galeri seni di pusat kota. Galeri Seni Bach.

Walau kabar hilangnya Tommy ditutup-tutupi oleh keluarga Wilder namun salah satu media pesaing Greg terus memberitakannya. Beberapa spekulasi muncul, bahkan kemungkinan Tommy diculik. Dan Roman mendapat perintah khusus untuk menyelidiki kasus hilangnya Tommy.

Kasus Tommy sangat menyita perhatian Roman. Karena sejak lama Roman sangat tertarik menyelidiki keluarga mafia itu. Rasanya ada yang janggal dengan kasus ini. Sangat aneh jika ada seseorang atau kelompok mafia, yang berani menculik anak ketua geng mafia yang sangat kuat. Itu seperti menggali kuburan sendiri. Bahkan polisi pun harus berpikir dua kali jika mereka ingin memenjarakan keluarga Wilder.

Semua bisa dibeli oleh Greg. Kalaupun tidak bisa terbeli, paling tidak mereka akan dimusnahkan. Dibunuh dan dibuang hingga tak ada yang mengetahui. Satu-satunya kekuatan yang bisa menandingi Greg adalah kelompok Vladimir Romusca.

Tapi sejak adanya gencatan senjata dan pembagian wilayah, tidak ada benturan apapun diantara keduanya. Kedua mafia itu sepertinya benar-benar tidak ingin mengulangi perang untuk kedua kalinya. Dan kasus ini membuat Roman stres bukan kepalang. Ia sama sekali tidak mempunyai clue tentang menghilangnya Tommy.

Ketika kemarin bertemu dengan Sally pun tidak banyak yang ia dapatkan. Sally tidak begitu suka menjelaskan perihal menghilangnya Tommy. Sally berkilah bahwa adiknya sedang sekolah di luar negeri.

Roman tentu saja tahu kalau itu kebohongan. Sally tidak tahu bahwa Roman tengah menyelidiki kasus adiknya.

Tok.. Tok..

Roman terkejut, lalu dengan spontan menutup layar laptop. Ia lantas bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu. Pintu kembali diketuk dengan cepat.

Roman mengambil pistol di laci meja di dekat pintu. Sebentar kemudian dia meletakkan telinganya di pintu. Mencoba untuk mendengar situasi di luar. Hening. Roman segera membuka pintu.

"Sally?" ucapnya terkejut.

"Apa aku boleh masuk? di luar dingin sekali"

Roman mengangguk. Sally menerobos masuk. Badannya basah kuyup. Mulutnya membiru karena kedinginan dan kedua tangannya menyilang memegang lengan. Rambut Sally tak lagi berwarna coklat seperti kemarin. Kali ini rambut itu berwarna hitam legam. Butuh waktu beberapa detik bagi Roman untuk menyadari perubahan Sally. Roman segera mengunci pintu dan menyembunyikan pistol dibelakang punggungnya.

"Apa kau punya shower air hangat?" Tanya Sally dengan gigi yang bergetar.

"Ah iya. Masuk saja, shower-nya ada di dalam kamar" jawab Roman dengan masih gugup. Sally tersenyum mengisyaratkan terima kasih.

"Oh ya Rom, seperti yang kau lihat, aku tidak membawa apa-apa. Jadi mungkin kau bisa menaruh pistolmu kembali karena aku sedikit terintimidasi"

Roman tertawa dengan kaku. Sally masih sama seperti dulu. Dia masih amat jeli melihat apapun yang ada di sekitarnya. Dia memang bukan wanita biasa. Kehidupan sebagai mafia mungkin membuatnya lebih berhati-hati.

Sepuluh menit berlalu dan Sally masih belum keluar dari kamar mandi. Roman mondar mandir masuk kamar, seolah ia salah tingkah dengan apa yang dia lakukan. Hingga akhirnya memutuskan untuk duduk dengan kaku di pinggir ranjang sambil memainkan ponselnya. Roman gugup untuk kesekian kalinya.

Tak lama kemudian, Sally keluar kamar mandi dan sangat terkejut mendapati Roman di dalam kamar. Bukan hanya kikuk karena dia hanya mengenakan lilitan handuk untuk membungkus tubuhnya, tetapi juga terasa aneh berdua dalam kondisi seperti ini.

Namun entah kenapa Sally merasa ini jauh lebih baik daripada harus tinggal sendiri di rumahnya dengan bayang bayang Tommy yang masih belum ditemukan. Sally membutuhkan teman. Ayah dan Kakaknya hampir tak bisa ditemui. Entah sedang berada dimana mereka sekarang. Semua orang sibuk mencari Tommy.

“Aku hanya ingin menawarkan apa kau mau memakai bajuku, ya..kulihat kau tidak membawa apapun untuk kau pakai. Bajumu tadi masih basah kan?” Tanya Roman dengan sangat hati-hati.

“Kau boleh meminjamiku baju olahraga sekolah kita dulu. Aku rasa aku masih muat memakainya” Jawab Sally dengan terbahak.

“Aku tidak yakin, karena kulihat kau lebih gemuk sekarang” Roman tersenyum menggoda sambil membuka lemari. Sally menyipitkan mata sembari memanyunkan bibirnya.

“Mungkin kau akan lebih nyaman dengan sweater ini, aku membelinya dari gaji pertamaku” Ujar Roman sambil menunjukkan sweater berwarna abu-abu bertulisan Police Academy. Sally terbahak.

“Bukan sweater yang buruk” jawab Sally.

Roman menghampiri Sally yang terdiam memegang ujung handuk agar tidak terjatuh. Handuk yang ia kenakan terlalu kecil untuk dililitkan. Sally tak berkutik, tangannya meremas ujung handuk lebih keras lagi. Mata mereka beradu. Saling menatap dengan rasa yang aneh.

Roman menaruh sweater di sisi ranjang lalu meraih wajah Sally dengan kedua tangannya. Menatapnya jauh lebih dalam. Sally menahan nafasnya lebih lama.

"Kau baru saja berkelahi? pelipismu terluka."

"Oh tidak Rom, aku hanya terjatuh dari tangga." Jawab Sally.

"Ayolah Sally, aku seorang polisi. Jangan membohongiku! Akan kuambilkan plester, tunggulah sebentar!"

Roman berniat melepaskan jemarinya dari wajah Sally namun tiba-tiba wanita itu menahannya. Membuat Roman merasakan tangannya tergenggam erat tangan dingin Sally.

"Rom.. aku tidak apa-apa"

Roman menggeleng pelan, "Bisakah kau menurut denganku kali ini?” Sally tertawa kecil mendengar pertanyaan Roman. Ia akhirnya menurut juga. Roman keluar kamar mengambil obat. Sally meraih sweater diatas ranjang dan mulai melepas handuknya.

Tak lama kemudian Roman datang dan menjumpai Sally telah duduk diatas ranjang dengan sweater yang nampak kebesaran. Ia tersenyum malu. Roman mendekatkan diri. Dengan telaten ia menutup luka Sally dengan kapas dan plester. Sally nampak meringis menahan perih.

“Terima kasih. Kurasa hujan telah reda. Aku pamit pulang ya?"

Roman terdiam sejenak. Ia jelas tak menyukai kalimat itu, ia ingin lebih lama bersama Sally.

"Tinggallah disini! Aku khawatir dengan keadaanmu. Lagipula ini sudah sangat larut. Atau kau ingin kuantar sampai rumahmu?"

Sally menggeleng. Ia sebenarnya ingin menginap di apartemen Roman. Kejadian yang baru saja ia alami membuatnya merasa tidak aman jika harus memaksakan diri keluar ke jalanan. Namun, ia merasa canggung.

"Kemarin kau bilang aku bahkan tak boleh masuk apartemen mu?" goda Sally.

"Aku hanya bercanda. Kau boleh selamanya tinggal bersamaku" Roman mengerlingkan mata. Wajah Sally memerah mendengarnya.

Roman berdiri dari duduknya, lalu menaruh kotak obat di meja samping ranjang. Ia kemudian mengambil selimut dari dalam lemari.

“Tidurlah disini, aku akan tidur di sofa ruang tamu. Kalau kau butuh apa-apa panggil aku saja” Roman melihat Sally yang tak bereaksi dengan tawarannya. Ia pun melangkah keluar kamar dan menutup pintu.

“Rom..” suara Sally terdengar sangat pelan namun Roman sangat jelas mendengarnya. Ia menghentikan langkahnya.

“Maukah kau tidur disini bersamaku?”

Roman mencerna dengan cepat kata-kata Sally, lalu perlahan menghampirinya. Berusaha untuk mencari kepastian dari apa yang didengarnya tadi. Jangan-jangan itu hanya ilusi pendengarannya saja.

Namun Sally nampak serius mengucapkannya. Sally merebahkan tubuhnya disisi kiri ranjang. Roman –dengan ragu-ragu- ikut merebahkan tubuhnya disisi lainnya. Untuk beberapa waktu mereka terlentang dengan sangat kaku. Hingga akhirnya Sally memutar badan menghadap Roman.

"Kenapa kau seperti menghilang setelah aku menikah dengan Benjamin?" tanya Kinan membuka pembicaraan.

"Aku hanya sibuk." kilah Roman.

"Apakah kau punya kekasih?"

"Oh aku punya banyak sekali."

Kinan tersenyum simpul. Jawaban Roman terdengar hanya bualan. Sebenarnya Sally bisa merasakan perasaan pria itu. Namun ia selalu mencoba untuk menampiknya. Terlebih ketika ia berpacaran dengan Benjamin, lalu menikah dengan pria itu.

“Aku benar-benar ketakutan ketika kau tertembak. Aku sering melihat orang mati tapi ketika itu menimpa orang yang dekat denganku, Itu sangat mengerikan. Aku merasa bersalah. Dan ketika kau menemuiku di Cafe, aku sangat bahagia. Aku sangat bersyukur karena itu. Dan…..” Sally menghentikan ceritanya.

“Dan?” Roman melirik Sally.

“Dan terima kasih karena kau masih hidup saat ini.”

"Kau... mengerti perasaanku, kan?" ucap Roman dengan menatap wajah Sally lekat-lekat. Sally mengangguk.

"Aku menyukaimu sejak kecil. Dan sampai saat ini perasaan itu masih bertahan di hatiku."

"Bolehkah aku membalas perasaanmu itu malam ini?"

Sally tersenyum puas mengatakannya. Roman meraih wajah Sally. Ia tak bisa lagi menahan keinginannya untuk mencium gadis yang ia cintai sejak lama itu. Sally pun membalasnya dengan pelukan yang sangat erat. Malam ini ia hanya ingin bersama dengan Roman.

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!