D E L A P A N

Secangkir kopi panas terhidang di atas meja kerja Roman. Asap dan aroma kopi tercium menyengat hingga Habb, teman Roman, yang duduk di sebelahnya menyeloroh,

“Sudah cangkir kelima yang kau minum siang ini. Kau kenapa Rom?”

Roman tak menjawab. Ia hanya menunduk dan memegang kepala dengan kedua tangannya. Berulang kali ia menarik nafas panjang. Habb menghampiri bawahannya itu.

“Kau ingin pelukan?” Tanya Habb yang sudah berdiri tepat disamping kursi Roman. Roman menengadah melihat wajah Habb yang tersenyum berlagak sok lucu.

“Aku baru saja mendapatkan promosi jabatan dan itu sudah cukup membuat rumor di kantor ini, aku tidak mau reputasiku hancur karena mereka berpikir aku mempunyai affair dengan kepala inteligen di kesatuan ini”

Habb tertawa terbahak lalu menarik kursinya untuk duduk lebih dekat dengan Roman. Mata Roman tertuju pada headline beberapa lembar surat kabar yang tergeletak diatas meja kerjanya. Thomas Wilder Tewas. Perang Telah Dimulai Kembali? Wilder Berduka. Thomas Wilder ditemukan tewas.

“Apa ini ada hubungannya dengan kematian Tommy?” Tanya Habb dengan sedikit pelan. Lalu mengambil salah satu surat kabar.

“Hari ini semua orang membicarakan keluarga Wilder. Menurutmu bagaimana cara Ken bisa tahu kalau adiknya ada di wilayah Romusca? Bukankah cuma kita yang mengetahuinya saat itu?”

Roman mengangguk lalu menggeser helaian surat kabar dengan laptopnya. Ia menunjukkan sebuah email kepada Habb. Habb membacanya, lalu terdiam melihat Roman. Roman hanya menunduk. Habb meraih kerah kemeja Roman dengan penuh amarah.

“Apa kau membocorkan informasi kita kepada Sally?” Tanya Habb dengan geram.

Roman hanya diam tak menjawab. Beberapa orang yang tak sengaja melintas ruangan mereka, melihat dengan heran. Habb yang menyadari itu lantas melepaskan kerah kemeja Roman. Ia berdiri untuk mengambil coatnya.

Matanya mengisyaratkan Roman untuk mengikutinya. Roman pun menurut. Roman sangat paham dengan perilaku Habb. Ia akan mengajak Roman berjalan sambil membicarakan hal penting. Habb bukan type manusia yang bisa duduk diam berjam-berjam untuk mendengarkan cerita orang lain.

Jalanan kota cukup sepi siang ini. Cuaca sedang tak menentu. Angin bertiup cukup kencang hingga membuat orang-orang lebih suka untuk menghabiskan waktu di dalam ruangan. Roman memasukkan jemari tangan ke dalam saku jaket kulitnya. Habb yang sedari tadi hanya sibuk dengan cerutunya, kini mulai bersuara.

“Ceritakan yang sesungguhnya!”

“Aku tidak menduga kalau dia hanya memanfaatkanku. Aku pikir dia….”

“Kau tahu apa yang terjadi pada Ben, bukan?” sela Habb dengan suara meninggi.

Roman terdiam. Entah kenapa ia malas sekali mendengar nama itu. Langkahnya semakin dipercepat. Membuat Habb menyerngitkan dahi dan meraih bahu Roman.

“Hey, jawab pertanyaanku dengan jujur, bro?” Roman menghentikan langkahnya.

“Apa kau menyukai Sally?” Tanya Habb dengan serius.

“Iya, aku mencintainya” jawab Roman. Habb tertawa sumbang sesaat. Kemudian membuang cerutunya di tempat sampah di dekatnya. Tak lama kemudian,

Duaakk..

Habb melemparkan pukulannya tepat di wajah Roman. Roman terhuyung mundur beberapa langkah sambil memegang rahangnya.

Duaakk..

Sekali lagi Habb memukul wajah Roman. Kali ini Roman tersungkur di atas trotoar. Beberapa orang yang melihat hanya diam tak berani melerai. Habb lalu membantu Roman kembali berdiri. Roman mengusap darah yang mengalir diujung bibirnya. Ia tak membalas walau Habb sepertinya sudah siap untuk menerima pukulan balik.

“Kau ingin hidupmu berakhir seperti Ben? Mati dibunuh oleh Ken?”

Roman diam seribu bahasa. Matanya menerawang. Ia mengusap-usap pipinya yang masih terasa nyeri. Tapi Roman merasa hatinya jauh lebih sakit daripada pukulan-pukulan Habb. Mereka kembali berjalan menyusuri trotoar tanpa tujuan. Habb mengambil sebuah cerutu dari dalam saku dan kembali menyulutnya.

“Dia datang kepadaku malam itu. Dia bilang dia sedang dikejar oleh sekelompok orang dan dirampok. Keningnya terluka dan dengan bodohnya aku mempercayainya. Dan…”

Roman terdiam sejenak, “… kami tidur berdua, paginya aku pergi bekerja dan aku lupa membawa laptop. Sally meretas semua dataku selama aku pergi. Dan…”

Roman kembali terdiam untuk beberapa waktu, lalu menatap Habib dengan sedih, “…..dan aku memang pantas kau pukul karena kelalaianku dalam menjalankan tugas. Kau boleh membebas tugaskan aku, Kapten. ”

Cerutu Habb terjatuh ketika ia tanpa sadar melongo mendengar cerita Roman.

“Kau tidur dengan anak perempuan Gregory Wilder?”

“Ya. Selama dua malam. Dua malam yang menyenangkan” jawab Roman mencoba mengingat.

“Apa Ken tahu tentang hal ini? Kau bahkan hampir mati tertembak ketika kau mengancam nyawa adiknya saat pengeboman bank waktu itu.”

“Dia datang ke apartemenku pada pagi hari di waktu ia menjemput adiknya. Ketika aku dan Sally tengah berpelukan erat tanpa sehelai pakaian. Aku mendapatkan todongan pistol di keningku. Aku bersyukur aku masih hidup saat ini. Dia benar-benar sangat mengerikan dari yang kubayangkan”

Habb mengusap keningnya seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia kembali teringat kisah Benjamin. Benjamin Larfant adalah salah satu detektif anak buah Habb yang ditugaskan untuk menyelidiki keluarga Wilder.

Habb sendiri yang memberikan tugas khusus itu karena Ben adalah salah satu detektif yang paling berbakat. Ben sangat pintar dan lihai dalam penyamaran. Pada saat itu tugas Ben adalah menyelidiki gudang penyimpanan senjata illegal milik keluarga Wilder. Ben yang jenius akhirnya bisa menarik perhatian anak perempuan mafia paling ditakuti di wilayah barat itu.

Perkenalannya dengan Sally awalnya mendapatkan tentangan dari keluarga Wilder. Karena asal usul Ben yang tidak jelas dan identitasnya yang sulit diketahui. Benjamin memalsukan segala informasi pribadinya hingga keluarga Wilder tidak mengetahui bahwa Ben adalah seorang polisi.

Setahun lamanya Ben menjalankan tugasnya tapi tak membuahkan hasil. Habb hampir saja putus asa dan menarik Ben dari tugasnya. Akan tetapi, Ben terlanjur jatuh cinta dengan Sally.

Mereka pun menikah secara diam-diam selama berbulan-bulan hingga akhirnya Gregory memutuskan untuk menerima Ben sebagai suami Sally. Digelarkan pesta pernikahan yang meriah.

Selama penyamaran di rumah Greg, Ben mendapatkan banyak informasi yang membuat Habb semakin senang karena kasus penyimpanan senjata illegal akan terungkap. Namun tiba-tiba Kenneth mengetahui penyamaran Ben. Habb berusaha untuk menarik Ben dari tugasnya tetapi Ben menolaknya. Ia berusaha untuk tetap bersama dengan Sally. Karena pembangkangannya tersebut, Ben dipecat dari kepolisian karena dianggap menjadi sekutu penjahat serta diburu karena dianggap sebagai penghianat dan membahayakan kesatuan.

Benjamin pun menjadi target polisi dan kelompok Ken. Benjamin kemudian kabur dan meninggalkan Sally. Ia sadar bahwa jika Sally mengetahui identitasnya yang sebenarnya, Sally akan membencinya. Sally akan merasa dibohongi.

Nasib baik tidak memihak kepada Ben. Ken dan kelompoknya menemukan tempat persembunyian Ben di pinggir kota. Ken menghajar Ben hingga ia tak berdaya. Lalu meninggalkannya tergeletak di pinggir jalan. Benjamin mati pada saat itu juga.

Habb kembali tersadar dari lamunannya tentang masa lalu. Roman masih berjalan pelan tanpa banyak bicara. Matanya menerawang jauh. Habb melihat beberapa titik bercak darah masih menempel diujung bibir Roman. Diambilnya sapu tangan dari dalam coat nya. Lalu diusapkannya ke bibir Roman yang berjalan di sampingnya.

“Kau ini apa-apaan?” bentak Roman dengan terkejut. Beberapa orang yang melihat mereka terkekeh. Membuat wajah Roman memerah karena malu. Habb memanyunkan bibirnya, mencoba untuk membela diri.

“Aku hanya ingin minta maaf karena kau berdarah karenaku”

Roman memandang dengan sinis. “Ck, tapi tidak dengan bermesraan seperti itu. Orang berpikir kita adalah….” Roman tidak melanjutkan ucapannya.

Wajah Habb sudah memerah entah karena malu atau menahan tawa. Pandangan Roman lantas tertuju pada sapu tangan berwarna merah muda yang dipegang oleh Habb.

“Ini adalah sapu tangan anakku. Sebelum ia meninggal, ia sangat suka menggunakan sapu tangan ini ketika ia pergi ke sekolah. Patricia adalah anak yang manis, sayang ia tak berumur panjang.”

Roman menjadi tersentuh mendengar cerita Habb. Tidak enak hati juga menolak kebaikan Habb, pikirnya. Diambilnya sapu tangan merah muda itu dari tangan Habb, lalu diusapnya sendiri luka dibibirnya.

“Apakah kau akan melakukan segala cara untuk melindungi anakmu, Habb?”

“Pastinya. Jika aku bisa menukar nyawaku dengan nyawa Patricia, aku ingin dia masih hidup dan aku saja yang mati. Setiap ayah pasti akan selalu ingin melindungi anaknya.”

Roman terdiam sejenak. Matanya memicing lalu mengangguk pelan.

“Kalau begitu, apakah Gregory Wilder akan membalas kematian Tommy?”

“Akan ada perang besar sesaat lagi, Rom. Sangat besar.” jawab Habb dengan tegas.

...***...

Beberapa daun gugur mengenai kaki Ken yang hanya berdiri mematung di depan batu nisan Tommy. Greg dan Sally berjongkok memegang gundukan tanah yang bertabur banyak bunga. Satu per satu pelayat pergi meninggalkan mereka. Beberapa anak buah Ken berjaga mengitari pemakaman umum ini. Thomas Wilder baru saja dikuburkan tepat disebelah makam ibunya, Vollary.

Sally masih menangis sesenggukan. Kenneth menyembunyikan kesedihannya dibalik kacamata hitamnya. Ia tak sanggup menjelaskan bagaimana perasaan hatinya saat ini. Marah, sedih, dendam, benci, entah apapun itu, yang pasti itu sangat membuatnya menderita.

“Ken…” ucap Greg dengan sangat pelan. Suaranya bergetar menahan pilu.

“Iya Ayah?”

“Kalau Thommy disini, lalu siapa yang akan mengisi rumah kita dengan lukisan?”

Ken tak mampu menjawab. Nafasnya tercekat menahan air mata, tangannya menggenggam erat, giginya menggeretak. Gregory menerawang jauh,

“Aku baru saja membuatkannya Galery di taman belakang. Aku terlambat membuatnya hingga ia harus jauh-jauh kerumah bajingan itu untuk melukis. Dan sekarang, mungkin aku yang akan mengisi galeri itu dengan lukisanku tentang Tommy."

“Ayah, aku akan membawanya kesini dan ayah bisa melukis dengan menggunakan darahnya” ujar Ken dengan geram. Gregory berdiri mendekati Ken. Matanya yang merah dan berkaca-kaca menyatakan penolakan. Dipegangnya pipi anak pertamanya itu.

“Tidak anakku. Aku tidak akan mengijinkan kalian bertemu dengan Vladimir. Aku tidak akan membiarkan seorangpun, seorangpun, menyakiti anak anak Gregory Wilder. Aku akan membalaskan derita Tommy dengan tanganku sendiri.” Kata Greg dengan tegas.

Ia menepuk pelan kedua bahu Ken, lalu memeluknya dengan erat. Ken terhenyak. Tidak pernah sebelumnya Gregory memeluknya seperti itu. Hatinya kini bertambah sedih, ikut merasakan kepedihan ayahnya.

“Lindungi Sally, hanya dia yang kau punya saat ini” bisik Greg di telinga Ken dengan pelan. Ken melihat Sally yang masih berjongkok di samping nisan Thomas. Greg melepaskan pelukannya, lalu berjalan meninggalkan kedua anaknya. Beberapa anak buahnya mengiringinya masuk ke dalam mobil.

“Sal, ayo kita pulang!”

...***...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!