NovelToon NovelToon

S A L L Y

S A T U

Selasa, tepat 10 menit menjelang jam 12 siang. Roman berlari secepat kilat. Menghiraukan beberapa orang yang tertabrak olehnya. Menyebabkan beberapa tong sampah berserakan. Ia tetap berlari tanpa berhenti. Semua orang berlari panik. Semua orang menjerit dan berusaha menyelamatkan diri. Pekik histeris bersahutan diiringi bunyi sirine meraung-raung. Suasana sangat tidak terkendali.

Lima menit yang lalu, saat semua pekerja pergi mencari makan siang, gerombolan gengster terkenal itu kembali berulah. Kali ini dengan meledakkan bom dari sebuah truk di depan Bank Central.

 Tapi Roman tak mempedulikan semua itu. Saat ini fokus terbesarnya adalah menangkap seseorang yang berlari beberapa meter di depannya. Berulang kali Roman memperingatkannya untuk berhenti, tapi wanita itu tetap berlari cepat dengan sesekali melintasi halang rintang layaknya sedang parkur.

Sial! Roman sangat hafal dengan cara berlari wanita itu. Mengingatkannya pada beberapa tahun silam. Saat berangkat ataupun pulang sekolah, Roman selalu melakukan ini, --mengejar wanita itu.

Masih sangat segar dalam ingatannya, gadis dengan rambut kuncir kuda, tas punggung dan sepatu yang hampir tak layak pakai, ia selalu menantang Roman untuk berlomba lari. Kadang Roman bertanya-tanya, bagaimana bisa seorang wanita berlari secepat itu? bahkan ketika ia belum makan siang.

Beberapa kali wanita itu menoleh kearahnya dengan senyum sinis. Tapi entah mengapa Roman sangat menyukai senyumannya. Senyum yang menggetarkan hati Roman.

“Kau masih saja berlari seperti kakek-kakek, Rom! Haha”

Teriakan Sally menyadarkan Roman dari sekejap lamunannya. Ya, namanya Sally. Sally Wilder. Roman sedikit melambatkan diri. Ia lantas mencoba mengingat sesuatu. Papan penunjuk jalan bertuliskan Road 6th. Jalan ini sebetulnya bukan jalan yang awam baginya. Bahkan sejak awal ia yakin bahwa Sally akan berlari menuju jalan ini. Menuju jalan kecil yang semakin lama semakin menyempit. 

Sally sengaja menggiring Roman untuk memasuki sebuah gang yang berakhir buntu ini. Roman melihat sekeliling. Tempat ini masih tetap sama. Sangat sepi dan sangat lembab. Gang ini hanya ditempati beberapa rumah kecil tak layak huni. Sangat kontras dengan himpitan gedung-gedung apartemen yang mengelilinginya. Road 6th kini hanya berisikan beberapa orang lanjut usia.

“Seharusnya kau berbelok ke kanan sebelum masuk gang ini, bukankah kita selalu begitu. Rumahmu disebelah sana Roman!”

Roman berhenti. Di depannya, Sally berdiri tepat di dinding paling ujung gang. Seperti yang Roman tahu, gang ini berakhir buntu.

“Kau tak bisa terus menerus berlari Sally, menyerahlah!” bujuk Roman dengan nafas tersengal. Kakinya berjalan pelan mendekati Sally sambil menodongkan pistol. Seolah ia tak ingin mangsanya kabur lagi, Roman ingin menjaga jarak sedekat mungkin.

Sally melepas ikat rambutnya lalu melepas masker wajahnya. Tangannya yang kotor mengelap wajah manisnya yang penuh dengan keringat. Roman hampir tak berkedip menatapnya.

Kali ini dia hanya berjarak 2 langkah dari Sally. Wanita ini tetap sama di mata Roman. Sangat mempesona. Walau dia harus dihadapkan pada kenyataan, Sally adalah anggota gengster yang baru saja meledakkan bom di depan Bank Central.

Roman mengatur nafasnya. Kaki dan hatinya sama-sama bergetar. Untunglah tangannya tak ikut bergerak. Tidak lucu rasanya kalau Sally tahu kalau ia sedang sangat gugup.

“Menyerahlah! Polisi di setiap sudut kota sudah mengawasimu. Kau dan teman-temanmu sudah tidak aman lagi. Kau menyerah atau kau akan terbunuh.” Roman mencoba mengintimidasi.

Sally tertawa renyah. “Lalu kenapa kau tidak menembakku sekarang, Pak Polisi?” sindirnya pelan. Seakan tak ingin orang-orang mendengar. Sally sangat paham bahwa orang-orang di daerah Road 6th tidak pernah menyukai polisi. Bagi warga Road 6th polisi seperti musuh yang membuat hidup mereka tidak nyaman. Ada dendam yang tidak bisa dimengerti. Sally begitu paham, karena Sally lahir di tempat ini.

Sally pernah menghabiskan waktu kecilnya hidup dengan sangat sederhana di gang ini. Jauh sebelum ayahnya menjadi mafia kaya raya seperti sekarang. Sally menatap rumah kecil yang dulu ia huni. Sesungging senyum tergambar di bibirnya yang berlipstik merah. Kenangan-kenangan indah kembali menyeruak kedalam otaknya. Membuat ia tiba-tiba merindukan seseorang. Vallery, ibunya.

"Kau lihat Rom! tidak banyak yang berubah. Rumahku ini mungkin sekarang menjadi rumah hantu yang ditinggali banyak kucing." 

Roman melihat ke arah rumah kecil tua yang dimaksud Sally. Rumah itu hanya berupa rumah petak mungil dengan 1 kamar tidur. Pagarnya sudah berkarat dan ditumbuhi tanaman liar. Bagian atapnya sudah roboh dan tiang penyangga pun miring beberapa derajat. Rumah ini sudah puluhan tahun ditinggalkan Sally dan tidak ada yang menempati setelahnya.

"Kenapa tidak kau tinggali saja? ahh.. aku lupa. Kau sekarang pasti sudah nyaman dengan rumah mewah di kawasan elit." Suara Roman terdengar menyindir.

Sally tersinggung mendengarnya. Ia berjalan mendekati Roman hingga keningnya hampir menyentuh ujung pistol Roman. Matanya yang tajam seolah tak takut peluru menembus dahinya. Ia berdiri tegap seolah menantang Roman.

"Percayalah Rom, aku lebih bahagia tinggal disini dengan sahabat laki-laki yang selalu kalah balap lari"

Roman terdiam dengan tetap menodongkan pistolnya. Tangannya sedikit bergetar. Hatinya apalagi. Roman mencoba meyakinkan dirinya untuk cepat membuat keputusan. Otaknya dengan keras menyuruhnya untuk menembak Sally, salah satu buronan gangster paling dicari polisi di kota ini. Menembaknya akan membuat Roman mendapat promosi naik jabatan.

Tapi perasaan Roman berkata lain, berkata untuk menurunkan pistolnya, menghampiri Sally dan memeluknya dengan erat. Sudut hati roman berteriak, memanggil cinta pertamanya. Namun entah kenapa bibir Roman tak pernah sanggup mengucap suka.

"Apa kau tak merindukanku?" tanya Sally dengan lembut. Roman mencari kesungguhan dibalik ucapan wanita ini. Namun mata Sally tidak berbohong. Ia sungguh-sungguh mengatakan yang sejujurnya.

Sungguh Roman ingin sekali membuang pistolnya dan mencium wanita itu. Merengkuh tubuhnya dan menikmati setiap kerinduan yang akan terbayar lunas hari ini. Tapi hal itu mustahil dilakukan. Sally bukan miliknya.

 

"Aku turut berduka untuk apa yang menimpa Benjamin."

Akhirnya Roman bersuara dengan getir. Membuat wajah Sally beringsut menjadi sedih. Dan sepertinya Roman menyesali apa yang baru saja ia ucapkan. Roman selalu tak bisa mengungkapkan isi perasaannya yang sesungguhnya.

"Aku akan menemukan orang yang membunuhnya." ujar Sally lirih. "Oleh karena itu ijinkan aku bebas terlebih dahulu, sahabatku!" bisik Sally tepat di  telinga kanan Roman. 

Roman yang masih terdiam, tak berdaya oleh rayuan, tanpa sadar membiarkan Sally pergi berlari dengan cepat. Sally mencoba menaiki atap rumah dengan melompat pagar.

Melihat Sally yang mencoba kabur, Roman secara tidak sengaja melepaskan tembakan. Peluru itu melaju lurus mengenai kibasan rambut Sally yang tertiup angin. Nyaris saja. Sally yang menyadari itu seketika menoleh dengan raut muka tidak percaya, lalu kembali turun menghampiri Roman.

“Kau serius ingin membunuhku?” tanya Sally sambil berjalan kembali ke arah Roman yang menggeleng pelan.

“Sally a..aku.. aku..  tidak bermaksud untuk..itu tadi begitu spontan....aku” Roman berbicara terbata-bata. 

Daaarrr... tiba-tiba terdengar suara letupan pistol. Roman memegang dadanya. Lalu terdengar lagi beberapa letupan, Roman jatuh tersungkur. Ia hanya melihat Sally berteriak sambil menghampirinya.

"ROMAAAAAAN!"

...***...

D U A

Sally berlari menghampiri Roman yang jatuh tersungkur di jalan. Namun sebelum ia mendapatkan tubuh Roman, seseorang terlebih dahulu meraih tubuhnya. Sally menatap orang itu, Ken Wilder. Ken yang jauh lebih tinggi dan lebih kekar tidak bisa membuat Sally bergerak lebih jauh selain menjerit.

"Kakak, kau tak perlu menembak Roman. Dia sahabatku" teriak Sally dalam tangisnya. Ken tak bergeming. Dia tetap menyeret Sally untuk sesegera mungkin pergi dari Road 6th.

Roman sama sekali tidak bergerak. Wajahnya terjerembab di paving jalan. Tidak ada seorangpun yang menolong. Tidak ada seorangpun yang berani keluar. Sally melihat Roman untuk terakhir kalinya sebelum ia dipaksa masuk ke dalam mobil van oleh Ken.

Rasanya seperti beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Road 6th untuk ikut tinggal di rumah Ayahnya. Tapi kali ini Roman tidak melambaikan tangan. Ia bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal. Roman tersungkur dengan darah menggenangi tubuhnya. Roman mati?

Di dalam mobil, tidak ada satupun yang berbicara. Hanya isak tangis Sally yang begitu pelan. Ken yang duduk di sebelah bangku sopir melihat adiknya dengan geram.

"Hentikan tangisanmu! Sejak kapan seorang mafia menangisi seorang polisi?"

"Kau tidak perlu melakukan itu. Kenapa kau menembak Roman?"

"Dia hampir membunuhmu, bodoh! Aku berusaha melindungimu dan sekarang kau menangisinya seakan ia adalah pahlawanmu yang kutembak mati."

Suara Ken semakin meninggi. Sally terdiam. Tidak ada lagi suara setelah itu. Sally hanya memandang jendela sembari terisak. Dalam hatinya ia berdoa agar ada yang menolong Roman. Ia lalu mengambil ponsel dari dalam tas yang ada di dalam mobil.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Ken penasaran.

"Menelepon Ambulans" jawab Sally tanpa mempedulikan tatapan marah kakaknya. Ken segera mengambil ponsel Sally dan membantingnya.

"Kau gila? kau ingin polisi melacakmu?"

"Lalu bagaimana dengan Roman?"

Ken hanya terdiam, ia hanya malas meladeni adiknya. Mobilpun masih melaju. Hanya ada lima orang di dalam van. Tiga diantaranya adalah anak buah Ken. Mereka pun hanya terdiam melihat Kakak adik itu berdebat. Bukan ide bagus untuk ikut berbicara ketika nada suara Ken sudah meninggi.

Laki laki -yang lebih mirip monster- itu sangat ditakuti oleh anggota gangster lainnya. Bukan hanya karena dia adalah anak tertua dari Gregory Wilder. Mafia terkenal di kota ini. Tapi karena Ken memang begitu menyeramkan. Dia sangat ahli menggunakan senjata. Mempunyai ilmu bela diri yang bagus serta mendapatkan pengetahuan tentang perang dari beberapa veteran militer. Dia tidak terkalahkan.

Tidak mengejutkan juga, karena apapun bisa dilakukan oleh anak seorang Gregory Wilder. Sebenarnya bisa dengan mudah menebak siapa otak dibalik pengeboman ini. Polisi-polisi pun tahu bahwa nama Greg ada dibalik semua -atau paling tidak hampir kebanyakan- perampokan dan perdagangan ilegal yang marak terjadi di Kota.

Tapi hubungan Greg yang baik dengan pejabat pemerintah serta petinggi-petinggi polisi yang korup, menjadikan dia begitu mudah lolos dari semua kejahatan yang ia lakukan. Dunia semakin mudah dikuasai jika ada banyak uang. Polisi-polisi kecil yang bekerja mati-matian menangkap para penjahat itu hanyalah kedok untuk menutupi kebusukan para petingginya.

Ken dan gangsternya adalah sekumpulan pencuri elit yang mempunyai "hobi" merampok karya seni berharga atau perhiasan super mahal. Anak-anak nakal ini adalah anak dari mafia terkenal Gregory Wilder. Tak seorangpun bisa menyentuh mereka karena ayah mereka yang berpengaruh. Kenapa itu hanya sebatas "hobi"? Karena mereka sudah sangat kaya raya.

Mobil van melaju dengan cepat menuju pinggiran kota. Menuju sebuah perumahan elit bernama Vollary Blue. Sampai di depan gerbang, sebuah mobil sedan mewah menjemput mereka. Ken dan Sally beralih menggunakan mobil itu. Sedang yang lainnya pergi memutar arah dengan mobil van. Selalu seperti itu. 

Keluarga Wilder mempunyai perusahaan property serta Big boss di perusahaan telekomunikasi dan media. Mereka juga mempunyai perkebunan anggur dan peternakan kuda. Selain itu Gregory adalah pebisnis yang sangat handal. Tak terkecuali bisnis penjualan senjata dan obat-obatan ilegal. Namun ia bukanlah satu-satunya konglomerat di Kota, ia mempunyai pesaing yang juga sangat tersohor, Vladimir Romusca.

Beberapa tahun yang lalu terjadi perang diantara para mafia, dan entah kenapa diadakan gencatan senjata. Greg dan Vlad lalu mengadakan perjanjian untuk membagi wilayah kota. Bagian barat dan selatan adalah milik Greg. Sedang timur dan utara adalah milik Vlad. Pusat Kota adalah wilayah bebas bagi keduanya. Yang artinya, baik bagi anggota Vlad maupun Greg bisa melakukan transaksi maupun kejahatan disana. Selama, mereka tidak menyakiti satu sama lain.

Mobil sedan mewah itu melaju pelan. Membawa Sally dan Ken menuju rumah mereka. Agar terkesan normal dan elegan, mereka harus berganti penampilan. Tujuannya pasti, hanya untuk mengelabuhi tetangga mereka. Walaupun Sally yakin, tidak ada seorangpun yang tahu.

Vollary Blue seperti pemakaman umum. Sangat sepi dan hanya dihuni orang-orang kaya yang tak pernah bertegur sapa selain jika ada pesta. Mereka sangat tidak ramah dan penuh dengan sandiwara. Bagi Sally, mereka lebih mirip vampir daripada manusia.

Gerbang besi setinggi 3 meter bercat hitam legam dengan logo huruf W besar, terbuka dengan pelan. Dua orang penjaga keluar lalu memeriksa sekeliling. Beberapa saat kemudian mobil melaju kembali, mengitari halaman luas dengan kolam air mancur di tengahnya. Terdapat patung serigala merah berukuran besar ditengah kolam.

Tiga orang tukang kebun terlihat sedang mengecat kembali dinding-dinding kolam air mancur yang mulai pudar. Sally melihat iba. Pasti sangat membosankan mengecat dinding dengan warna yang tak pernah berubah sejak puluhan tahun yang lalu.

Mobil berhenti tepat di depan rumah bergaya gothic. Bukan seperti kastil vampir tapi lebih mirip seperti rumah seseorang yang tidak ramah. Dan kalau tidak salah, Greg memang bukan orang yang ramah. Dia jarang sekali tersenyum.

Sally keluar mobil dengan gontai ketika seorang pelayan -lebih tepatnya seorang bodyguard- membukakan pintu mobil. Ken berjalan di belakangnya dengan penuh kekesalan. Beberapa orang nampak bingung dengan wajah Sally dan Ken. Menimbang bahwa mereka baru saja sukses membuat kericuhan di Bank Central, seharusnya mereka nampak gembira. Namun, dua bersaudara ini bahkan tidak tersenyum sejak turun dari mobil.

Tak berselang lama seorang laki-laki memasuki ruang tengah. Suara langkah kakinya terdengar berdecit keras karena bergesekan dengan lantai kayu mahagoni. Semua orang membungkuk pelan ketika laki-laki itu berjalan menyambut kedua anaknya dengan tergesa. Melihat mata Sally yang basah, segera ia memeluk putri satu-satunya itu.

"Kenneth Wilder! Apa yang kau lakukan hingga adikmu menangis?" Ken belum menjawab. Hanya melihat Sally dengan penuh geram. Ken sadar ketika ayahnya menyebut namanya dengan begitu lengkap, pertanda ia sedang sangat marah.

"Aku hanya membentaknya ketika dia hampir saja tertinggal masuk ke dalam mobil." jawab Ken berbohong. Greg akan lebih marah lagi jika tahu yang sebenarnya bahwa Sally hampir mati tertembak oleh seorang polisi.

Greg menyerngitkan dahinya. Laki-laki bertubuh tinggi kurus itu hanya melirik Sally.

"Ayah, aku tidak apa-apa." Sally melepaskan pelukan Ayahnya.

Meyakinkan laki-laki berusia 60 tahun itu untuk tidak lagi memarahi Kakaknya. Greg masih terlihat ragu. Sally bukan type wanita yang mudah menangis hanya karena masalah seperti itu. Apalagi ini bukan aksi pertamanya. Sally sangat lihai melarikan diri. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan. Tapi senyum Sally melelehkan keraguan Greg. Senyum yang sama persis dengan senyum almarhum istrinya, Vollary.

"Lain kali kau harus berhati hati Sayang, aku tidak ingin kau terluka sedikitpun. Dan kau Ken, tugasmu seumur hidup adalah melindungi adikmu." Ken mengangguk.

"Baiklah, aku harus mengurus sesuatu. Ngomong-ngomong, kalian membuat kericuhan lagi? Apalagi ini?"

Ken dan Sally tak menjawab. Mereka hanya menunduk.

"Kita bicarakan nanti. Aku pergi dulu, kalian makanlah!"

Greg berlalu pergi meninggalkan kedua anaknya yang masih menunggu bayangan Ayahnya benar benar lenyap dari ruang tengah. Seorang pelayan datang, mengisyaratkan bahwa makan siang sudah terhidang. Tapi baik Ken maupun Sally sudah kehilangan nafsu makan.

Ken melihat Sally yang masih tertunduk lesu.

"Kau lihat? Ayah bahkan tidak mengkhawatirkan ku sama sekali." ujar Ken dengan parau. Seperti sangat kecewa.

Sally menengadah. Terlihat mata Ken berkaca kaca. Sally menjadi merasa bersalah karenanya. Kenneth adalah kakak yang sangat melindungi adik-adiknya. Ken adalah tempat pertama bagi Sally untuk mencari perlindungan. Ken pula yang mengajarinya cara berlari dan melompati halang rintang. Ken yang mengajari Sally bagaimana cara membela diri ataupun meloloskan diri.

Sewaktu sekolah, tidak ada seorang pun yang berani menyentuh Sally karena Ken begitu protektif. Dengan postur tubuh yang tinggi dan besar, rambut ikal berwarna coklat yang terburai sebahu, juga wajahnya yang kharismatik, membuat Ken begitu ditakuti. Bahkan hingga kini. Ken adalah sosok pria superior yang selalu dibanggakan Greg dan adik-adiknya.

"Tapi karena tugasku seumur hidup adalah untuk melindungimu, Tuan putri yang cantik, aku anggap itu bagian dari resiko pekerjaan" Ujarnya sambil mengusap pelan kepala Sally.

Sally terhenyak tapi tak bisa mengucap sepatah katapun. Ia masih memikirkan Roman. Rasanya masih sangat menakutkan mengingat ketika Roman jatuh tersungkur terkena tembakan Ken.

"Ah..kau masih memikirkan pria itu?"

Sally tak menjawab. Ia pun menarik tangan kakaknya menuju ruang makan.

"Baiklah, ayo kita makan saja" ujar Ken menjawab pertanyaannya sendiri.

"Dimana Tommy?" Sally melihat sekeliling. Biasanya adiknya akan tiba-tiba muncul sesaat setelah ia pulang. Namun sepertinya ia tak melihat ada Tommy dirumah.

"Mungkin ia sedang pergi. Sampai kapan kau terus menganggapnya seperti anak kecil? Biarlah dia bermain diluar." jawab Ken sambil menimang-nimang sebuah chip yang telah ia ambil dari Bank.

"Apa yang membuat Kakak ingin mengambil chip itu? Aku pikir kakak berniat merampok perhiasan atau barang seni lainnya"

Ken tertawa dengan lantang. Ia lalu melirik Sally dengan nakal, "Aku sudah sangat kaya raya. Aku tidak butuh uang. Aku hanya mengambil mengambil chip ini."

"Lalu?"

"Chip ini adalah rahasia besar yang nilainya milyaran dollar"

Sally menyerngitkan dahi. Ia masih belum mengerti apa yang direncanakan Kakaknya dengan chip itu.

"Ah sudahlah! Aku akan mencari Tommy"

...***...

✅catatan author.

Bagi yang masih bingung, tetap baca terus ya..nanti kebingungan kalian akan terjawab di episode episode selanjutnya.

selamat membaca. ❤️

T I G A

Sally menatap nanar asap yang mengepul dari cangkir kopi di depannya. Hujan masih turun walau rintik-rintik. Hanya ada lima orang pengunjung di Cafe ini. Semuanya laki-laki kecuali Sally. Dua orang duduk di depan mini bar, sisanya duduk sendiri-sendiri di dekat pintu masuk. Sally sendiri memilih duduk di pojok Cafe di samping jendela.

Cuaca malam ini begitu dingin hingga Sally sengaja tidak melepas coat yang dikenakannya. Sally termasuk jenis manusia yang tidak tahan udara dingin.

Seorang wanita berbadan tambun datang menghampiri Sally. Dia membawa piring berisi Samosa. Ia adalah pemilik Cafe, Miss Rossy, begitu ia dipanggil. Dia sudah mengenal Sally berpuluh tahun lamanya. Miss Rossy juga adalah teman sekolah Vollary, Ibu Sally.

"Aku rasa kau harus memakan sesuatu, Sayang!" Ujarnya lembut. Sally melihatnya lalu tersenyum. Caranya menyuruh Sally makan tidak berubah sejak dulu.

"Aku sangat beruntung, hari ini kau memasak Samosa. Sungguh sesuatu yang langka bisa mendapatkan makanan ini di Cafe mu, Miss Rossy"

"Kau harus sering berkunjung kesini. Oh ya, Kudengar Tommy..."

"Tommy baik-baik saja" Sally memotong dengan cepat ucapan Miss Rossy.

"Begitukah? Aku juga berharap semua pemberitaan di televisi itu tak benar."

"Oh ya Miss, Boleh aku minta segelas air putih?"

Miss Rossy mengangguk lalu segera pergi meninggalkan wanita bermata coklat itu. Sally menyuapkan beberapa Samosa yang disajikan Miss Rossy di mulutnya. Rasanya begitu enak atau mungkin Sally memang benar-benar lapar, sehingga tidak lebih dari lima menit sepiring Samosa itu telah habis dilahapnya.

Sally sedang membersihkan sisa Samosa di jarinya ketika tiba-tiba seorang laki-laki berdiri di depannya. Sally memicingkan mata berusaha mengenali wajah laki-laki itu. Jenggot dan kumisnya begitu tebal hingga Sally bahkan nyaris tak mengenalinya. Laki-laki itu lantas duduk di depan Sally. Melepaskan Coat-nya dan memanggil Miss Rossy.

"Expresso, double shot. Kalau bisa tolong beri sedikit kayu manis. Apa kau punya Sandwich? Aku pesan satu, dan jangan pakai tomat. Oh ya, segelas air putih"

Miss Rossy mengangguk lalu pergi. Sally masih belum berkedip melihat pria itu. Bukan karena dia terlihat tampan –dan sebenarnya memang tampan- atau senyumnya yang begitu menawan, tapi Sally benar-benar tidak percaya pria itu hadir di depannya.

"Kau.. kau..Bagaimana kau masih hidup?" tanya Sally dengan terbata-bata.

"Apa kau ingin aku mati?" suaranya terdengar lebih berat dan pelan.

"Roman, apa benar ini kau?" tanya Sally sekali lagi. Roman tertawa terbahak. Membuat beberapa pengunjung menoleh kearahnya.

Sally segera bangkit dari tempat duduknya, menghampiri dan meraih tubuh Roman. Ia lalu memeluknya dengan erat. Roman yang kaget hanya bisa menepuk lembut punggung Sally. Mencium aroma rambutnya yang lembut. Dan merasakan hangat tubuhnya. Sangat menyenangkan rasanya tahu bahwa Sally mengkhawatirkannya.

"Aku sangat menghawatirkanmu, Rom. Aku pikir kau telah mati setelah kakak menembakmu. Aku tidak ingin kehilangan orang yang kucintai lagi."

Roman terdiam. Menghentikan tepukan lembutnya. Hatinya tak karuan. Di satu sisi dia bahagia Sally menganggapnya sebagai orang yang dicintai, di sisi lainnya Roman merasa bahwa Sally masih belum bisa melupakan Ben.

Lagi? Apa dia benar-benar mengatakan ‘lagi..’? Apa dia serius dengan kata itu?

Roman menggumam dalam hati. Dan kali ini, rasa cemburu Roman yang menang. Roman tidak ingin menjadi orang nomor dua. Apalagi menjadi pengganti orang yang sudah mati. Dia melepas pelukan Sally dengan pelan. Sally tersadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Dia kembali duduk dengan kaku.

"Kau masih belum merelakan kepergian Ben?"tanya Roman datar.

"Ya. Setelah hampir 3 tahun sejak dia ditemukan tewas, aku masih ingin menemukan pembunuhnya"

Roman tak bereaksi. Roman cemburu dan marah. Pandangan Sally masih menelanjangi Roman. Seolah masih belum percaya bahwa lelaki tampan ini masih hidup. Tapi kenapa sejak kali pertama bertemu sampai hari ini pun Roman masih menanyakan perihal Ben. Padahal suaminya itu telah meninggal 3 tahun yang lalu.

“Ngomong-ngomong Bagaimana kau tahu bahwa ini aku, Sal?”

“Iya, meskipun mataku agak sedikit terganggu karena rambutmu yang acak-acakan dan wajahmu yang terlihat lebih dewasa dengan kumis dan jenggotmu itu, aku masih hafal dengan gaya tertawamu. Lagipula manusia mana yang malam hari memakan sandwich kalau bukan kau, Rom. Eh ngomong-ngomong sejak kapan kau menumbuhkan kumis dan jenggot? Bukankah kau sangat rapi?”

“Well, Aku mendapat promosi. Aku ditugaskan di reserse kriminal khusus saat ini. Aku diperbolehkan berpenampilan apa saja untuk menyamar. Terima kasih kepada kakakmu yang menembakku waktu itu. Tanpanya aku tak akan mendapat posisi ini”

Sekali lagi Roman tergelak dan Sally hanya menggigit ujung bibirnya. Dia masih belum percaya bahwa Roman masih hidup. Ada hal yang masih mengganjal pikirannya.

"Apa kau ragu?" tanya Roman.

"Ah tidak. Selamat atas promosi yang kau dapatkan. Kau ingin menangkap ku malam ini?"

Roman menggeleng.

"Apa kau sengaja mengikutiku?" Sally mengangkat satu alisnya. Bukankah terlalu kebetulan mereka bertemu di cafe malam hari yang dingin seperti ini.

"Ya, aku melihatmu keluar dari galeri seni Bach lalu kau kesini. Apa yang kau lakukan disana?"

"Aku hanya melihat-lihat lukisan. Salah satu lukisan Tommy ada disana"

Mendengar jawaban itu, Roman menatap Sally dengan serius.

"Kenapa? Apa kau menuduhku mencuri barang seni disana? Itu galeri seni milik ayahku."

"Kau sudah sangat kaya raya untuk menjadi pencuri. Lalu kenapa kemarin kau membuat ricuh Bank Central? Apa yang kau ambil dari sana?"

"Apa kau punya bukti aku mengambil sesuatu?"

Roman terdiam.

"Ah aku lupa. Kau hampir menembakku kala itu"

"Aku tak bermaksud melakukannya."

"Tak apa. Itu memang tugasmu."

Roman menelan ludah. Wanita di depannya saat ini adalah seseorang yang ada di dalam daftar tugasnya. Nama Sally ada di daftar penjahat yang harus diselidiki Roman, setelah Kenneth Wilder tentunya.

Namun ia masih juga terjebak pada perasaan yang ia miliki terhadap Sally. Sally adalah cinta pertamanya. Yang walaupun berulang kali ia mencoba untuk melupakannya, tetap saja nama wanita itu begitu nyaman mengendap di hatinya. Bahkan ia masih gugup ketika melihat wajah Sally, kapanpun ia menatap matanya.

"Ngomong-ngomong, kau masih tinggal dengan nenekmu?" Sally membuka Coat yang dipakainya.

"Tidak. Aku menyewa apartemen sendiri."

"Apa aku boleh kesana?"

"Tidak. Aku tak akan mengijinkan mu masuk."

Sally tertawa. Malam ini mereka asyik mengobrol dan menikmati waktu mengenang masa lalu.

...***...

Esok harinya.

Roman mengintip keluar jendela. Hujan turun cukup deras dan angin bertiup cukup kencang. Dilihatnya jam menunjukkan pukul 10 malam. Roman mengambil ponselnya. Membalas beberapa pesan yang belum sempat ia baca. Sebenarnya malam ini Roman berjanji untuk datang menemui Nenek Shia. Tapi melihat cuaca yang tidak memungkinkan, Roman terpaksa membatalkannya.

Roman beralih menatap laptopnya. Terpampang foto Thomas Wilder atau yang sering dipanggil Tommy. Bungsu Gregory Wilder yang menghilang sejak 3 bulan yang lalu. Tepat ketika ada pengeboman oleh gerombolan Kenneth. Sampai saat ini tidak ada seorangpun yang tahu dimana ia berada.

Tommy masih berusia 20 tahun. Dia adalah mahasiswa jurusan sejarah seni yang pendiam. Tommy memang berbeda dengan kedua kakaknya. Tommy sama sekali tidak tertarik dengan dunia mafia atau bisnis ayahnya yang lain. Dia tak pernah sekalipun terlibat dalam kejahatan yang dilakukan oleh kelompok ayahnya.

Tommy mewarisi paras ibunya. Rambutnya ikal berwarna coklat keemasan. Matanya hijau dan memiliki senyum yang mempesona. Tommy memiliki sifat yang lembut, sangat menyukai seni hingga Greg membuatkannya Galeri seni di pusat kota. Galeri Seni Bach.

Walau kabar hilangnya Tommy ditutup-tutupi oleh keluarga Wilder namun salah satu media pesaing Greg terus memberitakannya. Beberapa spekulasi muncul, bahkan kemungkinan Tommy diculik. Dan Roman mendapat perintah khusus untuk menyelidiki kasus hilangnya Tommy.

Kasus Tommy sangat menyita perhatian Roman. Karena sejak lama Roman sangat tertarik menyelidiki keluarga mafia itu. Rasanya ada yang janggal dengan kasus ini. Sangat aneh jika ada seseorang atau kelompok mafia, yang berani menculik anak ketua geng mafia yang sangat kuat. Itu seperti menggali kuburan sendiri. Bahkan polisi pun harus berpikir dua kali jika mereka ingin memenjarakan keluarga Wilder.

Semua bisa dibeli oleh Greg. Kalaupun tidak bisa terbeli, paling tidak mereka akan dimusnahkan. Dibunuh dan dibuang hingga tak ada yang mengetahui. Satu-satunya kekuatan yang bisa menandingi Greg adalah kelompok Vladimir Romusca.

Tapi sejak adanya gencatan senjata dan pembagian wilayah, tidak ada benturan apapun diantara keduanya. Kedua mafia itu sepertinya benar-benar tidak ingin mengulangi perang untuk kedua kalinya. Dan kasus ini membuat Roman stres bukan kepalang. Ia sama sekali tidak mempunyai clue tentang menghilangnya Tommy.

Ketika kemarin bertemu dengan Sally pun tidak banyak yang ia dapatkan. Sally tidak begitu suka menjelaskan perihal menghilangnya Tommy. Sally berkilah bahwa adiknya sedang sekolah di luar negeri.

Roman tentu saja tahu kalau itu kebohongan. Sally tidak tahu bahwa Roman tengah menyelidiki kasus adiknya.

Tok.. Tok..

Roman terkejut, lalu dengan spontan menutup layar laptop. Ia lantas bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu. Pintu kembali diketuk dengan cepat.

Roman mengambil pistol di laci meja di dekat pintu. Sebentar kemudian dia meletakkan telinganya di pintu. Mencoba untuk mendengar situasi di luar. Hening. Roman segera membuka pintu.

"Sally?" ucapnya terkejut.

"Apa aku boleh masuk? di luar dingin sekali"

Roman mengangguk. Sally menerobos masuk. Badannya basah kuyup. Mulutnya membiru karena kedinginan dan kedua tangannya menyilang memegang lengan. Rambut Sally tak lagi berwarna coklat seperti kemarin. Kali ini rambut itu berwarna hitam legam. Butuh waktu beberapa detik bagi Roman untuk menyadari perubahan Sally. Roman segera mengunci pintu dan menyembunyikan pistol dibelakang punggungnya.

"Apa kau punya shower air hangat?" Tanya Sally dengan gigi yang bergetar.

"Ah iya. Masuk saja, shower-nya ada di dalam kamar" jawab Roman dengan masih gugup. Sally tersenyum mengisyaratkan terima kasih.

"Oh ya Rom, seperti yang kau lihat, aku tidak membawa apa-apa. Jadi mungkin kau bisa menaruh pistolmu kembali karena aku sedikit terintimidasi"

Roman tertawa dengan kaku. Sally masih sama seperti dulu. Dia masih amat jeli melihat apapun yang ada di sekitarnya. Dia memang bukan wanita biasa. Kehidupan sebagai mafia mungkin membuatnya lebih berhati-hati.

Sepuluh menit berlalu dan Sally masih belum keluar dari kamar mandi. Roman mondar mandir masuk kamar, seolah ia salah tingkah dengan apa yang dia lakukan. Hingga akhirnya memutuskan untuk duduk dengan kaku di pinggir ranjang sambil memainkan ponselnya. Roman gugup untuk kesekian kalinya.

Tak lama kemudian, Sally keluar kamar mandi dan sangat terkejut mendapati Roman di dalam kamar. Bukan hanya kikuk karena dia hanya mengenakan lilitan handuk untuk membungkus tubuhnya, tetapi juga terasa aneh berdua dalam kondisi seperti ini.

Namun entah kenapa Sally merasa ini jauh lebih baik daripada harus tinggal sendiri di rumahnya dengan bayang bayang Tommy yang masih belum ditemukan. Sally membutuhkan teman. Ayah dan Kakaknya hampir tak bisa ditemui. Entah sedang berada dimana mereka sekarang. Semua orang sibuk mencari Tommy.

“Aku hanya ingin menawarkan apa kau mau memakai bajuku, ya..kulihat kau tidak membawa apapun untuk kau pakai. Bajumu tadi masih basah kan?” Tanya Roman dengan sangat hati-hati.

“Kau boleh meminjamiku baju olahraga sekolah kita dulu. Aku rasa aku masih muat memakainya” Jawab Sally dengan terbahak.

“Aku tidak yakin, karena kulihat kau lebih gemuk sekarang” Roman tersenyum menggoda sambil membuka lemari. Sally menyipitkan mata sembari memanyunkan bibirnya.

“Mungkin kau akan lebih nyaman dengan sweater ini, aku membelinya dari gaji pertamaku” Ujar Roman sambil menunjukkan sweater berwarna abu-abu bertulisan Police Academy. Sally terbahak.

“Bukan sweater yang buruk” jawab Sally.

Roman menghampiri Sally yang terdiam memegang ujung handuk agar tidak terjatuh. Handuk yang ia kenakan terlalu kecil untuk dililitkan. Sally tak berkutik, tangannya meremas ujung handuk lebih keras lagi. Mata mereka beradu. Saling menatap dengan rasa yang aneh.

Roman menaruh sweater di sisi ranjang lalu meraih wajah Sally dengan kedua tangannya. Menatapnya jauh lebih dalam. Sally menahan nafasnya lebih lama.

"Kau baru saja berkelahi? pelipismu terluka."

"Oh tidak Rom, aku hanya terjatuh dari tangga." Jawab Sally.

"Ayolah Sally, aku seorang polisi. Jangan membohongiku! Akan kuambilkan plester, tunggulah sebentar!"

Roman berniat melepaskan jemarinya dari wajah Sally namun tiba-tiba wanita itu menahannya. Membuat Roman merasakan tangannya tergenggam erat tangan dingin Sally.

"Rom.. aku tidak apa-apa"

Roman menggeleng pelan, "Bisakah kau menurut denganku kali ini?” Sally tertawa kecil mendengar pertanyaan Roman. Ia akhirnya menurut juga. Roman keluar kamar mengambil obat. Sally meraih sweater diatas ranjang dan mulai melepas handuknya.

Tak lama kemudian Roman datang dan menjumpai Sally telah duduk diatas ranjang dengan sweater yang nampak kebesaran. Ia tersenyum malu. Roman mendekatkan diri. Dengan telaten ia menutup luka Sally dengan kapas dan plester. Sally nampak meringis menahan perih.

“Terima kasih. Kurasa hujan telah reda. Aku pamit pulang ya?"

Roman terdiam sejenak. Ia jelas tak menyukai kalimat itu, ia ingin lebih lama bersama Sally.

"Tinggallah disini! Aku khawatir dengan keadaanmu. Lagipula ini sudah sangat larut. Atau kau ingin kuantar sampai rumahmu?"

Sally menggeleng. Ia sebenarnya ingin menginap di apartemen Roman. Kejadian yang baru saja ia alami membuatnya merasa tidak aman jika harus memaksakan diri keluar ke jalanan. Namun, ia merasa canggung.

"Kemarin kau bilang aku bahkan tak boleh masuk apartemen mu?" goda Sally.

"Aku hanya bercanda. Kau boleh selamanya tinggal bersamaku" Roman mengerlingkan mata. Wajah Sally memerah mendengarnya.

Roman berdiri dari duduknya, lalu menaruh kotak obat di meja samping ranjang. Ia kemudian mengambil selimut dari dalam lemari.

“Tidurlah disini, aku akan tidur di sofa ruang tamu. Kalau kau butuh apa-apa panggil aku saja” Roman melihat Sally yang tak bereaksi dengan tawarannya. Ia pun melangkah keluar kamar dan menutup pintu.

“Rom..” suara Sally terdengar sangat pelan namun Roman sangat jelas mendengarnya. Ia menghentikan langkahnya.

“Maukah kau tidur disini bersamaku?”

Roman mencerna dengan cepat kata-kata Sally, lalu perlahan menghampirinya. Berusaha untuk mencari kepastian dari apa yang didengarnya tadi. Jangan-jangan itu hanya ilusi pendengarannya saja.

Namun Sally nampak serius mengucapkannya. Sally merebahkan tubuhnya disisi kiri ranjang. Roman –dengan ragu-ragu- ikut merebahkan tubuhnya disisi lainnya. Untuk beberapa waktu mereka terlentang dengan sangat kaku. Hingga akhirnya Sally memutar badan menghadap Roman.

"Kenapa kau seperti menghilang setelah aku menikah dengan Benjamin?" tanya Kinan membuka pembicaraan.

"Aku hanya sibuk." kilah Roman.

"Apakah kau punya kekasih?"

"Oh aku punya banyak sekali."

Kinan tersenyum simpul. Jawaban Roman terdengar hanya bualan. Sebenarnya Sally bisa merasakan perasaan pria itu. Namun ia selalu mencoba untuk menampiknya. Terlebih ketika ia berpacaran dengan Benjamin, lalu menikah dengan pria itu.

“Aku benar-benar ketakutan ketika kau tertembak. Aku sering melihat orang mati tapi ketika itu menimpa orang yang dekat denganku, Itu sangat mengerikan. Aku merasa bersalah. Dan ketika kau menemuiku di Cafe, aku sangat bahagia. Aku sangat bersyukur karena itu. Dan…..” Sally menghentikan ceritanya.

“Dan?” Roman melirik Sally.

“Dan terima kasih karena kau masih hidup saat ini.”

"Kau... mengerti perasaanku, kan?" ucap Roman dengan menatap wajah Sally lekat-lekat. Sally mengangguk.

"Aku menyukaimu sejak kecil. Dan sampai saat ini perasaan itu masih bertahan di hatiku."

"Bolehkah aku membalas perasaanmu itu malam ini?"

Sally tersenyum puas mengatakannya. Roman meraih wajah Sally. Ia tak bisa lagi menahan keinginannya untuk mencium gadis yang ia cintai sejak lama itu. Sally pun membalasnya dengan pelukan yang sangat erat. Malam ini ia hanya ingin bersama dengan Roman.

...***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!