Jalanan begitu sepi beberapa rute telah diblokir oleh para bawahan Adly dan Zian, mereka kini sedang terdiam duduk. Hanya saja sebuah sinyal keluar menandakan kalau sudah dimulai, mereka berdua sontak berdiri dan melihat dengan teropong jarak jauh. Ada ayahnya Rani membawa sebuah barang.
Adly menatap barang itu dengan tajam, "Benda apa itu ?"
"Mungkin bom atau semacamnya, karena dilihat dari situasi.. dari semua pengalaman kita saat menjalankan misi itu kemungkinan terbesarnya," jawab Zian sambil menembak sesuatu. Tembakannya terkena ke sebuah papan iklan, papan itu terjatuh dari atas membuat kegaduhan yang cukup keras.
Grup ayah Rani kaget, mereka mulai berhati-hati dan waspada terhadap apa yang akan terjadi. Kedua belah pihak ingin menggunakan cara lembut, tapi keadaan memaksa mereka untuk kekerasan. Semua mengangkat senjata mereka, pertempuran terjadi.
Ryan dan Vina bernapas lega karena rencana Zian berhasil, mereka sekarang memojokkan ayahnya Rani itulah uang dipercaya olehnya. Tapi... Ryan memegang tangannya Vina membuatnya memerah, mereka terdiam lama tapi Ryan membuka mulutnya terlebih dahulu.
Matanya melirik pada wajah Vina, "apa kamu yakin ingin berkorban ?"
"Ya aku yakin, dan apa aku boleh jujur ?"
"Tentu saja, apa yang ingin kamu katakan. Aku cukup penasaran."
"Aku cinta kamu," Vina menundukkan kepalanya dengan malu. Ryan yang mendengar hanya terdiam, dia tersenyum dan menyender pada gadis itu mengucapkan perasaannya juga. Dia menerima perasaan itu padanya, mereka saling tertawa tapi rasanya menyakitkan bagi seseorang melihatnya.
Disebuah gang ada gadis yang sedang memperhatikan mereka, rambutnya terurai oleh angin dan ikat rambutnya dia lepas. Segera pergi dengan berlari sembari menangis, tidaklah menyangka kalau pendonor organ itu adalah sahabatnya dan sekarang itu bukanlah hal yang mungkin untuk mencintai Ryan.
Mereka baru saja saling mengungkapkan perasaan, Rani sangat hancur dan pergi berlari menuju rumahnya. Tetapi dalam perjalannya ke rumah dia melihat ayahnya yang sedang diborgol oleh Adly, ayahnya menghela napas dan anaknya mendengarkan pembicaraan mereka.
Ayah Rani tersenyum, "tidaklah menyangka aku kalau akan dipenjara oleh bawahan ku sendiri. Lalu rencanaku gagal."
"Kau ingin membuat seolah kecelakaan lalu setelah Vina sekarat organnya akan dicangkokkan pada Rani, begitu ? Hah.. lebih baik biarkan Vina memikirkan dulu, apakah dia mau mati atau tidak. Itu pilihannya dan setiap manusia punya hak masing-masing, kau tidak bisa mencabut hak hidup seseorang."
"Memang ini salah siapa ? Aku begitu bingung..."
"Itu salahmu!" Bentak Adly dengan marah. Tidak lama dia membawanya pergi, Rani yang melihat ayahnya melakukan kejahatan walau demi dirinya tetap saja perasaannya campur aduk saat ini. Gadis itu pergi dengan langkah yang terhuyung-huyung seperti mabuk.
Entah dia ingin kemana tetapi saat ini yang ingin dilakukan olehnya adalah sendiri saja merenungi apa yang terjadi. Disaat semuanya sedang bicara tentangnya baik-baik, Rani malah pergi ke tempat yang sangat sepi yaitu Kuburan. Duduk di kursi sambil menatap langit, dia menunjuk sebuah awan dan memainkan jarinya.
Belakangnya ada seseorang yang sedang merangkai bunga, tapi sadar dia kalau ada seseorang yang diam dikursi duduk. Berdiri dia menghampiri orang yang duduk dan melihat seseorang yang dikenal olehnya, langsung ingin menyapanya.
Wajahnya pucat dengan mata sayu, "andaikan aku hidup kayak awan.. bisa terbang dan berbentuk bebas."
"Jangan mau jadi awan, awan itu bakal jadi air dan buat kayak nangis."
"Widya... ? Aku gak paham kamu ngomong apa," jawab Rani dengan wajah yang sama. Gadis itu duduk di sampingnya, mereka bicara satu sama lain dan Rani menceritakan semuanya yang terjadi. Widya mendengarkan dengan seksama sambil berpikir kalau Zian memakai cara yang efektif.
Widya sebagai temannya Rani merasa agak heran karena sifatnya yang dikatakan sopan, baik, dan selalu tersenyum bisa begini. Hanya saja sekarang mau bagaimana sekalipun, rencana Zian berhasil membuat Rani sakit hati dan membuatnya akan menerima organ dari Rani.
Walau dia tidak yakin, karena Zian dan Adly sudah berpengalaman dalam hal ini tapi Rani berbeda, dia tetap takkan menerima organ itu. Itulah yang dipikirkan oleh Widya, tidak masalah kalau menggunakan rencana ini karena Zian adalah seseorang yang pintar dan jenius terlebih lagi terkadang terlalu ceria.
Menghembuskan napas, dia memeluk Rani dengan erat karena tahu pasti sedih baginya. Kalau dia ada dalam posisi Rani, pasti akan mengalami hal yang sama dan melakukan hal yang sama. Diwaktu yang sama Adly sedang lihat mereka berpelukan, semuanya telah selesai tapi hanya Rani yang merasakan rasa sakit.
Vina begitu bimbang dan Ryan begitu juga sama mereka sedang duduk disebuah taman berduaan tapi bukan sekedar duduk. Mereka sedang membicarakan soal bagaimana caranya meyakinkan Rani untuk menerima organ Vina, walau gadis itu masih takut untuk menghadapi kematian.
Dalam waktu yang sangat terbatas ini besok mereka akan meyakinkan Rani dengan terang-terangan, karena tugas Adly dan Zian untuk memberitahu anaknya soal apa yang ingin dilakukan ayahnya. Namun, rencana itu sedikit mengalami perubahan karena Rani tahu dengan sendirinya.
Ryan menghela napas panjang, ".. apa kamu yakin ? Tidak takut ?..."
"Ya kuharap juga akan sama kamu terus."
"Aku juga gak tahu bagaimana nantinya kalau kita udah mati."
"Kamu takut, aku juga sama tapi semuanya tergantung ke kamu," ujar Vina dengan senyum terukir di wajahnya. Mendengar hal itu wajah Ryan memerah, mereka menunduk dengan cukup lama kemudian seseorang lewat dan memberikan aba-aba pada mereka. Salah satu bawahan Zian memberi tahu mereka kalau semuanya selesai.
Setelahnya mereka menghembuskan napas lega karena sudah berakhir, ingin segera pulang Ryan hendak pulang tapi Vina menghentikannya. Meminta agar berkunjung ke rumahnya Ryan mengangguk pelan. Melihat ke tempat orang tadi berdiri, ternyata ia sudah pergi dari tadi.
Vina menatap tempat itu agak lama, "dia pergi dengan cepat tanpa kita ketahui."
"Bahkan langkah kakinya tidak terdengar, memang padukan khusus negara sekali."
"Buat apa mikir itu ?! Nah, kita pulang aja ke rumah aku... Sekalian makan!" Ucap Vina dengan semangat seraya menarik tangan Ryan. Mereka berlari menuju rumah gadis itu dengan senyum seakan tidak memperlihatkan perasaan mereka.
Hari berakhir dengan kemenangan Adly dan Zian, hanya saja atasan mereka memberikan hukuman karena tidak mematuhi aturan. Membunuh ayahnya Rani, karena itu adalah mutlak perintah dan malah melindunginya. Itu dianggap sebagai kejahatan.
Maka dari itu mereka sedang diamankan oleh beberapa orang, semua perlengkapan tempur diambil dan mereka pergi dengan mobil untuk tahanan. Walau hanya beberapa hari tapi tempat itu sangat menyiksa, tidak ada yang mampu bertahan lama dengan kekuatan mental yang kecil.
Kebanyakan orang akan bunuh diri tapi bagi Adly pemandangan pembantaian itu sama sekali tidak menyeramkan atau apapun, malah itu sudah biasa baginya. Manusia terkadang membunuh tanpa alasan yang jelas, itu yang sedang dipikirkan olehnya saat mau dibawa ke tempat itu.
Sebuah tempat di mana hukum mati dijalankan dan banyak teriak keputusasaan dari para penjahat yang sudah tertangkap, bahkan hukuman mati sangat ringan bagi para pemerintah. Jujur saja itu sangat tidak berperikemanusiaan bagi banyak orang, termasuk mereka yang sedang duduk terdiam dengan senyuman.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Zahra Fitria
7
2021-05-25
0