Angka 28 adalah yang paling dipikirkan oleh Ryan saat ini tapi dia mau melupakannya sejenak dan menulis pesan pada satu kelas, ada banyak kata maaf serta ajakannya pada banyak orang. Itu membuatnya berdebar tapi pertama kalinya penyakit itu tidak kambuh, dia sekarang senang akan hal ini.
Beberapa orang menanggapinya dengan senang karena Ryan mau bertemu dengan mereka, walau ada kesedihan dalam perasaan senang tersebut dan tidak ada yang menyangka kalau lelaki sebaik Ryan memiliki penyakit itu. Itu pukulan telak bagi semua temannya itu.
Sore ini Ryan mengajak mereka semua untuk pergi ke taman hiburan, dia mengeluarkan banyak uang untuk ini dan beberapa temannya juga menyarankan untuk pergi berkemah. Itu bagus menurut Ryan, guru juga mengatakan akan ikut membuatnya senang.
Tidak lama pintu diketuk terdengar suara yang memanggil nama Ryan berkali-kali seakan panik, Ryan menghampiri pintu dan melihat kalau Rani sedang ngos-ngosan... Ada Vina bersamanya..
"Vina, Rani, apa yang kalian lakukan dan kenapa kalian kecapekan gitu ?" Tanya Ryan yang melihat mereka sangat kecapekan. Vina menyeka keringat yang ada di dahinya, dia mulai menjawab pertanyaan Ryan barusan.
Vina menjawab sambil terengah-engah, "Rani menarik... aku sampai kemari..."
"Kalau begitu masuklah dulu, apa kalian ingin minum sesuatu ?"
"Air putih saja."
"Aku mau teh hijau saja," kata Vina sambil menarik napas panjang. Ryan mengajak mereka masuk terlebih dahulu, dia pergi ke dapur dan membawa air putih segelas untuk Rani. Sedangkan Vina belum dibuatkan, Ryan pun pergi lagi ke dapur.
Dia mengambil teko lalu memasak air karena air panas sudah habis, matanya sesekali melihat ke ruang tengah memperlihatkan kedua gadis sedang duduk di sofa dan mereka sadar akan tatapan Ryan, Ryan yang menyadarinya juga memalingkan wajahnya.
Menyeduh teh untuk Vina yang sedang duduk, dia membawakannya dua satu untuknya dan saat Rani sedang melihat ke arahnya. Dia berdiri kemudian memberikan sesuatu pada Ryan, tangan lelaki itu menyimpan teko dan nampan dulu di atas meja.
Setelah menyimpan sajian minuman itu dia mengambil sebuah kertas yang diberikan Rani padanya, dia membukanya dan melihat ada sebuah tulisan tagihan listrik.
Secara tidak langsung Ryan heran dan bingung tampak sesekali dia melihat ke Rani, sedangkan gadis itu hanya memerah saja...
Ryan bertanya dengan wajah yang bingung, "Tagihan listrik apa ini ?"
"Tagihan ?!" Ucap Rani kaget. Sekaget-kagetnya dirinya, dia mengambil kertas itu dengan tenaga hampir membuat Ryan terjatuh dan saat Rani melihatnya dengan mata kepalanya sendiri dia malu karena membawa surat yang salah.
Gadis itu duduk lagi dengan ekspresi yang sangat begitu kecewa dicampur dengan rasa malu, sedangkan Vina hanya meneguk tehnya dan tidak mengetahui apa yang terjadi. Dia melanjutkan kembali tegukan tehnya.
Melihat kedua gadis yang bersamanya, Ryan bertanya pada mereka ada apa gerangan mereka datang padanya.
"Memang ada apa kalian datang padaku ?" Tanya Ryan pada mereka berdua. Mendengar pertanyaan dari Ryan, Vina menatap tani yang sedang menunduk malu dengan wajah memerah. Bahkan mungkin dalam imajinasi Vina, dia pikir kalau sekarang ini Rani akan meledak karena malunya.
Vina menghela napas, dia menendang kaki Rani membuatnya mengangkat wajahnya melihat Ryan yang sedang berdiri dan serentak membuatnya kembali menunduk lagi...
"Pushhuuu~!" Vina mengejek Rani dengan menirukan suara itu. Ryan yang merasa heran langsung bertanya padanya, "Hmm.. ? Apa itu, Vina ?"
"Mungkin dia akan meledak malu karena membawa surat yang salah!" Jawab Vina dengan bangga sambil membusungkan dadanya. Dia sekarang meneguk tehnya kembali, saat Ryan lihat teko yang sudah hampir kosong membuatnya tidak terkejut lagi, walau teh itu baru diangkat dari kompor.
Menghembuskan napas Ryan duduk, dia membicarakan soal liburan yang mau dilakukan olehnya dan tentu saja mereka memutuskan untuk ikutan. Setidaknya hanya itu yang bisa dilakukan oleh Vina, dalam hatinya dia sangat sedih akan kepergian Ryan nantinya.
Banyak orang yang mengharapkan suatu kejadian yang ajaib, seperti datangnya obat yang bisa menyembuhkan Ryan dan sebagainya. Namun saat itu sangatlah mustahil, karena tidak ada satu dokter sekalipun yang bisa memecahkan masalah ini.
Vina membuka mulutnya, "Lalu sore ini ya dan bukannya Rani itu takut air ? Ah, saat SD dia merengek tidak mau ke kolam renang sampai diseret oleh guru."
"Hentikan!" Bentak Rani dengan cemberut mengembungkan pipinya. Kini Ryan bisa tertawa lagi, senyum yang lama hilang terukir lagi dan dia begitu senang karena mengiyakan saran dari Adly yang sangat besar jasa baginya.
Namun dalam pikirannya dia sedang memikirkan remaja itu, apakah dia tidak menderita ? Dan sebagainya. Itu sangat menyakitkan, tetapi Adly bisa mengahadapi dengan lapang dada membuatnya begitu kagum padanya.
"Hey Rani, apa kamu tahu soal remaja yang namannya Adly yang rambutnya putih itu loh."
"Oh, dia mewarnai rambutnya dan dari lahir pupil matanya merah loh.."
"Bukan penampilannya tapi sesuatu yang lain ?" Tanya Ryan dengan penuh rasa penasaran yang sangat meronta-ronta. Rani hanya menggelengkan kepalanya, dia sama sekali tidak tahu soal masa lalu Adly karena mereka hanya teman biasa saja dan dia memiliki hubungan bisnis dengan ayahnya.
Menoleh pada jam dinding, Ryan mengatakan kalau sebentar lagi jam 2 sore waktunya untuk berangkat ke kolam renang. Walau akan ditutup jam 5 sore, Ryan ingin menggunakan kesempatan ini untuk bermain bersama temannya.
Rani yang ingin membantunya untuk bersiap ditolak, dikarenakan Ryan sudah menyiapkannya dan tinggal ganti baju lalu pergi saja. Dia tahu kalau berenang sore hari itu cukup baik, hanya saja walau Ryan menegaskan kalau tidak ada paksaan semua temannya kau ikut.
Termasuk ketua kelas dan gurunya yang pasti sibuk, dia meluangkan waktu untuk menghabiskan waktu sebentar bersama muridnya...
Ryan bicara, "Semuanya pasti akan bersenang-senang."
"Ah ya benar itu pasti karena waktumu sebentar lagi, aku jujur sangat sedih..."
"Oi oi Vina, jangan mengungkitnya!" Bentak Rani dengan cukup keras. Keheningan pun tercipta dan mereka tidak saling bicara, tidak lama setelah selang beberapa detik Vina angkat bicara.
"Ini adalah kenyataan, kebohongan yang manis akan menghabisimu pada akhirnya sebaiknya sakit sekarang daripada nanti takkan pernah bisa melenyapkan rasa sakit itu."
"Kau begitu.. memang benar," kata Ryan sambil duduk dan mengepalkan kedua tangannya. Dia menunduk dengan wajah yang takut, keringat mengalir dari dahinya dan sebuah senyuman terukir dengan ramah begitu juga bersamaan dengan mengalirnya air matanya.
Dia ternyata tidak takut mati tapi takut kehilangan kesenangan, candaan, dan sebagainya saat bersama teman-temannya. Tahun-tahun berlalu Ryan hidup tanpa tawa, tapi setelah mendapatkan sesuatu yang berharga itu dia tidak ingin melepaskannya tapi sebentar lagi dia mau tak mau harus merelakan semuanya.
Rani berdiri dari tempatnya, dia hendak bicara tapi Vina menghentikannya karena tahu apa yang akan dibicarakan oleh Rani. Wajahnya begitu suram, dua kelihatan tidak ingin sampai Ryan pergi. Dia pun memalingkan wajahnya...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Zahra Fitria
09
2021-05-25
0