Semuanya terdiam dengan keheningan yang begitu besar seakan semua telah berakhir dengan hanya sebuah kertas, beberapa saat setelahnya ayah Ryan pergi bersama wanitanya dan mereka melewati Ryan seperti bukan siapa-siapa tanpa mengatakan sepatah kata sekalipun.
Setelah itu Ryan sama sekali tidak keluar dari kamarnya hanya terdiam dengan cukup lama, pikirannya kotor saat ini. Seluruh temannya sangatlah cemas, mengingat kalau sudah beberapa hari remaja itu mengurung dirinya.
Namun sadar tidak sadar, kalau waktu Ryan hidup hanyalah 20 jadi lagi. Tidak ada yang sadar itu selain Fauzan dan Adly yang berada di tempat itu...
"Kak Tedy belum berubah ya!"
"Jangan mengejek, aku mohon! Itu candaan pas SMP bukan ?"
"Hehhh begitu yah..."
"Kau serius pada orang lain tapi pengecualian terhadap diriku kah ?" Tanya Adly dengan ekspresi yang sangat buruk. Fauzan hanya tersenyum saja menghadapinya sedangkan semua orang melihat mereka berdua seakan tidak mungkin, terlebih lagi wajah Widya yang sangat terlihat jijik.
Orang itu dikira psikopat karena sifatnya, orang yang itu sopan dan ramah.. bukannya itu sangatlah mencurigakan ? Tidak, semua orang pikir mereka akrab tapi mana mungkin mereka pembunuh atau semacamnya, bukan.
Beberapa saat Adly mengeluarkan sebuah pisau, bukan sepenuhnya pisau tapi belati yang sangat kelihatan tajam dan berwarna merah kehitaman...
Adly menggaruk kepalanya sambil tersenyum masam seakan menahan amarahnya, "Oh ngomong-ngomong ini darah asli, walau dari hewan buas... Aihh aku kecewa.."
"Hewan buas... Dia hanya mengatakan 'aihh' saja ? Bukannya itu keterlaluan!" Kata Ryan yang sedang berjalan ke arah mereka. Serentak mereka kaget melihatnya yang sangat pucat, Rani lah yang pertama datang padanya dan memeluknya.
Sesaat setelah pelukan itu, Vina memalingkan matanya dengan wajah yang kelihatan marah pada sesuatu. Sedikit wajahnya memerah, apa itu yang dirasakan oleh Ryan saat ini ? Mana ada yang tahu. Karena dia bukan anak yang payah, tetapi seseorang yang berani yang mau berdiri di depan kematian.
Zian bertanya, "kenapa kamu keluar ? Kenapa hanya saat kak Ted--- maksudku Adly bicara, kamu keluar ?"
"Anu.. bisakah hentikan panggilan kak Tedy itu ?"
"Hey sudahlah, kurasa itu cukup bagus karena kau sekarang yang kelihatan bengis kayak.. umm.. beruang yang kelihatan kejam tapi baik."
"Daripada itu, bagaimana kalau kita membicarakan otakmu aku jadi---!"
"Sudah-sudah! Kita main saja yuk!" Kata Widya dengan panik dan senyum masamnya, tangannya itu menyumpal mulut Adly dengan tangannya. Lelaki itu merasakan kalau gadis ini ingin memilikinya apapun yang terjadi, walaupun setelah ditolak atau melakukan apapun percuma.
"Dasar masokis!" Ucapnya dalam hati sembari didorong masuk olehnya, tetapi beberapa saat mereka melihat kalau ada baju yang penuh darah sontak Ryan berlari dan membuangnya keluar dari jendela.
Ryan berpikir kalau mereka akan merenungkan hal ini tetapi tidak sama sekali, sekarang mereka tersenyum dan duduk di sofa. Ryan yang melihatnya langsung senang, dia mulai duduk bersama teman-temannya dan mengobrol seperti biasanya. Walau yang agak berbeda hanyalah jumlah orang, itu sangat membuatnya senang.
Sebelum keluar dari rumah, dia hanya lihat dari jendela kamarnya dan melihat kalau teman-teman yang sudah dianggapnya sebagai keluarga itu sedang berdiri di halaman. Wajah mereka menandakan seseorang yang cemas, tetapi Ryan gemetaran saat ingin bertemu dengan mereka.
Mengingat surat yang diberikan padanya saat itu, itu sangat membuat serangan yang membekas dalam hatinya. Sungguh menyeramkan... Melihat surat itu, isinya, judulnya, dan segala yang ada dalam sebuah kertas itu. Menurutnya pribadi kalau ayahnya itu bukan manusia.. tidak, bukan ayahnya lagi mau sebagai status ataupun ikatan darah.
Tetes demi tetes air matanya terjatuh hanya menggalakan luka semata, ketika dia sedang kesakitan dan ayahnya sedang bersama wanita lain yang hanya tidak peduli padanya.
Namun saat mendengar suara Adly, dia langsung teringat perkataanya membuat dirinya tersadar dan kini dia memasang senyuman...
Dia beranjak turun dari kasur, "Ya! Aku gak boleh keluar dari rumah dengan tanpa senyum! Walau aku tidak yakin...!"
"Hey lihat... Itu Ryan!" Kata Rani sambil datang padanya. Wajah gadis itu memerah dan saat itupun Ryan tidak tersenyum mempertahankan senyum itu sudah baginya, walau hanya tersenyum saja sangat sulit dilakukan dalam berbagai keadaan.
Kini mereka semua sekarang sedang bicara satu sama lain, hanya saja seseorang yang memiliki nama Vina hanya terdiam. Dia tidak lama berdiri lalu menarik tangan Ryan, mereka pergi ke dapur dan wajahnya Vina sangatlah merona merah.
Nafasnya tidak teratur, Ryan sempat berpikiran aneh tapi membuangnya jauh-jauh dan setelah selang beberapa lama mulutnya terbuka..
Dia menundukkan kepalanya, "Rani memiliki heartlosive juga..."
"Ahaha.. kamu biasanya jarang bercanda, deh!" Ucap Ryan sambil tersenyum masam. Dia dalam keadaan yang sangat takut kalau disisi lain Vina benar atau gadis yang berada di depannya ini sedang bercanda, karena keduanya juga sangat mengerikan.
Tangan Ryan kini melemas dengan cukup lama sampai dia menghembuskan napas, melihat ke arah pintu dan sekitarnya tidak ada yang menguping pembicaraan mereka. Dia akhirnya bertanya pada Vina, apa yang dimaksud olehnya.
Vina setelahnya menjelaskan kalau mereka memiliki golongan darah yang sama, hampir juga banyak kesamaan dalam tubuhnya. Yang paling berbeda hanyalah soal Vina tidak memiliki penyakit itu, sedangkan Rani memiliki pengecualian untuk penyakitnya.
Setahun sekali merasakan sakit, atau paling tepatnya adalah setengah dari penyakit heartlosive yang berasal dari ibunya. Namun, karena ibunya juga melakukan operasi makanya bisa setengah penyakitnya. Walau kemungkinan besar Rani bisa disembuhkan, hanya ada satu cara...
"Golongan darah sama ? Kesamaan ? Setengah penyakit ? Kalian... Ahaha.. kau tidak merencanakan..."
"Benar, organ tubuhku akan dipindahkan padanya," ucap Vina dengan wajah yang sangat menerimanya tapi diluar saja. Ryan yang mendengarnya hanya terdiam dengan keterjutan yang tidak terhingga, tidak lama matanya tertetes. Dia menangis tidak bisa menahannya.
Sesaat setelahnya ada sesuatu yang membuat Ryan sangat kesal sekali dan bahkan dia belum bisa menerima surat itu, siang ini adalah sesuatu yang sangatlah akan membuatnya marah. Sontak dia merasakan sakit, ada sesuatu yang membuatnya sangat jengkel.
Semua kejadian hari ini begitu sakit baginya karena sebuah surat yang menunjukkan bahwa rumah ini telah dijual oleh ayahnya, memang benar kalau semua biaya hidupnya selama ini dari pemerintah. Tetapi kepemilikan tanah dan rumah itu berada dalam genggaman ayahnya, Ryan tidak bisa apapun mengenai itu.
Rumah ini satu-satunya kenangan dari ibunya, ada banyak benda yang memiliki nilai berharga baginya dan tidak ingin hilang. Namun, ayahnya begitu kejam hingga melakukan itu. Pikirnya...
Ryan bertanya sambil menundukkan wajahnya ke lantai, "Lalu mengapa kamu mengatakan ini padaku ?"
"Aku sangat yakin kalau Rani akan menolak, jadi aku ingin kamu menyakinkan dirinya."
"Tugas yang berat tapi akan aku lakukan, mau bagaimanapun waktu kota sangatlah sedikit.. lalu bagaimana rencananya ?"
"Aku tidak tahu makanya menyerahkannya pada kamu," jawab Vina dengan helaan napas yang cukup panjang. Mereka berdua saling tersenyum, walau isi hati mereka terdapat kesedihan dan ketakutan yang sangat mendalam bagi mereka.
Hanya saja Ryan sangat sedih dengan apa yang terjadi, sedangkan Vina sangat ketakutan dengan pembunuhan ini. Dia akan dibunuh lalu organnya dipindahkan pada sahabatnya, sekaligus merasakan rasa takut dan senang karena temannya bisa hidup lama tidak seperti dirinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
R Y U
...
2021-11-28
1
Rsya
aku sedang berusaha berpikir. HMMMMM
2021-07-10
1
Zahra Fitria
2
2021-05-25
0