Menghembuskan napas mereka berdua kelihatan sangat cemas pada anaknya, ayah dan ibunya Rani menatap anaknya dengan sedih. Tidak lama kemudian datang Ryan dari pintu kamar bersama Adly, setelah Zian selesai memasang perban pada Rani dia pergi bersama Adly setelahnya.
Ryan memasuki ruangan, hanya saja wajahnya hanya menatap pada ayahnya dan saat berada di samping ayah Rani...
"Apa yang akan anda lakukan pada Vina ?" Tanya Ryan buat sontak ayahnya Rani kaget. Dia tidak lama ingin mencekik Ryan tapi dihentikan oleh ibunya, memang benar dari tindakan yang diinginkan olehnya barusan itu menandakan kalau dia ingin membuat Ryan tutup mulut.
Mereka kemudian mulai tenang, tapi Ryan sangatlah bingung mau memilih siapa. Bagaimanapun juga Rani seseorang yang berharga baginya terlebih lagi gadis itu mencintainya, sedangkan Vina seseorang yang dia cintai. Apa yang harus dilakukan olehnya itu sangat bingung, memilih antara mereka berdua rasanya mustahil baginya.
Dia menggaruk kepalanya sambil tersenyum, "Buat apa juga aku memikirkan ini, sebentar lagi juga aku akan mati."
"Kenapa kamu tidak mau melaporkan kami ke polisi soal ini ?"
"Ah, aku juga ingin dia hidup tapi tidak ingin Vina mati, egois bukan ? Tapi entah kenapa aku ingin keegoisan itu."
"Benar, aku juga berpikiran sama denganmu," jawab ayahnya Rani dengan senyum. Ryan menuliskan sesuatu pada kertas dan menyimpannya di meja, mungkin saat bangun harusnya Rani menemukannya. Pikirnya sambil berjalan pergi meninggalkan kamar Rani yang sedang tertidur.
Keluar dari rumah besar ini dia bertemu dengan Vina diluar rumah atau lebih tepatnya depan gerbang, mereka bergandengan tangan menuju rumah Ryan. Pada akhirnya... Mereka diizinkan untuk tinggal di rumahnya Ryan, sampai terakhir kali hidup mereka.
Permintaan Vina hanya sedikit saja agar mereka bisa bahagia dan tidak punya rasa sakit, itulah yang diinginkan olehnya tapi tidaklah semudah itu. Dengan perhitungan dari Zian, kedua orang tuanya Rani akan membunuh Vina diwaktunya.
Setelah mendengar rencana Zian, mereka paham dan sekarang menjalankan sesuai rencana mereka walau itu sangatlah menyakitkan. Tapi waktu tidak bisa diperlambat jadi harus. Tidak ada yang namanya tidak bisa.
Suara tembakan terdengar, seseorang menembak mati seseorang yang sedang mengamuk. Jarang ada yang terjadi seperti ini, namun itu hal biasa bagi masyarakat. Seorang pengidap penyakit itu terkadang mengamuk dan ingin membunuh seseorang dengan alasan membawanya mati bersamanya, maka dari itu pemerintah membunuh orang-orang begitu.
Banyak juga yang bertahan seperti Ryan dan banyak orang lagi...
Ryan menatap langit dengan wajah sayu, "Dunia ini cukup kejam ya.."
"Umm.. benar, aku juga berpikir demikian!" Jawab Vina dengan semangat. Mereka tetap berjalan dan ada seseorang yang sedang terdiam, ayahnya Ryan hanya menatapnya dengan sinis.
Tanpa mempedulikan mereka melewatinya tanpa bicara sepatah kata sekalipun, hanya saja ayahnya itu yang bicara, "kuharap kau segera mati agar rumahku bisa aku ambil lagi..."
"Kuharap," jawaban singkat itu membuat Vina sakit hati. Tapi tidak ada yang bisa mengubah fakta kalau kematian sudah di depan mereka, dan itu tidak menggoyahkan keberanian Ryan untuk tetap berada dalam jalannya.
Saat mereka berjalan bersama menuju rumah Rani terbangun dari tidurnya dengan wajah yang pucat, matanya melihat sekitarnya dan sadar kalau dia berada di ranjangnya. Beralih ke posisi duduk, dia melihat sebuah kertas di atas meja. Membacanya sebentar dia menghela napas.
Dia tersenyum lembut, "dasar Ryan. Kuharap aku bisa sama kamu lagi..."
Gadis itu menangis sambil memegang erat-erat kertas itu, dia mengambil selimut dan menyelimuti dirinya sendiri sambil mengigit bantal. Dia hanya menangis untuk menangisi isi surat itu, serasa kalau perjuangannya untuk mendapatkan lelaki itu bohong.
Ayahnya sedang bicara dengan seseorang lewat telepon, ibunya menyeduh teh untuk anaknya sambil berpikir. Apa yang mereka lakukan itu benar ? Jujur saja golongan darah Rani sangatlah jarang ada, tapi entah kebetulan atau apa anak yang dijual pada mereka memiliki golongan darah yang sama.
Namun kebetulan juga kalau dia adalah sahabat terdekat Rani, pasti Rani akan gila dan kewarasannya dipertanyakan jika sampai tahu kalau setelah penyakitnya itu hilang. Dalam tubuhnya itu bukan organ miliknya, tapi milik sahabatnya.
Ibu Rani meregangkan tangannya, "Kebetulan yang mengerikan..."
"Ibu, apa aku boleh bicara ?" Tanya Rani yang muncul di belakang ibunya. Menoleh ke belakang dia tahu kalau anaknya mau bicara dengannya, hendak menolak tapi menelan ludahnya dan menyiapkan keberanian untuk bicara pada anaknya.
Mereka duduk di kursi dengan kedua cangkir teh depan mereka, namun Rani melihat ayahnya yang sedang bicara. Wajahnya saat menelepon sangatlah serius, tapi kesedihan juga nampak dalam ekspresinya itu. Sangat membingungkan bagi Rani.
"Tidak, bunuh saja," ucap ayah Rani dengan serius dan tangannya terkepal. Setelahnya dia mematikan panggilan dan pergi masuk ke dalam rumah, dia lihat kalau istri serta anaknya sedang bicara satu sama lain. Sempat mendengarkan kalau itu topik soal penyakitnya.
Juga ayahnya Rani tidaklah menyangka kalau ibunya pengidap heartlosive, tapi gejalanya tidaklah separah orang lain. Karena ini pembicaraan yang berat, ayahnya juga ikut bicara.
Rani meneteskan air mata dan bertanya, "Kenapa kalian merahasiakan ini ?!"
"Jujur saja ayah akan melakukan apapun agar kamu sembuh, ayah bersumpah!"
"Tapi...! Aku tidak ingin memakai organ lain.."
"Soal itu.." ucap ayahnya lirih pelan. Dia mengigit bibirnya, merasa kalau pasti Rani akan sangat menolak jika orang itu atau pendonor itu adalah sahabatnya. Mana ada yang mau jika begitu, dia merasa kalau sudah gagal jadi ayah.
Datang seseorang dengan baju hitam dengan syal merah duduk bersama mereka, dia meneguk teh yang sudah ada di depannya. Matanya sedikit menatap pada Rani, dia kemudian memberikan sesuatu pada ayahnya. Namun, Rani melihat lelaki ini dengan sorot mata mencurigakan.
Ayah mengambil barang itu sambil menelan ludahnya sendiri, dia akan membunuh seseorang demi anaknya. Walau sebesar apapun dosanya dia ingin Rani hidup bahagia, itu harus dilakukan. Tapi mungkin saja rencananya takkan berjalan sesuai keinginannya.
Di tempat lain ada beberapa orang yang sedang menjaga Vina, mereka memutuskan untuk memberi gadis itu waktu untuk berpikir. Daripada dia akan dicelakai lalu membuat hal itu seolah-olah kecelakaan, setelahnya membuat dia sekarat hingga organnya bisa dipindahkan pada putrinya.
Itu sangat dilarang oleh pemerintah, makanya Belati Putih ingin menghentikan orang itu. Walau ayahnya Rani adalah pemimpin sekalipun, mereka akan memberontak karena pekerjaan mereka itu membela satu negara bukan membela satu keluarga.
Seseorang memberikan perintah, "Target datang.. siapkan pasukan, jangan biarkan ada orang yang mencurigakan!"
"Baik! Saya akan mempersiapkan perlengkapan!" Jawab bawahannya. Dia segera mempersiapkan sebuah sniper serta pistol juga, wajahnya Ryan sangatlah gugup dan melihat sekitarnya sambil berharap kalau rencana Zian berhasil.
Dia sangat ingin agar Vina memutuskan apakah siap mati untuk sahabatnya atau tetap hidup, walau itu akan membuatnya terus dihantui oleh rasa bersalah. Hanya saja dia sangat bimbang saat ini...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
Zahra Fitria
6
2021-05-25
0