Disebuah ruangan ada sebuah tirai yang tertiup angin dan seseorang sedang tertidur di atas ranjang rumah sakit, di sampingnya seorang gadis sedang menemaninya. Beberapa orang juga bersamanya sedang duduk, mereka sedang bicara mengobrol satu sama lain.
Namun gadis yang ada di sampingnya pasien bangun dari tidurnya, dia melihat yang berada di depannya dan mengingat perkataannya beberapa jam yang lalu.
"Jauhi aku saja. Lihat aku ini punya penyakit yang serius," ujar Ryan dengan serius. Perkataan yang dilontarkan pada Rani begitu membuat hatinya sangat terkejut tak main. Sekali lagi dia bertanya apa maksudnya, lelaki itu hanya memalingkan wajahnya.
Merekapun tidak bicara dan keheningan terjadi dalam waktu lama sesampainya Ryan tertidur saat teman-temannya datang. Melihat temannya yang tidak makan dari kemarin membuatnya cemas, Zian merasakan hal itu.
"Rani.. makanlah ke kantin dulu saja."
"Umm.. baiklah, temani aku Zian. Kamu juga belum makan, 'kan ?" Tanya Rani sambil menatap Ryan dengan sedih. Mereka keluar dari ruangan pergi menuju kantin rumah sakit, tetapi kelopak mata Ryan terbuka setelah gadis itu pergi.
Dia bangun berpindah posisi ke duduk dan teman-temannya sadar segera datang bertanya kondisinya tetapi Ryan hanya terdiam walau ditanya oleh beberapa temannya.
Tidak lama kemudian Widya datang padanya, dia mengangkat tangannya dan sebuah tamparan mendarat di pipi Ryan sontak membuat dirinya kaget. Widya hanya menatap sinis padanya.
Hanya saja sebuah suara bantingan pintu terdengar, hal itu membuat mereka yang ada di dalam kaget dan refleks melihat ke arah pintu. Ternyata di sana ada gadis yang sedang memerah, dia meneteskan beberapa air matanya.
Rani masuk dan bertanya, "kenapa kamu gak mau bangun ? Karena ada aku ?"
"Tinggalkan aku sendiri, apa kalian bisa ?" Tanya Ryan mengabaikan Rani yang sedang menatapnya mencari tatapan dia. Namun seorang dokter mengabulkan permintaan Ryan, dia masuk dan meminta semua orang untuk keluar dulu.
Mendengar dokter mengatakan itu mereka semua hanya bisa menuruti perkataannya saja, Rani pun keluar dari ruangan lagi dengan wajah yang sangat teramat sedih sekali.
Pintu tertutup dan dalam ruangan itu hanya ada dua orang, seorang pasien kemudian penyembuhnya yang sedang menghela napas...
"Kita akan bicara sebentar."
"Soal sisa hidupku, 'kan ?" Tanya Ryan melanjutkan perkataan dokter yang sudah tertebak olehnya. Mendengar perkataan Ryan, dokter itu menunduk dan sudah terbiasa dengan hal tersebut. Namun ini pertama kali baginya mendengar seorang pasien pasrah seperti ini, itu adalah sesuatu yang langka baginya.
"Ah, kamu tampaknya sudah menyiapkan mental untuk mendengarkannya..." Ujar dokter sambil menunduk. Dia datang ke Ryan, wajahnya begitu sendu melihat anak yang memiliki umur masih muda atau remaja ini sudah mendekati kematian.
Tidak ada yang tahu kapan dia akan kembali ke tempatnya berasal, siapapun tidak ada yang tahu soal mati atau hidup sekalipun. Dokter itu mengambil ponselnya melihat catatan pasien, melihat kalau dia masih memiliki keluarga tapi tidak ada yang menjenguknya.
Itu diperlukan untuk membuat persetujuan apakah remaja yang ada di depannya ini tinggal di rumah sakit sampai hembusan napas terakhirnya atau dibebaskan keluar...
"Kamu memilih bebas atau diam di tempat ini ?"
"Aku milih keluar saja, dok."
"Umm.. kenapa ? Padahal kalau kamu merasa kesakitan bisa menggunakan obat bius."
"Tidak, aku ingin tetap keluar saja dan soal orang tua, apakah mereka datang ?" Tanya Ryan dengan menunjukan wajah yang tidak peduli. Matanya tidak memiliki cahaya, dia sudah tidak memikirkan apapun tentang dunia lagi. Mau dosa ataupun tidak, dia sudah tidak peduli dengan semuanya.
Beberapa saat dokter berdiri dan menyebutkan waktu yang dimiliki oleh Ryan untuk hidup, waktunya begitu singkat seakan kedipan mata bagi Ryan. Kini wajahnya menunduk ke bawah dan hanya bisa menerimanya saja.
Dokter mengelus rambutnya, "Satu bulan kurang lebih."
"Baik dok, lalu soal pembayaran..."
"Semuanya ditanggung pemerintah dan kamu akan diberikan uang untuk menikmati hidupmu."
"Kalau boleh tahu, berapa banyak ?"
"Mungkin 20jt akan diberikan padamu," jawab dokter dengan senyum. Ryan menghela napas panjang karena berpikir kalau uangnya terlalu besar, memberikan banyak uang pada seseorang yang mau meninggal sebulan lagi menurutnya berlebihan.
Mendengar kalau dia bisa pulang sore ini membuatnya lega, tapi dia hendak bertanya tapi tidak jadi karena teman-temannya mengetuk pintu dari luar. Mendengar itu dokter mau pergi tapi dihentikan oleh Ryan.
Menoleh ke belakang dokter melihat kalau Ryan memegang tangannya.. Ryan pun bertanya, "Apakah saya bisa minta tolong ?"
"Tolong apa ?"
"Tolong ambilkan uang itu dan bisakah dokter kasihkan pada orang yang membutuhkan."
"Itu melanggar aturan, kecuali kamu ambil setengahnya."
"Baiklah aku ambil setengahnya," kata Ryan dengan terpaksa. Dia setelahnya melepaskan tangan dokter yang sedang terdiam menatap Ryan, dia memikirkan kalau remaja ini sangatlah tidak biasa. Jujur dalam hatinya dia sangat sedih karena orang sebaik Ryan harus meninggal.
Dokter itu pergi keluar dari ruangan melihat teman-temannya sedang terdiam, mereka bertanya pada dokter soal keadaanya tapi tidak dijawab olehnya dan malah pergi begitu saja tanpa sepatah kata sekalipun. Mereka semua masuk tanpa mempedulikan ya.
Rani, Widya, Fauzan, Vina, dan yang lainnya masuk melihat teman mereka sedang melamun melihat ke keluar jendela. Walau setiap kunjungan maksimal penjenguk dua orang saja ada pengecualian untuk penyakit heartlosive, diperbolehkan sampai 10 orang yang menjenguk.
"Kita sebaiknya memputuskan pertemanan kita saja," ujar Ryan tanpa memandang mereka semua. Serentak kagetnya tidak terhingga, mereka kelihatan sangat terkejut dengan perkataannya barusan. Mendengar hal itu Rani tidak tinggal diam dan datang padanya.
Dia mengangkat tangan di depan Ryan, remaja itu tahu apa yang akan dilakukan gadis itu dan terdiam namun dia salah menebak apa yang akan dilakukan oleh Rani padanya. Semuanya bahkan tidak ada yang kaget terkecuali Ryan saja.
Gadis itu memeluknya begitu erat, tetapi Ryan tidak menginginkannya...
"Hei, jangan mengatakan itu."
"Aku sebentar lagi meninggal."
"Jangan! Aku akan meminta ayah mencarikan solusi!" Bentak Rani padanya. Mendengar bentakan itu Ryan hanya tersenyum dan mulai membuka mulutnya, "Solusi ? Apa pemindahan organ tubuh manusia pada manusia lain itu solusi ? Aku tidak ingin setiap waktu dihantui oleh rasa bersalah."
Rani terjatuh ke lantai, "T-tapi! Itu hanya satu-satunya cara..."
"Itu juga berlaku bagi kalian semua, jangan dekati aku lagi. Itu saja," ucap Ryan tanpa merasakan apapun dalam dirinya. Saat ini dia tidak bisa berpikir jernih karena mau menghadapi kematian, tidak ada yang bisa dilakukan untuk mencegahnya tapi setidaknya dia ingin tahu caranya agar merelakan semuanya untuk ditinggalkan olehnya.
Melihat teman-temannya yang sedang terdiam, keheningan tercipta dan beberapa saat kemudian salah satu ponsel berdering, Vina yang sedang terdiam tiba-tiba sadar kalau ponselnya berdering memecahkan keheningan ini.
Dia membuka panggilan dan keluar dari ruangan, namun wajahnya sangat ketakutan begitu pula dengan Ryan yang ketakutan dalam hatinya tapi tidak diperlihatkan kepada siapapun...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 142 Episodes
Comments
R.A Andini
sedih yak 😭😭
2021-05-29
1
Zahra Fitria
3
2021-05-24
1
im_ha
5 like untukmu ya Thor. mampir juga di karyaku DOAKU BERBEDA DENGAN DOAMU 💪
2021-05-06
1